Saya bukanlah penikmat es krim yang fanatik. Intensitas makan es krim saya bisa dihitung jari. Jika disuruh membuat daftar makanan favorit, es krim mungkin akan bercokol di urutan ke sembilan setelah tempe mendoan. Namun, posisi itu segera berubah setelah saya mencicipi es krim Osiris, kekuatan rasa yang ditawarkan membuat es krim naik tingkat menempati urutan keempat, satu tingkat di atas mie ayam. Tentu, nasi telor tidak ada yang bisa menggesernya di posisi puncak.
Siang
itu, saya berencana pergi liputan ke sebuah desa di Bantul, tepatnya di dusun Paker,
kelurahan Sidomulyo, kecamatan Bambanglipuro. Berhubung lokasinya lumayan jauh,
saya berusaha mengontak kawan yang sekiranya asyik diajak ngobrol di jalan. Apa
lacur, semua kawan saya ada kuliah siang itu, terpaksa saya tarik gas seorang
diri.
Saya
berangkat ke lokasi es krim Osiris tanpa berbekal alamat. Saya tidak tahu
dimana lokasi persis es krim itu berada. Saya hanya ingat dari sebuah surat
kabar, es krim tersebut terletak di KM 20 jalan Parangtritis. Saya menyusuri
jalan parangtritis, setibanya di KM 20, di kanan jalan terdapat penunjuk arah
letak warung es krim ini berada. Saya ikuti petunjuknya, hanya dalam hitungan
menit saya tiba di lokasi.
Dari
luar, dekorasi warung es krim ini tampak sederhana, dengan beberapa meja-kursi
yang beratapkan seng dengan hiasan pinggir warna merah muda, membuat warung ini
terlihat ngejreng. Terlebih warung
ini berlokasi di pinggir jalan sebuah kampung. Warna merah muda yang
mendominasi membuat warung ini begitu mencolok sehingga menimbulkan rasa
penasaran bagi siapa saja yang melintas di depannya.
Berdiri
sejak 2014, Osiris diinsiasi oleh sekelompok mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM)
yang ketika itu memiliki program pemberdayaan masyarakat. Mereka kemudian
mengajak komunitas difabel Bangkit Maju di desa Sidomulyo untuk bekerjasama.
Kerja sama ini bertujuan supaya kaum difabel bisa hidup mandiri. Sejak didirikan,
semua proses mulai dari pembuatan sampai pemasaran es krim dikerjakan oleh para
difabel.
Menurut
pengakuan Joko Susilo, ketua komunitas difabel sekaligus pengelola es krim,
difabel yang terdata di desanya mencapai 300 orang. Akan tetapi, yang terdaftar
sebagai anggota komunitas hanyalah tiga puluh orang. Dan yang terlibat dalam
produksi Osiris hanya sembilan orang.
Saya
sedang duduk menunggu pesanan ketika Joko datang. Ia habis berkunjung ke rumah
kerabatnya. Ia muncul mengendarai Honda Grand dengan satu tangan mengendalikan
gas.
“Tangan
kiri saya tidak bisa digerakkan, mas. Saya polio dari umur tiga tahun,”
kisahnya.
Meski
tangan kirinya lumpuh, ia tidak merasa aktifitasnya terganggu. Hampir semua pekerjaan
bisa ia kerjakan layaknya orang normal. Bertani dan berkendara dilakukannya
dengan mudah.
Varian
rasa yang dijajakan Osiris tergolong unik. Jarang saya temui es krim rasa
Salak, Buah Naga, Pisang Coklat, dan Nangka.
Es
krim ini disajikan dalam tiga bentuk: single, double dan jumbo. Harganya pun
tergolong sangat bersahabat, untuk porsi single dihargai Rp. 4.000. Harga ini
berlaku kelipatan untuk porsi double dan jumbo. Jika butuh cemilan, Anda bisa
memesan kentang goreng dengan harga super irit: Rp. 5.000 saja.
“Rasa
Nangka ya, bu,”
pinta saya.
Rasa
itu saya pilih karena belum pernah mendengar es krim rasa nangka. Tidak sampai
lima menit, menu yang saya pesan datang.
Tekstur
esnya terasa agak kasar, tidak sehalus es krim waralaba. Mungkin dalam proses pengadonan
tidak terlalu memperhatikan suhu pendingin, serat esnya masih jelas terasa.
Tapi soal rasa, lidah saya enggan berhenti mengunyah. Buah nangkanya terasa kuat
dan nendang, begitu juga dengan rasa pisang coklat yang saya pesan di kali
kedua, rasa pisangnya membuat lidah saya ingin lagi dan lagi.
Waktu
awal berdiri, Osiris berencana hanya akan menjajakan satu rasa, yakni Buah
Naga. Namun, karena kendala kelangkaan dan pasar, Osiris mengeksplor banyak
macam buah asli nusantara, sehingga jadilah seperti varian rasa yang ada sekarang
ini.
“Arti
nama Osiris ini apa ,Pak?”
“Jelek,
mas. Dewa Kematian,”
jawab Joko terkekeh.
Osiris
kini sudah memiliki cabang, satu di jalan Parangtritis KM 22 dan di Pasar Seni
Gabusan (masih dalam proses). Joko bercerita, tidaklah mudah mencapai posisi seperti
saat ini. Butuh waktu enam bulan untuk mencoba dan mencari hingga menemukan
cita rasa es krim yang khas.
Kini,
es krim hasil produksi warga-warga difabel Sidomulyo sudah mendunia. Pernah meraih juara 1 lomba Social Enterpreneurship and Bussines Asean
yang diselenggarakan di UGM tahun 2015. Prestasi ini memancing banyak media
datang meliput.
“Semua
stasiun televisi pernah kesini, mas. Cuma RCTI aja yang belum,”
ujar Ari Wahyuni tersenyum, istri Joko.
Berkat
prestasi itu, Sheila, mahasiswa UGM yang mempelopori es krim Osiris, sempat
diundang oleh Presiden Barack Obama atas kepeduliannya terhadap sesama. Dia
pergi ke Laos bertatap muka langsung dengan orang nomor satu di Amerika Serikat
tersebut. Sheila sebelumnya tidak pernah membayangkan jika dikemudian hari
usahanya mendapat apresiasi dari masyarakat dunia.
Sejak
Osiris beroperasi, rumah Joko tidak pernah sepi. Pembeli terus berdatangan, mulai
dari warga sekitar, Jogja hingga luar daerah. Kini, Joko dan istrinya harus stand by di rumah, jaga-jaga jika ada
wartawan yang datang meliput.
Profesi
Joko yang semulanya akrab dengan cangkul dan ladang, kini mendadak berubah. Dia
sudah terbiasa dengan kamera dan pertanyaan wartawan. “Selasa
kemarin saya baru pulang dari Jakarta,mas. Diundang Big Bang Show, Kompas TV,”
kisahnya tersenyum.
Di
balik keberhasilan Osiris, Joko menyimpan kekhawatiran. Rekannya sesama difabel
yang semula berpartisipasi aktif kini jumlahmya menurun. Alasanya macam-macam,
ada yang terkendala mobilisasi, urusan rumah tangga dan kesibukan lain. Joko
takut jika kelak usaha ini tidak lagi dikelola oleh difabel.
Setiap
keuntungan yang didapat Osiris, digunakan untuk menggaji karyawan difabel,
membeli bahan es krim, dan akan ditabung untuk kepentingan pendidikan dan
kesehatan.
Tidak
terasa hari sudah semakin sore, saya melihat jam waktu menunjukkan pukul empat
sore. Saya harus segera pulang. Saya mendongak, awan mulai menghitam, saya
khawatir dalam perjalanan dihadang hujan, terlebih jas hujan luput saya bawa.
Saya
menukar dua porsi es krim yang saya makan dengan satu lembar merah sepuluh ribuan.
“Ini, mas,”
panggil bu Ari menyodorkan kembalian dua ribu rupiah. Saya pamitan.
No comments:
Post a Comment