Sore itu cuaca cerah. Sekelompok orang
sudah terlihat di pelataran warung Jejak Kopi. Beberapa di antara mereka adalah
panitia yang sedang menyiapkan keperluan peluncuran dan diskusi antologi buku Rumah Penyair 5. Peluncuran buku ini
disertai diskusi publik bertema Jejak Sua.
Jam sudah memeluk angka 15.40 ketika
saya tiba. Tapi belum ada tanda-tanda acara akan segera dimulai. Padahal, di
pamflet yang tersebar acara berlangsung pukul 15.00 WIB. Tapi saya tidak begitu
heran sih, kondisi seperti sering saya jumpai.
Tidak lama setelah saya datang, peserta
yang hadir semakin bertambah. Dari yang lihat, sebagian besar dari mereka
adalah pelanggan setia Jejak Kopi ketika masih beroperasi. Barangkali mereka
rindu sore-sore menyeruput kopi di warung ini.
Merasa audien sudah cukup, pembawa
acara naik ke panggung dan memberi isyarat dimulainya acara. Peserta yang berjumlah sekitar tiga puluhan
orang itu langsung mengalihkan fokus ke sumber suara. Mereka memperhatikan
secara seksama namun santai kata-kata yang diucapkan si pembawa acara yang
belakangan saya tahu bernama Bayu.
Setelah menyampaikan salam dan
membuka acara, Bayu langsung mempersilahkan Jejak Musik untuk menunaikan
tugasnya. Grup musik ini adalah bintang tamu di sore itu. Mereka menyanyikan
dua lagu puisi milik Nana Ernawati dan Subagiyo Sastrowardoyo. Saya tidak
pernah bosan mendengar dua puisi yang dimusikalisasi kelompok ini, aransemen
musiknya nyaman telinga dan membuat saya ingin menikmatinya lagi dan lagi.
Acara bergeser, kini giliran
beberapa penyair muda yang membaca puisi. Satu di antara mereka yang saya kenal
bernama Dion. Dia membacakan puisinya yang baru saja memenangkan lomba cipta
puisi. Puisi yang merupakan hasil eksperimennya di Malioboro tersebut lumayan
berhasil mengimajinasikan realitas yang ada di sana. Segala macam profesi yang
ada di Malioboro mulai dari penjaja asongan, tukang sate hingga pemilik lapak
pakaian dituangkan Dion dengan apik di bait-bait puisinya.
Pembacaan puisi usai, Bayu lalu
menggiring peserta ke acara inti. Sore itu, 16 Desember 2018, Kelompok Belajar
Sastra Jejak Imaji bekerjasama dengan mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia (PBSI) UAD menyelenggarakan diskusi dan peluncuran buku antologi
puisi Rumah Penyair 5. Di acara ini
hadir Ilham Rabbani dan Bisri Mustofa selaku pembedah karya-karya yang
termaktub dalam buku antologi.
Tanpa basa-basi yang basi,
moderator langsung menyodorkan pertanyaan ke Ilham selaku editor buku perihal
sejarah antologi Rumah Penyair yang kini mencapai edisi ke 5. Dari Ilham saya
mengetahui bahwa hadirnya buku antologi mahasiswa PBSI sejak lima tahun
terakhir tidak lepas dari peran Abdul Wahid B.S. Sejak menjadi pengajar di UAD,
Ayah, begitu penyair tersebut disapa, langsung memberikan pengaruh terhadap
kualitas karya mahasiswa. Maka tidah heran, dari tangan Ayah muncul sastrawan
baru dari Kampus Oranye, mereka di antaranya adalah Latief S. Nugraha, Iqbal H.
Saputra, dan Fitri Merawati.
Pasca merampungkan studi di UAD,
ketiga penyair tersebut tidak langsung hengkang begitu saja dari kampus yang
telah mengorbitkan namanya. Mereka masih bersedia melibatkan diri entah sebagai
pengajar ataupun pendamping mahasiswa dalam mencipktan karya sastra. Dari
aktifitas tersebut lahirlah ide untuk menciptakan sebuah buku antologi yang
menjadi rumah bagi puisi-puisi karya mahasiswa PBSI.
Antologi puisi Rumah Penyair 1 tidak lahir begitu saja.
Di masa-masa awal Iqbal harus berjibaku memahamkan mahasiswa bahwa puisi tidak
melulu soal cinta dan galau, tapi lebih dari itu. Bisri selaku pembicara yang
juga terlibat dalam pembuatan Rumah
Penyair 1 mengaku ada perubahan mendasar yang ia dan rekan-rekannya alami.
Tidak hanya cara pandanganya terhadap puisi saja yang berubah, tetapi juga
pentingnya memilih diksi yang tepat untuk menghadirkan imajinasi kepada
pembaca. Di samping itu, pandangan Bisri terhadap proses pembuatan sebuah buku
juga ikut berubah. Ia menyadari bahwa untuk membuat satu buku prosesnya sangat
menguras tenaga.
Singkat kata, Bisri dkk berhasil
menelurkan karya antologi bersama rekan-rekan seangkatnnya. Karya perdana ini
memberikan prestis tersendiri bagi PBSI. Pasca buku antologi Rumah Penyair 1 lahir, Bisri tidak
lantas berpangku tangan. Bersama Ardy dan Ari, teman satu angkatannya, ia
membimbing dan membagikan pengalaman ke generasi berikutnya untuk melahirkan
buku antologi serupa. Hal ini terus berlanjut dari generasi ke generasi hingga
saat ini telah mencapai edisi kelima. Jika di total sebenarnya sudah ada tujuh
buku yang mahasiswa PBSI dilahirkan sejak kehadiran Abdul Wahid B.S, lima di
antaranya adalah antologi Rumah Penyair,
Teras Sastra dan Esai Kritik Puisi.
Hingga edisi kelima ini, antologi
Rumah Penyair sudah banyak melahirkan
sastrawan muda. Dari setiap antologi yang lahir, terlihat bahwa kualitas karya
yang muncul mulai membaik. Karya-karya terbaru mereka sudah mulai melakukan
kontemplasi dan peningkatan dari segi kualitas.
Ilham Rabbani, jebolan Rumah Penyair 4 yang menjadi editor
edisi ke-5 ini menyampaikan antologi ini menjadi monumen yang menandakan bahwa
mahasiswa PBSI punya wujud karya yang konkrit. Menurutnya, antologi Rumah Penyair ini bisa menjadi strategi membangkitkan minat mahasiswa dalam
berkarya. Sebab, menurutnya, tidak semua mahasiswa peduli dan cinta dengan
buku.
Selain itu, Ilham menganggap
karya semacam ini perlu dilanjutkan karena bisa juga berfungsi sebagai wadah
nostalgia setiap orang yang terlibat di dalamnya. Mereka yang terlibat
dalam pembuatan antologi ini kelak akan
mengingat bahwa mereka punya karya.
Diskusi sore itu berlangsung
seru. Suara adzan Maghrib meminta peserta diskusi rehat untuk menunaikan
shalat. Usai melaksanakan kewajiban, diskusi kembali bergulir tanpa satu
peserta yang kurang. Diskusi ini tampak membius mereka yang hadir. Mereka setia
mengikuti acara dari awal hingga akhir. Kalau bukan karena cuaca yang
bersahabat, mustahil mereka bertahan hingga selesai.
No comments:
Post a Comment