Di bagian selatan
Pulau Lombok, tepatnya di Desa Kateng, ketegangan sedang terjadi sejak dua
bulan terakhir. Perkaranya adalah hasil pemilihan kepala desa yang tidak
memuaskan semua orang, terutama yang jagoannya kalah. Ke lima kandidat memiliki
pendukung fanatiknya masing-masing.
Seperti biasa, menjelang pemilihan banyak
desas-desus beredar. Tersebar kabar tentang calon A akan membuat kebijakan
seperti ini, calon B seperti itu, dan seterusnya. Ibarat bola salju,
desas-desus itu terus menggelinding dan membesar. Dampaknya antar warga saling
curiga kemudian berujung fitnah.
Dari WA grup
pemuda yang saya ikuti, gesekan antar pendukung terasa sekali. WA grup yang
mulanya berisi kiriman-kiriman lucu, berubah jadi amat serius. Dalam sekejap,
semua orang beralih profesi menjadi pengamat politik. Banyak anggota WA grup
yang memilih keluar karena merasa calon yang didukungnya tidak mendapat suara
di grup tersebut. Mereka kemudian membuat grup tandingan yang beranggotakan
orang-orang yang pro dengan satu calon. Singkat kata, semua pendukung
berlomba-lomba memenangkan calon pujaannya.
Tibalah pada hari
pemilihan yang jatuh pada 24 Oktober 2018. Masa-masa menjelang penghitungan
suara tampaknya adalah masa yang mendebarkan sekaligus membuat penasaran
seluruh warga desa, tak terkecuali petahana yang kembali mencalonkan diri.
Penghitungan suara dari semua TPS selesai. Petahana yang menempati nomor urut 3
kembali terpilih. Hasil ini yang membuat pendukung calon lain tidak terima dan
merusak kertas suara karena menurutnya pemilihan tidak berlangsung adil dan
manipulatif.
Tidak perlu waktu
lama, aksi perusakan bukti sah pemilihan tersebut langsung menyulut emosi warga
lain. Mereka mengaku tidak mau dipimpin oleh kepala desa yang sama untuk kedua
kalinya. Menurut mereka, petahana gagal dalam membangun desa karena tidak ada
perubahan apapun dari segi infrastruktur. Mereka juga merasa dana desa tidak
terserap dengan baik.
Hal ini tentu
tidak diterima oleh pendukung kubu petahana. Mereka juga merasa Pilkades kali
ini tidak berlangsung adil karena jelas-jelas jagoannya menang, tapi malah
tidak diakui. Mereka kemudian berinisiatif melakukan demonstrasi ke kantor
bupati Lombok Tengah. Mereka meminta Bupati turun tangan membereskan polemik
ini. Menurut mereka, petahana unggul dalam pemilihan dan sah menjadi kepala
desa dua periode. Namun, bupati yang diharapkan bisa menjadi penengah kubu yang
berseteru, terkesan lambat membereskan persoalan di akar rumput ini.
Puncaknya adalah
ketika disepakati adanya pemilihan ulang yang berlangsung kemarin, 19 Desember
2018. Di ronde kedua ini tensi persaingan berpindah, alih-alih menurun. Warga
yang semula terbelah menjadi lima, mengerucut menjadi dua: ikut pemilihan ulang
atau golput. Mereka yang memilih golput adalah kubu yang jagoannya kalah di
ronde pertama. Mereka berdalih pemilihan ulang tidak akan menyelesaikan
perkara. Kondisi ini tentu dimanfaatkan oleh kubu petahana. Hasilnya mudah
ditebak, petahana kembali muncul sebagai juara dengan prosentase suara jauh
mengungguli calon lain.
Berdasar
pengamatan saya dari jauh, hasil pemilihan di ronde kedua ini tidak membuat
warga puas. Hasil ini semakin membuat warga terbelah. Pesta demokrasi lima
tahunan yang seharusnya membuat warga menjadi guyub, justru terpecah belah. Di
momen seperti ini, petahana seharusnya muncul sebagai penengah. Rangkul semua
kubu yang terbelah. Tunjukkan bahwa dirinya memang pantas memimpin Desa Kateng
dua periode. Saya meyakini kualitas seorang pemimpin itu terlihat dari caranya
memimpin, bukan dari caranya menjadi pemimpin. Kalau menengahi warga saja tidak
bisa, bagaimana mau membela kepentingan warga?
No comments:
Post a Comment