Awal mula adalah iseng belaka.
Saya mendapati pamflet
pendaftaran peserta fellowship Festival HAM 2018 dari rekan kerja. Dia
menyodorkan pamflet digital itu dengan semangat. Dia mengajak saya mendaftar
dan memenuhi syarat yang tertera. Saya merespon ajakan tersebut biasa saja,
bukan karena saya tidak menyukai isu HAM, tapi mengikuti fellowship terlebih
festival sudah saya lakukan sejak awal berstatus mahasiswa. Menjelang akhir
kelulusan kuliah saya memang sengaja mengurangi kegiatan sejenis itu. Cukuplah
waktu empat tahun sebelumnya saya gunakan menjadi aktivis workshop. Haha.
Akan tetapi, seusai makan
siang saya melihat kembali pamflet Festival HAM. Jam makan siang kerap membuat
saya gabut dan browsing tidak jelas. Daripada geser kursor tidak jelas, mending
saya daftar dan mengisi syarat yang diminta, pikirku. Dalam waktu 30 menit,
syarat menulis alasan mendaftar yang panjangnya kira-kira 2000 kata tersebut
selesai. Saya kirim kemudian selesai. Saya tidak berharap banyak dari tulisan
yang saya buat mendadak dan dalam waktu singkat itu. Saya bahkan lupa dengan
apa yang saya tulis.
Dua minggu berselang, nomor
tidak dikenali masuk ke hape saya. Suara di seberang mengabarkan bahwa saya
lolos seleksi dan masuk sebagai peserta fellowship Festival HAM yang
berlangsung pada 13-15 November di Wonosobo. Saya heran sambil tersenyum dengan
kabar itu. Bingung apakah harus bahagia atau sedih. Tapi karena festival ini
berisi banyak diskusi panel dan pleno tentang HAM saya tentu senang. Kapan lagi
menghadiri acara keren yang segala akomodasinya ditanggung, batinku. Kabar baik
itu saya anggap sebagai rejeki anak soleh. Hehe.