Tuesday 29 November 2016

Selamat Menikah, Mas Yudha

Selain rejeki dan kematian, misteri lain yang dirahasiakan ilahi adalah jodoh. Saya selalu was-was ketika berbicara soal jodoh. Saya bertanya-tanya seperti apa gerangan jodoh saya kelak, cantik- kah, baik hati-kah, berambut sebahu-kah, bule-kah? Entahlah, itu rahasia Tuhan yang paripurna.
  
Tapi kawan saya satu ini (saya panggil kawan aja biar terkesan egaliter), sudah tidak perlu lagi menerka-nerka seperti apa jodohnya itu. Di usianya yang sebentar lagi menginjak kepala tiga (ciee tua), kawan saya ini sudah berhasil memecahkan salah satu misteri ilahi.

Saya mengenal Prayudha Magriby lumayan lama, sekitar tiga tahun. Saya menganggapnya sebagai guru, kakak, teman sekaligus musuh. Sebagai seorang dosen linguistik yang memiliki pengetahuan jurnalistik yang memadai, berdiskusi untuk menyedot ilmu darinya amatlah menggembirakan. Akan tetapi, intensitas diskusi ini amat jarang terjadi. Ia lebih suka mengarahkan pembicaraan ke soal asmara. Urusan asmara hampir tidak pernah luput dibahas setiap kali ngopi.

Monday 28 November 2016

Pers Mahasiswa di Ujung Tanduk

            Tidak mudah menjelaskan kondisi pers mahasiswa (persma) dewasa ini, selain karena perbedaan dinamika, tiap pers mahasiswa juga berbeda dalam memaknai kepersmaan. Perbedaan pandangan inilah kemudian yang melatarbelakangi beragam dinamika yang muncul. Ada pers mahasiswa yang menjadi bulan-bulanan petinggi kampus karena berita yang disajikan,  ada juga persma yang berkawan akrab dengan pejabat kampus karena pemberitaanya mendongkrak popularitas kampus. Namun, apapun bentuknya saat ini, pers mahasiswa dulunya lahir dari satu rahim yang sama, yakni rahim perlawanan terhadap ketidakaadilan dan penindasan.

Berbarengan dengan berdirinya organisasi pemuda Budi Utomo 1908, lahir sebuah pers mahasiswa bernama Hindia Poetra. Organisasi pers yang digawangi oleh para pemuda pribumi ini berdiri karena ketimpangan kebijakan yang dilakukan Volksraad (parlemen yang dibentuk pemerintahan Hindia Belanda). Kritik yang sering dilayangkan Hindia Poetra kala itu adalah hukum yang berjalan tajam kebawah tapi tumpul keatas. Sejurus kemudian, karena merasa membutuhkan sumbu perlawanan lebih banyak lahirlah pers mahasiswa Jong Java (1914), Oesaha Pemoeda (1932) dan Soeara Indonesia Moeda (1938) yang kemudian berperan dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia. 

Pers mahasiswa, jika menggunakan definisi yang longgar, saat ini telah berusia satu abad lebih. Di umurnya yang panjang ini persma telah memberikan corak tersendiri dalam perkembangan pers di Indonesia. Pers mahasiswa hadir menyajikan alternatif berita ketika media-media umum dibungkam di  masa rezim Soeharto. Selama 32 tahun Orde Baru berkuasa, selama itu pula pers ‘dipasung’.

Osiris: Es Krim untuk Sesama


Saya bukanlah penikmat es krim yang fanatik. Intensitas makan es krim saya bisa dihitung jari. Jika disuruh membuat daftar makanan favorit, es krim mungkin akan bercokol di urutan ke sembilan setelah tempe mendoan. Namun, posisi itu segera  berubah setelah saya mencicipi es krim Osiris, kekuatan rasa yang ditawarkan membuat es krim naik tingkat menempati urutan keempat, satu tingkat di atas mie ayam. Tentu, nasi telor tidak ada yang bisa menggesernya di posisi puncak. 

Siang itu, saya berencana pergi liputan ke sebuah desa di Bantul, tepatnya di dusun Paker, kelurahan Sidomulyo, kecamatan Bambanglipuro. Berhubung lokasinya lumayan jauh, saya berusaha mengontak kawan yang sekiranya asyik diajak ngobrol di jalan. Apa lacur, semua kawan saya ada kuliah siang itu, terpaksa saya tarik gas seorang diri. 

Saya berangkat ke lokasi es krim Osiris tanpa berbekal alamat. Saya tidak tahu dimana lokasi persis es krim itu berada. Saya hanya ingat dari sebuah surat kabar, es krim tersebut terletak di KM 20 jalan Parangtritis. Saya menyusuri jalan parangtritis, setibanya di KM 20, di kanan jalan terdapat penunjuk arah letak warung es krim ini berada. Saya ikuti petunjuknya, hanya dalam hitungan menit saya tiba di lokasi.

Dari luar, dekorasi warung es krim ini tampak sederhana, dengan beberapa meja-kursi yang beratapkan seng dengan hiasan pinggir warna merah muda, membuat warung ini terlihat ngejreng. Terlebih warung ini berlokasi di pinggir jalan sebuah kampung. Warna merah muda yang mendominasi membuat warung ini begitu mencolok sehingga menimbulkan rasa penasaran bagi siapa saja yang melintas di depannya. 

Gado-Gado Hambar A la Wika


Saya pertama kali mendengar nama Wika dari mahasiswa yang belum ingin lulus (atau mungkin tidak akan lulus?): Aditya Dwi Yoga. Kisahnya tentang prestasi Wika kemudian memantik reporter Poros untuk mewawancarai gadis kelahiran Maluku Utara tersebut. Sebagai media yang baru pulih, memberitakan capaian Wika bisa menjadi batu loncatan yang aman. Poros tenang, bapak senang.

Cukup lama setelah cerita dari Adit, saya mendengar kembali nama Wika. Tapi kali ini bukan karena prestasi, melainkan untuk mengulas karyanya. Bak jodoh yang dipisahkan untuk bertemu. Saya yakin ini bukan kebetulan belaka. Ini adalah sekenario Tuhan. Tuhan memang maha asik.
***
Baiklah, saya akan menulis esai ini dengan modal nekat. Saya sebenarnya asing sekali dengan cerpen, tapi kali ini kebagian mengulas karya Wika yang sama sekali belum pernah saya jumpai. Saya tidak tahu banyak tentang Wika. Saya hanya mengetahuinya sebagai mahasiswa Biologi yang meraih juara 1 Peksiminas di Kendari beberapa waktu lalu. Patut lah kiranya kita berdiri sejenak membungkukan punggung untuknya. Tapi jangan lama-lama, karena tingginya prestasi belum tentu berbanding lurus dengan kualitas karya.

Benar saja, setelah membaca dua cerpen Wika yang dikirim melalui email, saya menemukan banyak rasa. Rasa dengan bumbu yang terlalu dipaksakan. Bumbu yang sama sekali tidak nyambung. Pernahkah kamu membayangkan makan sate dengan bumbu sirup dan susu kental manis? Akan seperti apa rasanya? Itulah yang Wika lakukan dalam cerpenya. Ia sedang mencari bentuk, coba bumbu itu, ambil bumbu ini, dan rasanya hancur. 

Goodbye Rambut Gondrong


Siang itu, berbekal uang delapan ribu hasil iuran, saya beserta seorang kawan mengunjungi sebuah tempat yang dulunya sangat saya haramkan: pangkas rambut. 

Sesampainya di tempat jahanam itu saya langsung duduk. "Botak, mas." Pinta saya. Kain langsung diikat di leher, alat pencukur dicolokkan, sisir mengurai rambut.  Dengan tatapan ragu si Abang bertanya, "Yakin, mas? 

" Yakin! " jawab saya mantab. 

Tidak sampai lima menit, tandas sudah rambut hitam kecoklatan yang selama ini saya rawat seperti anak sendiri. Sejak detik itu, saya merasa tidak punya kepala. Ringan. Saya merasa ditelanjangi. Kurang ajar. 
Pasca keluar dari tempat terkutuk itu puluhan tawa dan bullyan saya terima. Ada yang bilang bulet-lah, muka bakpao-lah, sampai ada yang memfitnah saya mirip dengan Mongol. Sial. But, it's oke, ini negara demokrasi, setiap orang bebas berpendapat.