![]() |
Cara nyaman tidur di warung kopi |
Seorang kawan
satu organisasi mengirim foto di grup alumni. Dalam hitungan detik foto itu
menggiring memori saya menuju masa tiga tahun silam. Masa dimana tempat tidur
bukan hanya monopoli kos-kosan. Di foto itu terdapat seorang mahasiswa gondrong
berbaring di pojok warung kopi sambil mengenakan helm dan kacamata. Yup, manusia
dalam foto itu adalah saya.
Di rentang tahun
2015-2016, warung kopi adalah kos kedua saya. Di tempat ini, segala aktifitas
domestik saya terpenuhi. Mulai dari mandi, berak, makan, minum bahkan tidur.
Maka tidaklah heran jika hampir semua karyawan dan pelanggan warung kopi
mengenali saya. Para karyawan juga sudah hafal dengan kebiasaan saya. Jika jam
menunjukkan warung harus tutup dan saya masih bertahan di situ, itu berarti
saya akan bermalam. Lampu-lampu dipadamkan. Tinggal saya seorang diri terbaring
beralaskan tas berisi buku-buku.
Warung kopi sebenarnya adalah pilihan terakhir untuk tidur. Saya bisa saja memilih menginap di kos teman atau di beskem organisasi. Tapi kedua tempat itu enggan saya datangi karena sering membuat saya bolos kuliah. Jika terlelap di tempat yang terlampau nyaman, saya bisa tidur hingga 15 jam lamanya. Kebo emang!
Warung kopi saya anggap
seperti kos pribadi. Ini saya lakukan agar tidak mengulang mata kuliah di
semester berikutnya. Lokasi warung kopi langganan yang hanya berjarak
sepelemparan bola kasti dengan kampus membuat saya merasa tenang. Saya tidak perlu
ngebut di jalan jika telat, bangun kesiangan, apalagi khawatir tidak bangun
karena tidak mendengar alarm. Sebab, suara motor di pinggir jalan adalah
sebenar-benarnya alarm. Jika ada orang yang memaki suara knalpot blombongan,
saya justru berterimakasih karena berkat suara bisingnyalah saya bisa menghemat
biaya kuliah.
Sistem Kredit
Semester (SKS) yang membatasi mahasiswa bolos maksimal tiga kali membuat saya
harus pandai-pandai mengatur jadwal. Terlebih di semester itu mayoritas kelas
yang saya ambil adalah kelas pagi. Jika bukan karena warung kopi, barangkali
hingga sekarang saya masih mengambil mata kuliah yang sama untuk ke sekian
kalinya.
Tahun 2015
merupakan tahun bersejarah dalam hidup saya. Di tahun ini saya benar-benar
merasakan hidup ala gembel. Di tahun ini saya tidak punya kos. Ini bukan karena
orangtua tidak mampu bayar, tapi ini murni karena pilihan. Ketika masa sewa kos
habis, saya putuskan tidak memperpanjang. Saya juga tidak mengabarkan ke rumah
kalau sewa kos sudah jatuh tempo. Kala itu saya memantapkan diri menjalani hidup
dengan nekad. Ala-ala hippies gitu.
Akan tetapi,
meski saya berkomitmen tidak melanjutkan sewa kos, bukan berarti di tahun itu
saya hidup di jalanan beratapkan langit dan beralaskan tanah. Tidak. Saya
beruntung punya teman yang baik dan peduli: Pije, Hamam dan Adit. Di kos
merekalah saya menitipkan barang-barang secara terpisah. Di kosnya Hamam saya
taruh pakaian. Di kosnya Pije dan Adit saya titipkan buku-buku. Kalau alat
mandi selalu siaga di tas dan dibawa kemana-mana. Ini agar memudahkan saya mandi
di mana saja dan kapan saja. Praktis.
Namun, hidup
nomaden ini hanya berlangsung selama satu tahun. Tidak lama memang, tapi saya
menolak jika dibilang singkat. Sebab, di masa itu banyak sekali duka-suka yang
saya temui. Jika kamu bilang ini perkara sepele, saya tantang kamu hidup satu
tahun tanpa tempat tinggal yang jelas!
Di penghujung
2016, saya akhirnya kembali ke kos lama. Saya tidak sanggup lagi menjalani
hidup nomaden. Memiliki barang-barang di tempat berbeda ternyata cukup
merepotkan. Hal ini kadang membuat emosi ketika hendak mencari sebuah buku.
Saya sering lupa buku yang saya cari ada di kosnya Pije atau Adit. Kos kedua
teman saya itu berjarak lumayan jauh. Emosinya lagi jika medapati si empunya
kos pergi tanpa meninggalkan kunci. Emosi memuncak. Darah meluap. Kuliah
menguap.
Sekarang saya
terheran-heran, kok bisa dulu saya senekad itu menalani hidup? Tanpa malu saya menitipkan
barang pribadi setahun lamanya. Jika sekarang diminta melakukan hal itu lagi,
saya angkat tangan. Barangkali inilah yang dimaksud Bang Haji Rhoma dengan darah
muda. Darah yang berapi-api. Maunya menang sendiri dan tidak mau mengalah.
Saya merasa yang
saya lakukan tiga tahun lalu itu di luar nalar. Saya tidak berani jika sekarang
diminta mengulangi hal serupa. Saya sadar setiap orang pasti memiliki privasi
yang tidak boleh orang ketahui, termasuk saya. Inilah alasan kenapa saya
kembali ngekos.
No comments:
Post a Comment