Monday 28 November 2016

Osiris: Es Krim untuk Sesama


Saya bukanlah penikmat es krim yang fanatik. Intensitas makan es krim saya bisa dihitung jari. Jika disuruh membuat daftar makanan favorit, es krim mungkin akan bercokol di urutan ke sembilan setelah tempe mendoan. Namun, posisi itu segera  berubah setelah saya mencicipi es krim Osiris, kekuatan rasa yang ditawarkan membuat es krim naik tingkat menempati urutan keempat, satu tingkat di atas mie ayam. Tentu, nasi telor tidak ada yang bisa menggesernya di posisi puncak. 

Siang itu, saya berencana pergi liputan ke sebuah desa di Bantul, tepatnya di dusun Paker, kelurahan Sidomulyo, kecamatan Bambanglipuro. Berhubung lokasinya lumayan jauh, saya berusaha mengontak kawan yang sekiranya asyik diajak ngobrol di jalan. Apa lacur, semua kawan saya ada kuliah siang itu, terpaksa saya tarik gas seorang diri. 

Saya berangkat ke lokasi es krim Osiris tanpa berbekal alamat. Saya tidak tahu dimana lokasi persis es krim itu berada. Saya hanya ingat dari sebuah surat kabar, es krim tersebut terletak di KM 20 jalan Parangtritis. Saya menyusuri jalan parangtritis, setibanya di KM 20, di kanan jalan terdapat penunjuk arah letak warung es krim ini berada. Saya ikuti petunjuknya, hanya dalam hitungan menit saya tiba di lokasi.

Dari luar, dekorasi warung es krim ini tampak sederhana, dengan beberapa meja-kursi yang beratapkan seng dengan hiasan pinggir warna merah muda, membuat warung ini terlihat ngejreng. Terlebih warung ini berlokasi di pinggir jalan sebuah kampung. Warna merah muda yang mendominasi membuat warung ini begitu mencolok sehingga menimbulkan rasa penasaran bagi siapa saja yang melintas di depannya. 
Berdiri sejak 2014, Osiris diinsiasi oleh sekelompok mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM) yang ketika itu memiliki program pemberdayaan masyarakat. Mereka kemudian mengajak komunitas difabel Bangkit Maju di desa Sidomulyo untuk bekerjasama. Kerja sama ini bertujuan supaya kaum difabel bisa hidup mandiri. Sejak didirikan, semua proses mulai dari pembuatan sampai pemasaran es krim dikerjakan oleh para difabel.

Menurut pengakuan Joko Susilo, ketua komunitas difabel sekaligus pengelola es krim, difabel yang terdata di desanya mencapai 300 orang. Akan tetapi, yang terdaftar sebagai anggota komunitas hanyalah tiga puluh orang. Dan yang terlibat dalam produksi Osiris hanya sembilan orang. 

Saya sedang duduk menunggu pesanan ketika Joko datang. Ia habis berkunjung ke rumah kerabatnya. Ia muncul mengendarai Honda Grand dengan satu tangan mengendalikan gas. 

Tangan kiri saya tidak bisa digerakkan, mas. Saya polio dari umur tiga tahun, kisahnya.
Meski tangan kirinya lumpuh, ia tidak merasa aktifitasnya terganggu. Hampir semua pekerjaan bisa ia kerjakan layaknya orang normal. Bertani dan berkendara dilakukannya dengan mudah.

Varian rasa yang dijajakan Osiris tergolong unik. Jarang saya temui es krim rasa Salak, Buah Naga, Pisang Coklat, dan Nangka. 

Es krim ini disajikan dalam tiga bentuk: single, double dan jumbo. Harganya pun tergolong sangat bersahabat, untuk porsi single dihargai Rp. 4.000. Harga ini berlaku kelipatan untuk porsi double dan jumbo. Jika butuh cemilan, Anda bisa memesan kentang goreng dengan harga super irit: Rp. 5.000 saja.

Rasa Nangka ya, bu, pinta saya. 

Rasa itu saya pilih karena belum pernah mendengar es krim rasa nangka. Tidak sampai lima menit, menu yang saya pesan datang. 

Tekstur esnya terasa agak kasar, tidak sehalus es krim waralaba. Mungkin dalam proses pengadonan tidak terlalu memperhatikan suhu pendingin, serat esnya masih jelas terasa. Tapi soal rasa, lidah saya enggan berhenti mengunyah. Buah nangkanya terasa kuat dan nendang, begitu juga dengan rasa pisang coklat yang saya pesan di kali kedua, rasa pisangnya membuat lidah saya ingin lagi dan lagi.

Waktu awal berdiri, Osiris berencana hanya akan menjajakan satu rasa, yakni Buah Naga. Namun, karena kendala kelangkaan dan pasar, Osiris mengeksplor banyak macam buah asli nusantara, sehingga jadilah seperti varian rasa yang ada sekarang ini. 

Arti nama Osiris ini apa ,Pak?

Jelek, mas. Dewa Kematian, jawab Joko terkekeh. 

Osiris kini sudah memiliki cabang, satu di jalan Parangtritis KM 22 dan di Pasar Seni Gabusan (masih dalam proses). Joko bercerita, tidaklah mudah mencapai posisi seperti saat ini. Butuh waktu enam bulan untuk mencoba dan mencari hingga menemukan cita rasa es krim yang khas. 

Kini, es krim hasil produksi warga-warga difabel Sidomulyo  sudah mendunia. Pernah meraih juara 1 lomba Social Enterpreneurship and Bussines Asean yang diselenggarakan di UGM tahun 2015. Prestasi ini memancing banyak media datang meliput.

Semua stasiun televisi pernah kesini, mas. Cuma RCTI aja yang belum, ujar Ari Wahyuni tersenyum, istri Joko. 

Berkat prestasi itu, Sheila, mahasiswa UGM yang mempelopori es krim Osiris, sempat diundang oleh Presiden Barack Obama atas kepeduliannya terhadap sesama. Dia pergi ke Laos bertatap muka langsung dengan orang nomor satu di Amerika Serikat tersebut. Sheila sebelumnya tidak pernah membayangkan jika dikemudian hari usahanya mendapat apresiasi dari masyarakat dunia.

Sejak Osiris beroperasi, rumah Joko tidak pernah sepi. Pembeli terus berdatangan, mulai dari warga sekitar, Jogja hingga luar daerah. Kini, Joko dan istrinya harus stand by di rumah, jaga-jaga jika ada wartawan yang datang meliput. 

Profesi Joko yang semulanya akrab dengan cangkul dan ladang, kini mendadak berubah. Dia sudah terbiasa dengan kamera dan pertanyaan wartawan.  Selasa kemarin saya baru pulang dari Jakarta,mas. Diundang Big Bang Show, Kompas TV, kisahnya tersenyum. 

Di balik keberhasilan Osiris, Joko menyimpan kekhawatiran. Rekannya sesama difabel yang semula berpartisipasi aktif kini jumlahmya menurun. Alasanya macam-macam, ada yang terkendala mobilisasi, urusan rumah tangga dan kesibukan lain. Joko takut jika kelak usaha ini tidak lagi dikelola oleh difabel. 

Setiap keuntungan yang didapat Osiris, digunakan untuk menggaji karyawan difabel, membeli bahan es krim, dan akan ditabung untuk kepentingan pendidikan dan kesehatan. 

Tidak terasa hari sudah semakin sore, saya melihat jam waktu menunjukkan pukul empat sore. Saya harus segera pulang. Saya mendongak, awan mulai menghitam, saya khawatir dalam perjalanan dihadang hujan, terlebih jas hujan luput saya bawa. 

Saya menukar dua porsi es krim yang saya makan dengan satu lembar merah sepuluh ribuan. Ini, mas, panggil bu Ari menyodorkan kembalian dua ribu rupiah. Saya pamitan.



No comments:

Post a Comment