Thursday 29 December 2016

Latah Atau Reaksioner?


Saya adalah orang yang latah (atau reaksioner?). Saya selalu tertarik mencoba sesuatu yang baru saja dilihat. Contohnya adalah gambar di atas. Gambar itu saya buat setelah melihat tutorial menggambar untuk anak-anak di Facebook. Meski hasilnya tidak sebagus aslinya, tapi saya sedikit bangga dengan gambar itu. Minimal saya punya karya seni (meski tergolong buruk).

Bukan kali ini saja saya meniru, sebelumnya saya pernah ikut-ikutan bottle challenge (Itu lho, yang muterin botol sampe berdiri). Hasilnya, sekarang saya mahir banget dalam bidang itu. Siapa tahu dalam beberapa waktu kedepan saya jadi pelukis beneran, ya gak?  Tapi, ada satu ketertarikan yang sampai detik ini belum bisa saya tiru, yakni menjadi Dimas Kanjeng Taat Pribadi. Penyebabnya sepele, sih, karena saya bukan pribadi yang taat. Itu saja.

Sebenarnya dalam tutorial itu banyak jenis gambar yang tersedia, tapi tidak semaunya saya tiru. Saya hanya memilih yang gampang-gampang saja. Sebagai newbie dalam dunia lukis-melukis, hasilnya lumayan lah, lumayan hancur. Hahaha

Jika disuruh menilai, angka berapa yang akan kamu kasih untuk gambar di atas?

Sunday 18 December 2016

Indonesia dalam Laporan Akhir Tahun Versi Koran

Saya terkesiap setelah membaca laporan akhir tahun Bre Redana yang dimuat Harian Kompas edisi 17 Desember. Bre mengulas setiap peristiwa menyedihkan yang terjadi  sepanjang tahun 2016. Berbagai peristiwa masuk dalam sorotannya, ada politik, agama, buku, film, dan musik. Dalam tulisan berjudul Kita dan Pasca “Kasunyatan” Bre juga menyinggung soal perbedaan cara menerima informasi, menurutnya masyarakat di era sekarang ini hidup di alam delusi. Ini disebabkan karena setiap informasi yang dikonsumsi kita tidak lagi hadir menerimanya dengan mata, telinga dan alat perasa lainnya. Sebaliknya, menurut Bre, otak kita sudah bisa dibanjiri informasi tanpa melihat, mendengar dan merasakan langsung setiap peristiwa yang terjadi. 
 
Terlepas dari apa yang disampaikan Bre Redana, tulisan itu telah memutar kembali memori kita pada apa yang terjadi setahun lalu. Di koran yang sama Bre menuangkan pesimismenya terhadap media cetak yang, menurutnya, sudah menemukan senjakalanya. Mungkin masih basah dalam ingatan bagaimana Bre mencoba membandingkan laku kerja wartawan cetak dan media online waktu itu. Wartawan media cetak (Bre menyebut wartawan konvensional) dalam pandangan Bre masih lebih baik ketimbang wartawan media online, sebab pewarta konvensional masih melakukan cara lama dalam wawancara seperti menulis tangan dan menranskripnya. Hal seperti itu tidak lagi dilakukan oleh wartawan media online.