Saya pertama kali mendengar nama Wika dari mahasiswa yang belum ingin lulus (atau mungkin tidak akan lulus?): Aditya Dwi Yoga. Kisahnya tentang prestasi Wika kemudian memantik reporter Poros untuk mewawancarai gadis kelahiran Maluku Utara tersebut. Sebagai media yang baru pulih, memberitakan capaian Wika bisa menjadi batu loncatan yang aman. Poros tenang, bapak senang.
Cukup lama setelah cerita dari Adit, saya mendengar
kembali nama Wika. Tapi kali ini bukan karena prestasi, melainkan untuk
mengulas karyanya. Bak jodoh yang dipisahkan untuk bertemu. Saya yakin ini
bukan kebetulan belaka. Ini adalah sekenario Tuhan. Tuhan memang maha asik.
***
Baiklah, saya akan menulis esai ini dengan modal
nekat. Saya sebenarnya asing sekali dengan cerpen, tapi kali ini kebagian
mengulas karya Wika yang sama sekali belum pernah saya jumpai. Saya tidak tahu
banyak tentang Wika. Saya hanya mengetahuinya sebagai mahasiswa Biologi yang
meraih juara 1 Peksiminas di Kendari beberapa waktu lalu. Patut lah kiranya
kita berdiri sejenak membungkukan punggung untuknya. Tapi jangan lama-lama,
karena tingginya prestasi belum tentu berbanding lurus dengan kualitas karya.
Benar saja, setelah membaca dua cerpen Wika yang
dikirim melalui email, saya menemukan banyak rasa. Rasa dengan bumbu yang
terlalu dipaksakan. Bumbu yang sama sekali tidak nyambung. Pernahkah kamu
membayangkan makan sate dengan bumbu sirup dan susu kental manis? Akan seperti
apa rasanya? Itulah yang Wika lakukan dalam cerpenya. Ia sedang mencari bentuk,
coba bumbu itu, ambil bumbu ini, dan rasanya hancur.
Kedua cerpen itu masih mencari cita rasa, belum
menemukan bumbu yang pas. Meminjam istilah Bondan Winarno, belum Maknyuus.
Tekstur surealisme dipaksakan hadir. Dalam cerpen berjudul Mardiyem
misalkan, Wika terlalu jauh menerapkan surealisme. Okelah, gaya ini memang
mencoba mendobrak strukturalisme dengan penulisan yang melompat-lompat. Tapi
jika terlalu dipaksakan, apa tidak kasihan sama karya dan pembacanya? Radio
Merah karya Rosihan Anwar mungkin adalah contoh recomanded jika
ingin melihat bagaimana surealisme dalam cerpen.
Menulis karya surealis sah-sah saja, tapi ketika
melawan arus logika itu yang salah. Siapa yang paham membaca Mardiyem?
Di cerpen itu Wika tidak terlalu mempedulikan unsur geografis dan politik.
Bagaimana mungkin di kota St. Petersburg terdapat
penjual sate usus? Jenis makanan yang paling banyak tersaji di angkringan.
Terlebih jeroan seperti usus bagi masyarakat eropa tak ubahnya kotoran hewan
yang tak layak makan. Wika saya rasa kecolongan di bagian ini.
Sampai tulisan
ini selesai ditulis, saya masih belum bisa memahami apa yang hendak disampaikan
Wika dalam Mardiyem. Padahal saya membacanya sudah belasan kali. Barangkali
hanya kalimatnya Nusron Wahid yang bisa menjelaskan, “Yang paling tahu makna
cerpen itu adalah Wika dan Allah.”
Lain Mardiyem lain pula Peti Mati Kidung
Agung. Alur ceritanya tidak terlalu sulit sebenarnya, tapi sama saja, niat
Wika belum bisa saya lihat. Setelah selesai membaca di kali kelima, tiba-tiba
saya teringat novel Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan. Peti Mati
Kidung Agung ada miripnya dengan novel tersebut. Novel setebal 517 halaman itu
hadir dengan mengoyak logika formal berpikir kita. Lihat bagaimana Eka
menggambarkan tokoh Dewi Ayu yang bangkit dari kubur setelah 21 tahun
meninggal. Di desa, dimana jasad Dewi Ayu bangkit dari kubur, masyarakat biasa
saja melihat Dewi Ayu berkeliaran di jalanan, meski awalnya mereka lari
ketakutan.
Tidak hanya itu, melalui Ma Iyang dan Ma Gedig (orang
tua Dewi Ayu) Eka, menurut Maman S. Mahayana, telah memperkosa akal sehat kita.
Ma Iyang dan Ma Gedig dikisahkan pernah bercinta di atas bukit setelah enam
belas tahun berpisah karena Ma Iyang menjadi gundik kolonial. Setelah bercinta,
Ma Iyang tiba-tiba terbang dari atas bukit dan menghilang. Edan betul si Eka,
pun juga Wika dengan tokoh Kusnan.
Selain surealisme yang dipaksakan, Wika juga menyajikan
absurdisme yang kebablasan dengan menghadirkan tokoh Kusnan yang sudah mati
namun masih hidup dalam dialognya dengan Ali. Ali sendiri sebenarnya sudah
paham bahwa Kusnan telah tiada. Tapi ia mencoba melawannya bicara.
Seorang Commis[1] berhasrat menjadi Head
Cheaf, analogi ini barangkali cocok untuk menggambarkan sosok Wika. Ia sedang
mencoba banyak macam rempah dan menghidangkannya dengan semenarik mungkin,
tidak lupa pula ia menambahkan garnis sebagai pemanis tampilan. Tapi, koki yang
baik tidak hanya mengandalkan tampilan, melainkan kualitas rasa. Jika
bermain-main dengan rasa, seorang Chef bisa dengan cepat didepak dari dapurnya.
Seorang Commis tidak boleh gegabah, ia harus sabar meniti karir, jenjang demi
jenjang. Dari mulai Cook Helper[2], Commis, Chef de Partie[3],
Sous Chef[4] sampai Head Chef[5].
***
Makanan jenis apa yang hendak disajikan Wika?
Absurdisme yang mengangkangi logika formal atau realisme yang sewenang-wenang?
Sebagai sebuah karya kreatif, apa pun yang ditulis Wika
sebenarnya boleh-boleh saja. Apalagi jika berbicara licentia poetica,
menghambat proses kreatif seseorang merupakan sebuah kesalahan besar atau bisa jadi
dituduh penistaan kreatifitas. Astagfirullah.
Usaha Wika dengan mencoba menghidangkan inovasi baru
layak mendapat tepuk tangan, tapi jangan lama-lama, sebentar saja. Karena jika
hanya mengandalkan inovasi dan berbeda tidaklah cukup. Butuh usaha lebih giat.
Tulisan ini tidak bermaksud mengerdilkan capaian Wika
sejauh ini. Usahanya membuat gado-gado dengan komposisi bumbu berbeda patut
diapresiasi. Ia memiliki potensi mendobrak kemapanan bumbu gado-gado selama
ini. Namun, perlu kiranya ia sedikit bersabar. Mencoba tahap demi tahap, jangan
langsung naik ke atas. Karena bumbu yang terlalu dipaksakan akan membuat pelanggan
pergi.
Sebagai gado-gado dengan
inovasi bumbu, akan seperti apa gerangan rasa gado-gado buatan Wika? Untuk saat
ini, kata yang tepat untuk menggambarkan rasanya adalah Hambar.
*Tulisan ini pernah disampaikan di diskusi mingguan kelompok sastra Jejak Imaji, November 2016. Dimuat di sini guna menambah koleksi tulisan.
Catatan
[1] koki biasa yang tugasnya masak di bawah perintah dan
pengawasan ketiga senior di atas tadi. Biasanya ada jabatan senior commis untuk
staff yang sekian lama berada di posisi ini.
[2sebelum jadi koki, seharusnya tiap orang yang baru direkrut
ditempatkan disini dulu kecuali yang bersangkutan emang udah berkualifikasi
terutama kalo spesialisasi suatu masakan, misal masakan Prancis, bisa langsung
jadi chef.
[3] boleh dibilang ini kepala bagian di dapur, di hotel
misalnya dimana ukuran dan organisasi kitchen amat kompleks, CDP memimpin unit
tersendiri misalnya CDP bagian butcher (tukang jagal), CDP bagian pastry (bikin
kue dan dessert), CDP bagian banquet (buat orang kimpoian). Jadi kalo ada acara
besar, chef tinggal komunikasi sama si CDP ini dan voilaa... langsung tersedia.
[4] ini second-in-command nya chef di dapur, kalo chef lagi
jadwalnya libur atau berhalangan, segala keputusan hari itu sous chef yang
bikin. Misal ada permintaan mendadak tanpa reservasi, kita tinggal minta
pertimbangan beliau tanpa perintah chef. Kadang ada posisi Junior Sous Chef
bila Chef menginginkan seorang yang usianya muda tapi berpotensi dan di
promosikan atas rekomendasi Chef.
[5] ini nih orang yang kita panggil Chef kalau ketemu di
kulkas atau di store, pemimpin dapur, tanggung jawabnya besar termasuk
perombakan menu, rekrutmen, konsep makanan, dan keputusan manajemen lainnya.
Biasanya paling tua di suatu outlet karena pengalaman diperlukan untuk posisi
paling tinggi ini. Chef biasanya digunakan di divisi Hot Kitchen pada hotel
atau restaurant. Untuk divisi bakery dan pastry, pangkat paling tinggi adalah
Pastry Chef.
No comments:
Post a Comment