Tuesday 25 December 2018

Polemik Pilkades Kateng


Di bagian selatan Pulau Lombok, tepatnya di Desa Kateng, ketegangan sedang terjadi sejak dua bulan terakhir. Perkaranya adalah hasil pemilihan kepala desa yang tidak memuaskan semua orang, terutama yang jagoannya kalah. Ke lima kandidat memiliki pendukung fanatiknya masing-masing.

Seperti biasa, menjelang pemilihan banyak desas-desus beredar. Tersebar kabar tentang calon A akan membuat kebijakan seperti ini, calon B seperti itu, dan seterusnya. Ibarat bola salju, desas-desus itu terus menggelinding dan membesar. Dampaknya antar warga saling curiga kemudian berujung fitnah.


Dari WA grup pemuda yang saya ikuti, gesekan antar pendukung terasa sekali. WA grup yang mulanya berisi kiriman-kiriman lucu, berubah jadi amat serius. Dalam sekejap, semua orang beralih profesi menjadi pengamat politik. Banyak anggota WA grup yang memilih keluar karena merasa calon yang didukungnya tidak mendapat suara di grup tersebut. Mereka kemudian membuat grup tandingan yang beranggotakan orang-orang yang pro dengan satu calon. Singkat kata, semua pendukung berlomba-lomba memenangkan calon pujaannya.

Tibalah pada hari pemilihan yang jatuh pada 24 Oktober 2018. Masa-masa menjelang penghitungan suara tampaknya adalah masa yang mendebarkan sekaligus membuat penasaran seluruh warga desa, tak terkecuali petahana yang kembali mencalonkan diri. Penghitungan suara dari semua TPS selesai. Petahana yang menempati nomor urut 3 kembali terpilih. Hasil ini yang membuat pendukung calon lain tidak terima dan merusak kertas suara karena menurutnya pemilihan tidak berlangsung adil dan manipulatif.

Tidak perlu waktu lama, aksi perusakan bukti sah pemilihan tersebut langsung menyulut emosi warga lain. Mereka mengaku tidak mau dipimpin oleh kepala desa yang sama untuk kedua kalinya. Menurut mereka, petahana gagal dalam membangun desa karena tidak ada perubahan apapun dari segi infrastruktur. Mereka juga merasa dana desa tidak terserap dengan baik.

Hal ini tentu tidak diterima oleh pendukung kubu petahana. Mereka juga merasa Pilkades kali ini tidak berlangsung adil karena jelas-jelas jagoannya menang, tapi malah tidak diakui. Mereka kemudian berinisiatif melakukan demonstrasi ke kantor bupati Lombok Tengah. Mereka meminta Bupati turun tangan membereskan polemik ini. Menurut mereka, petahana unggul dalam pemilihan dan sah menjadi kepala desa dua periode. Namun, bupati yang diharapkan bisa menjadi penengah kubu yang berseteru, terkesan lambat membereskan persoalan di akar rumput ini.

Puncaknya adalah ketika disepakati adanya pemilihan ulang yang berlangsung kemarin, 19 Desember 2018. Di ronde kedua ini tensi persaingan berpindah, alih-alih menurun. Warga yang semula terbelah menjadi lima, mengerucut menjadi dua: ikut pemilihan ulang atau golput. Mereka yang memilih golput adalah kubu yang jagoannya kalah di ronde pertama. Mereka berdalih pemilihan ulang tidak akan menyelesaikan perkara. Kondisi ini tentu dimanfaatkan oleh kubu petahana. Hasilnya mudah ditebak, petahana kembali muncul sebagai juara dengan prosentase suara jauh mengungguli calon lain.

Berdasar pengamatan saya dari jauh, hasil pemilihan di ronde kedua ini tidak membuat warga puas. Hasil ini semakin membuat warga terbelah. Pesta demokrasi lima tahunan yang seharusnya membuat warga menjadi guyub, justru terpecah belah. Di momen seperti ini, petahana seharusnya muncul sebagai penengah. Rangkul semua kubu yang terbelah. Tunjukkan bahwa dirinya memang pantas memimpin Desa Kateng dua periode. Saya meyakini kualitas seorang pemimpin itu terlihat dari caranya memimpin, bukan dari caranya menjadi pemimpin. Kalau menengahi warga saja tidak bisa, bagaimana mau membela kepentingan warga? 



No comments:

Post a Comment