Motor bagi saya adalah nyawa.
Laju kehidupan saya hingga semester sembilan di kota pelajar ini paling besar
ditopang oleh motor. Meski begitu, saya
kerap abai dengan kondisinya.
Motor Suzuki Shogun 110 cc yang
saya miliki sejak semester satu adalah sebenar-benarnya pahlawan. Ia adalah my hero dalam berbagai hal. Mulai dari kendaraan
untuk jalan bareng bribikan (meskipun
sering ditolak karena kondisinya yang jauh dari kata layak), kuliah, liputan, warung
kopi hingga demo.
Motor pribadi pertama saya ini
memang jauh dari kata manusiawi, tapi saya akan selalu berdiri paling depan
jika ada yang melecehkannya. Saya juga tidak pernah menjadikannya kendaraan
untuk melakukan perbuatan tercela bin hina. Saya menamai kuda besi ini sebagai
si Jago.
Jago saya beli di penghujung
2013 di sebuah toko jual-beli motor bekas di sekitar kampus. Waktu itu saya
membelinya dengan mahar 4,6 juta. Sebagai motor keluaran 2004, si Jago waktu
itu tidaklah terlalu mahal, meski juga tidak patut dikatakan murah. Dalam
sekali lirikan, tanpa berpikir panjang ia langsung saya beli.
Sejak pertama kali
mengendarainya saya langsung merasa nyaman dan secara perlahan jatuh cinta.
Bahkan saking cintanya, saya tidak pernah mengganti satu pun suku cadangnya
sejak dibeli (ini alasan aja sih, padahal gak punya duit). Saya membiarkannya
menua secara alami. Rem depannya sudah lama ompong, lampu depan sudah lama
rabun dan pita klaksonnya sudah lama membisu. Meski begitu, dia akan selalu
menjadi pahlawan.