Monday 28 November 2016

Goodbye Rambut Gondrong


Siang itu, berbekal uang delapan ribu hasil iuran, saya beserta seorang kawan mengunjungi sebuah tempat yang dulunya sangat saya haramkan: pangkas rambut. 

Sesampainya di tempat jahanam itu saya langsung duduk. "Botak, mas." Pinta saya. Kain langsung diikat di leher, alat pencukur dicolokkan, sisir mengurai rambut.  Dengan tatapan ragu si Abang bertanya, "Yakin, mas? 

" Yakin! " jawab saya mantab. 

Tidak sampai lima menit, tandas sudah rambut hitam kecoklatan yang selama ini saya rawat seperti anak sendiri. Sejak detik itu, saya merasa tidak punya kepala. Ringan. Saya merasa ditelanjangi. Kurang ajar. 
Pasca keluar dari tempat terkutuk itu puluhan tawa dan bullyan saya terima. Ada yang bilang bulet-lah, muka bakpao-lah, sampai ada yang memfitnah saya mirip dengan Mongol. Sial. But, it's oke, ini negara demokrasi, setiap orang bebas berpendapat. 
Malam hari menjelang tidur, saya merasa ada yang janggal. Rutinitas  mengikat rambut sebelum tidur tidak lagi saya lakukan. Ikat rambut yang biasanya bergelayut di pergelangan tangan hilang entah kemana. 
Akan tetapi, saya tidak menyesal sedikitpun. Saya justru mendapatkan banyak kenikmatan yang selama ini tidak disadari,  shampo jadi lebih irit dan tidak butuh waktu lama mengeringkan rambut sehabis mandi. Life feels so easy

Duta Shampo Lain

Dua minggu belakangan ini leher dan kepala saya terasa gatal. Bintik-bintik merah muncul karena saking sering digaruk. Setelah konsultasi ke hair stylist pribadi, penyebab gatal biadab itu ternyata karena saya ganti shampo. Memang, saya tidak bisa berkhianat, saya tidak bisa jadi duta shampo lain. 
Keesokan harinya saya kecewa, hair stylist saya keliru. Gatal di kepala tak kunjung berhenti meski kembali ke shampo semula. Alhasil, gatal semakin menjadi-jadi. Setelah diperiksa, penyebanya ternyata bukan pada merek shampo, tapi karena kutu di kepala berkembang biak dengan cepat dan sudah mulai berebut lahan tempat tinggal. 

Hair stylist waktu itu langsung meminta saya untuk potong rambut, tapi tidak langsung saya iyakan. Saya berdebat lama dengan diri saya. Kalau dipotong bagaimana nasib para kutu yang sudah lama hidup mencari nafkah di dalamnya? Apa hak saya menghilangkan lahan pencaharian mereka? Mulanya saya sadar, kepala ini bukanlah monopoli saya semata. Saya harus merundingkannya dengan baik bersama para penghuni (kutu). Saya juga sadar kepala ini bukanlah milik Bintang Ground. Jadi, Saya tidak bisa berbuat seenaknya. 

Terpaksa Pangkas Habis

Tapi memang dasar kutu sialan, mereka tidak mau diajak kompromi. Mereka ribut memperbutkan lahan. Gatal semakin menggila. Kulit kepala jadi luka karena sering digaruk. Saya tidak tahan. Akhirnya saya sampai pada sebuah keputusan: pangkas habis. 

Setelah gundul, ada sekitar belasan ekor kutu yang saya dapati. Saya yakin jumlah aslinya tidak segitu, mungkin yang lain ikut hanyut bersama rambut yang berguguran. 

Saya termangu sejenak di depan cermin melihat diri saya yang baru. Saya jadi teringat waktu semester pertama kuliah, memiliki rambut gondromg adalah obsesi terbesar saya. Ketika SMA saya selalu gagal karena terkendala aturan. 

Kini, setelah 3,5 tahun lamanya gondrong saya jadi mengerti, tidak ada yang bisa mengalahkan sabarnya orang gondrong. Karena selain harus rajin dan telaten merawat rambut, mereka juga harus sabar jika dikucilkan secara sosial karena dicap kriminal. 

Benar kata Mamah Dedeh, setiap sesuatu yang menimpa kita harus tetap disyukuri, sekecil apapun itu. Saya bersyukur telah berani mengambil keputusan ini, ternyata banyak pihak yang merasa bahagia. Termasuk keluarga di rumah dan dosen di kampus, mereka menangis haru. Mereka bangga kepada saya. 

Meski belum membuat mereka bangga dengan toga di kepala, minimal dengan rambut plontos ini bisa membuat orang tua dan dosen sedikit tersenyum. Itu saja sudah cukup. 

Oya, hampir lupa. Sebelum tulisan ini berakhir, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada rambut. Kamu luar biasa, bro. Tidak ada rambut yang seperti kamu. Sampai jumpa di lain waktu bersama kutu yang lebih banyak tentunya. Daaaah!


*Tulisan bulan lalu yang diposting untuk menambah koleksi tulisan.

No comments:

Post a Comment