Friday 7 December 2018

Karena Tempat Tidur Bukan Monopoli Kos-Kosan

Cara nyaman tidur di warung kopi

Seorang kawan satu organisasi mengirim foto di grup alumni. Dalam hitungan detik foto itu menggiring memori saya menuju masa tiga tahun silam. Masa dimana tempat tidur bukan hanya monopoli kos-kosan. Di foto itu terdapat seorang mahasiswa gondrong berbaring di pojok warung kopi sambil mengenakan helm dan kacamata. Yup, manusia dalam foto itu adalah saya.

Di rentang tahun 2015-2016, warung kopi adalah kos kedua saya. Di tempat ini, segala aktifitas domestik saya terpenuhi. Mulai dari mandi, berak, makan, minum bahkan tidur. Maka tidaklah heran jika hampir semua karyawan dan pelanggan warung kopi mengenali saya. Para karyawan juga sudah hafal dengan kebiasaan saya. Jika jam menunjukkan warung harus tutup dan saya masih bertahan di situ, itu berarti saya akan bermalam. Lampu-lampu dipadamkan. Tinggal saya seorang diri terbaring beralaskan tas berisi buku-buku.

Warung kopi sebenarnya adalah pilihan terakhir untuk tidur. Saya bisa saja memilih menginap di kos teman atau di beskem organisasi. Tapi kedua tempat itu enggan saya datangi karena sering membuat saya bolos kuliah. Jika terlelap di tempat yang terlampau nyaman, saya bisa tidur hingga 15 jam lamanya. Kebo emang!

Warung kopi saya anggap seperti kos pribadi. Ini saya lakukan agar tidak mengulang mata kuliah di semester berikutnya. Lokasi warung kopi langganan yang hanya berjarak sepelemparan bola kasti dengan kampus membuat saya merasa tenang. Saya tidak perlu ngebut di jalan jika telat, bangun kesiangan, apalagi khawatir tidak bangun karena tidak mendengar alarm. Sebab, suara motor di pinggir jalan adalah sebenar-benarnya alarm. Jika ada orang yang memaki suara knalpot blombongan, saya justru berterimakasih karena berkat suara bisingnyalah saya bisa menghemat biaya kuliah.

Sistem Kredit Semester (SKS) yang membatasi mahasiswa bolos maksimal tiga kali membuat saya harus pandai-pandai mengatur jadwal. Terlebih di semester itu mayoritas kelas yang saya ambil adalah kelas pagi. Jika bukan karena warung kopi, barangkali hingga sekarang saya masih mengambil mata kuliah yang sama untuk ke sekian kalinya.

Tahun 2015 merupakan tahun bersejarah dalam hidup saya. Di tahun ini saya benar-benar merasakan hidup ala gembel. Di tahun ini saya tidak punya kos. Ini bukan karena orangtua tidak mampu bayar, tapi ini murni karena pilihan. Ketika masa sewa kos habis, saya putuskan tidak memperpanjang. Saya juga tidak mengabarkan ke rumah kalau sewa kos sudah jatuh tempo. Kala itu saya memantapkan diri menjalani hidup dengan nekad. Ala-ala hippies gitu.

Akan tetapi, meski saya berkomitmen tidak melanjutkan sewa kos, bukan berarti di tahun itu saya hidup di jalanan beratapkan langit dan beralaskan tanah. Tidak. Saya beruntung punya teman yang baik dan peduli: Pije, Hamam dan Adit. Di kos merekalah saya menitipkan barang-barang secara terpisah. Di kosnya Hamam saya taruh pakaian. Di kosnya Pije dan Adit saya titipkan buku-buku. Kalau alat mandi selalu siaga di tas dan dibawa kemana-mana. Ini agar memudahkan saya mandi di mana saja dan kapan saja. Praktis.

Namun, hidup nomaden ini hanya berlangsung selama satu tahun. Tidak lama memang, tapi saya menolak jika dibilang singkat. Sebab, di masa itu banyak sekali duka-suka yang saya temui. Jika kamu bilang ini perkara sepele, saya tantang kamu hidup satu tahun tanpa tempat tinggal yang jelas!

Di penghujung 2016, saya akhirnya kembali ke kos lama. Saya tidak sanggup lagi menjalani hidup nomaden. Memiliki barang-barang di tempat berbeda ternyata cukup merepotkan. Hal ini kadang membuat emosi ketika hendak mencari sebuah buku. Saya sering lupa buku yang saya cari ada di kosnya Pije atau Adit. Kos kedua teman saya itu berjarak lumayan jauh. Emosinya lagi jika medapati si empunya kos pergi tanpa meninggalkan kunci. Emosi memuncak. Darah meluap. Kuliah menguap.

Sekarang saya terheran-heran, kok bisa dulu saya senekad itu menalani hidup? Tanpa malu saya menitipkan barang pribadi setahun lamanya. Jika sekarang diminta melakukan hal itu lagi, saya angkat tangan. Barangkali inilah yang dimaksud Bang Haji Rhoma dengan darah muda. Darah yang berapi-api. Maunya menang sendiri dan tidak mau mengalah.

Saya merasa yang saya lakukan tiga tahun lalu itu di luar nalar. Saya tidak berani jika sekarang diminta mengulangi hal serupa. Saya sadar setiap orang pasti memiliki privasi yang tidak boleh orang ketahui, termasuk saya. Inilah alasan kenapa saya kembali ngekos.
    

No comments:

Post a Comment