Siang itu, berbekal uang delapan ribu hasil iuran, saya beserta seorang kawan mengunjungi sebuah tempat yang dulunya sangat saya haramkan: pangkas rambut.
Sesampainya
di tempat jahanam
itu saya langsung duduk. "Botak, mas." Pinta saya. Kain langsung
diikat di leher, alat pencukur dicolokkan, sisir mengurai rambut. Dengan tatapan ragu si Abang bertanya,
"Yakin, mas?
"
Yakin! " jawab saya mantab.
Tidak
sampai lima menit, tandas sudah rambut hitam kecoklatan yang selama ini saya
rawat seperti anak sendiri. Sejak detik itu, saya merasa tidak punya kepala.
Ringan. Saya merasa ditelanjangi. Kurang ajar.
Pasca
keluar dari tempat terkutuk itu puluhan tawa dan bullyan saya terima.
Ada yang bilang bulet-lah,
muka bakpao-lah, sampai ada
yang memfitnah saya mirip dengan Mongol. Sial. But, it's oke, ini
negara demokrasi, setiap orang bebas berpendapat.
Malam
hari menjelang tidur, saya merasa ada yang janggal. Rutinitas mengikat rambut sebelum tidur tidak lagi saya
lakukan. Ikat rambut yang biasanya bergelayut di pergelangan tangan hilang
entah kemana.
Akan
tetapi, saya tidak menyesal sedikitpun. Saya justru mendapatkan banyak
kenikmatan yang selama ini tidak disadari,
shampo jadi lebih irit dan tidak butuh waktu lama mengeringkan rambut
sehabis mandi. Life feels so easy.
Duta
Shampo Lain
Dua
minggu belakangan ini leher dan kepala saya terasa gatal. Bintik-bintik merah
muncul karena saking sering digaruk. Setelah konsultasi ke hair stylist pribadi, penyebab gatal biadab itu ternyata
karena saya ganti shampo. Memang, saya tidak bisa berkhianat, saya tidak bisa
jadi duta shampo lain.
Keesokan
harinya saya kecewa, hair stylist saya keliru. Gatal di kepala tak
kunjung berhenti meski kembali
ke shampo semula. Alhasil, gatal semakin menjadi-jadi. Setelah diperiksa,
penyebanya ternyata bukan pada merek shampo, tapi karena kutu di kepala
berkembang biak dengan cepat dan sudah mulai berebut lahan tempat tinggal.
Hair
stylist waktu itu langsung meminta saya untuk potong
rambut, tapi tidak langsung saya iyakan. Saya berdebat lama dengan diri saya.
Kalau dipotong bagaimana nasib para kutu yang sudah lama hidup mencari nafkah
di dalamnya? Apa hak saya menghilangkan lahan pencaharian mereka? Mulanya saya sadar,
kepala ini bukanlah monopoli saya semata. Saya harus merundingkannya dengan
baik bersama para penghuni (kutu). Saya juga sadar kepala ini bukanlah milik
Bintang Ground. Jadi, Saya tidak bisa berbuat seenaknya.
Terpaksa
Pangkas Habis
Tapi
memang dasar kutu sialan, mereka tidak mau diajak kompromi. Mereka ribut
memperbutkan lahan. Gatal semakin menggila. Kulit kepala jadi luka karena
sering digaruk. Saya tidak tahan. Akhirnya saya sampai pada sebuah keputusan:
pangkas habis.
Setelah
gundul, ada sekitar belasan ekor kutu yang saya dapati. Saya yakin jumlah
aslinya tidak segitu, mungkin yang lain ikut hanyut bersama rambut yang
berguguran.
Saya
termangu sejenak di depan cermin melihat diri saya yang baru. Saya jadi
teringat waktu semester pertama kuliah, memiliki rambut gondromg adalah obsesi
terbesar saya. Ketika SMA saya selalu gagal karena terkendala aturan.
Kini,
setelah 3,5 tahun lamanya gondrong saya jadi mengerti, tidak ada yang bisa
mengalahkan sabarnya orang gondrong. Karena selain harus rajin dan telaten
merawat rambut, mereka juga harus sabar jika dikucilkan secara sosial karena
dicap kriminal.
Benar
kata Mamah Dedeh, setiap sesuatu yang menimpa kita harus tetap disyukuri,
sekecil apapun itu. Saya bersyukur telah berani mengambil keputusan ini,
ternyata banyak pihak yang merasa bahagia. Termasuk keluarga di rumah dan dosen
di kampus, mereka menangis haru. Mereka bangga kepada saya.
Meski
belum membuat mereka bangga dengan toga di kepala, minimal dengan rambut
plontos ini bisa membuat orang tua dan dosen sedikit tersenyum. Itu saja sudah
cukup.
Oya, hampir lupa. Sebelum tulisan ini berakhir, saya ingin mengucapkan
terima kasih kepada rambut. Kamu luar biasa, bro. Tidak ada rambut yang seperti
kamu. Sampai jumpa di lain waktu bersama kutu yang lebih banyak tentunya. Daaaah!
*Tulisan bulan lalu yang diposting untuk menambah koleksi tulisan.
No comments:
Post a Comment