Tuesday 25 December 2018

Merumahkan Rumah Penyair 5



Sore itu cuaca cerah. Sekelompok orang sudah terlihat di pelataran warung Jejak Kopi. Beberapa di antara mereka adalah panitia yang sedang menyiapkan keperluan peluncuran dan diskusi antologi buku Rumah Penyair 5. Peluncuran buku ini disertai diskusi publik bertema Jejak Sua.

Jam sudah memeluk angka 15.40 ketika saya tiba. Tapi belum ada tanda-tanda acara akan segera dimulai. Padahal, di pamflet yang tersebar acara berlangsung pukul 15.00 WIB. Tapi saya tidak begitu heran sih, kondisi seperti sering saya jumpai.

Tidak lama setelah saya datang, peserta yang hadir semakin bertambah. Dari yang lihat, sebagian besar dari mereka adalah pelanggan setia Jejak Kopi ketika masih beroperasi. Barangkali mereka rindu sore-sore menyeruput kopi di warung ini.


Merasa audien sudah cukup, pembawa acara naik ke panggung dan memberi isyarat dimulainya acara.  Peserta yang berjumlah sekitar tiga puluhan orang itu langsung mengalihkan fokus ke sumber suara. Mereka memperhatikan secara seksama namun santai kata-kata yang diucapkan si pembawa acara yang belakangan saya tahu bernama Bayu.

Setelah menyampaikan salam dan membuka acara, Bayu langsung mempersilahkan Jejak Musik untuk menunaikan tugasnya. Grup musik ini adalah bintang tamu di sore itu. Mereka menyanyikan dua lagu puisi milik Nana Ernawati dan Subagiyo Sastrowardoyo. Saya tidak pernah bosan mendengar dua puisi yang dimusikalisasi kelompok ini, aransemen musiknya nyaman telinga dan membuat saya ingin menikmatinya lagi dan lagi.

Acara bergeser, kini giliran beberapa penyair muda yang membaca puisi. Satu di antara mereka yang saya kenal bernama Dion. Dia membacakan puisinya yang baru saja memenangkan lomba cipta puisi. Puisi yang merupakan hasil eksperimennya di Malioboro tersebut lumayan berhasil mengimajinasikan realitas yang ada di sana. Segala macam profesi yang ada di Malioboro mulai dari penjaja asongan, tukang sate hingga pemilik lapak pakaian dituangkan Dion dengan apik di bait-bait puisinya.

Pembacaan puisi usai, Bayu lalu menggiring peserta ke acara inti. Sore itu, 16 Desember 2018, Kelompok Belajar Sastra Jejak Imaji bekerjasama dengan mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) UAD menyelenggarakan diskusi dan peluncuran buku antologi puisi Rumah Penyair 5. Di acara ini hadir Ilham Rabbani dan Bisri Mustofa selaku pembedah karya-karya yang termaktub dalam buku antologi.

Tanpa basa-basi yang basi, moderator langsung menyodorkan pertanyaan ke Ilham selaku editor buku perihal sejarah antologi Rumah Penyair yang kini mencapai edisi ke 5. Dari Ilham saya mengetahui bahwa hadirnya buku antologi mahasiswa PBSI sejak lima tahun terakhir tidak lepas dari peran Abdul Wahid B.S. Sejak menjadi pengajar di UAD, Ayah, begitu penyair tersebut disapa, langsung memberikan pengaruh terhadap kualitas karya mahasiswa. Maka tidah heran, dari tangan Ayah muncul sastrawan baru dari Kampus Oranye, mereka di antaranya adalah Latief S. Nugraha, Iqbal H. Saputra, dan Fitri Merawati.

Pasca merampungkan studi di UAD, ketiga penyair tersebut tidak langsung hengkang begitu saja dari kampus yang telah mengorbitkan namanya. Mereka masih bersedia melibatkan diri entah sebagai pengajar ataupun pendamping mahasiswa dalam mencipktan karya sastra. Dari aktifitas tersebut lahirlah ide untuk menciptakan sebuah buku antologi yang menjadi rumah bagi puisi-puisi karya mahasiswa PBSI.

Antologi puisi Rumah Penyair 1 tidak lahir begitu saja. Di masa-masa awal Iqbal harus berjibaku memahamkan mahasiswa bahwa puisi tidak melulu soal cinta dan galau, tapi lebih dari itu. Bisri selaku pembicara yang juga terlibat dalam pembuatan Rumah Penyair 1 mengaku ada perubahan mendasar yang ia dan rekan-rekannya alami. Tidak hanya cara pandanganya terhadap puisi saja yang berubah, tetapi juga pentingnya memilih diksi yang tepat untuk menghadirkan imajinasi kepada pembaca. Di samping itu, pandangan Bisri terhadap proses pembuatan sebuah buku juga ikut berubah. Ia menyadari bahwa untuk membuat satu buku prosesnya sangat menguras tenaga.

Singkat kata, Bisri dkk berhasil menelurkan karya antologi bersama rekan-rekan seangkatnnya. Karya perdana ini memberikan prestis tersendiri bagi PBSI. Pasca buku antologi Rumah Penyair 1 lahir, Bisri tidak lantas berpangku tangan. Bersama Ardy dan Ari, teman satu angkatannya, ia membimbing dan membagikan pengalaman ke generasi berikutnya untuk melahirkan buku antologi serupa. Hal ini terus berlanjut dari generasi ke generasi hingga saat ini telah mencapai edisi kelima. Jika di total sebenarnya sudah ada tujuh buku yang mahasiswa PBSI dilahirkan sejak kehadiran Abdul Wahid B.S, lima di antaranya adalah antologi Rumah Penyair, Teras Sastra dan Esai Kritik Puisi.

Hingga edisi kelima ini, antologi Rumah Penyair sudah banyak melahirkan sastrawan muda. Dari setiap antologi yang lahir, terlihat bahwa kualitas karya yang muncul mulai membaik. Karya-karya terbaru mereka sudah mulai melakukan kontemplasi dan peningkatan dari segi kualitas.

Ilham Rabbani, jebolan Rumah Penyair 4 yang menjadi editor edisi ke-5 ini menyampaikan antologi ini menjadi monumen yang menandakan bahwa mahasiswa PBSI punya wujud karya yang konkrit. Menurutnya, antologi Rumah Penyair ini bisa menjadi  strategi membangkitkan minat mahasiswa dalam berkarya. Sebab, menurutnya, tidak semua mahasiswa peduli dan cinta dengan buku.

Selain itu, Ilham menganggap karya semacam ini perlu dilanjutkan karena bisa juga berfungsi sebagai wadah nostalgia setiap orang yang terlibat di dalamnya. Mereka yang terlibat dalam  pembuatan antologi ini kelak akan mengingat bahwa mereka punya karya.

Diskusi sore itu berlangsung seru. Suara adzan Maghrib meminta peserta diskusi rehat untuk menunaikan shalat. Usai melaksanakan kewajiban, diskusi kembali bergulir tanpa satu peserta yang kurang. Diskusi ini tampak membius mereka yang hadir. Mereka setia mengikuti acara dari awal hingga akhir. Kalau bukan karena cuaca yang bersahabat, mustahil mereka bertahan hingga selesai.   









No comments:

Post a Comment