Monday 28 November 2016

Pers Mahasiswa di Ujung Tanduk

            Tidak mudah menjelaskan kondisi pers mahasiswa (persma) dewasa ini, selain karena perbedaan dinamika, tiap pers mahasiswa juga berbeda dalam memaknai kepersmaan. Perbedaan pandangan inilah kemudian yang melatarbelakangi beragam dinamika yang muncul. Ada pers mahasiswa yang menjadi bulan-bulanan petinggi kampus karena berita yang disajikan,  ada juga persma yang berkawan akrab dengan pejabat kampus karena pemberitaanya mendongkrak popularitas kampus. Namun, apapun bentuknya saat ini, pers mahasiswa dulunya lahir dari satu rahim yang sama, yakni rahim perlawanan terhadap ketidakaadilan dan penindasan.

Berbarengan dengan berdirinya organisasi pemuda Budi Utomo 1908, lahir sebuah pers mahasiswa bernama Hindia Poetra. Organisasi pers yang digawangi oleh para pemuda pribumi ini berdiri karena ketimpangan kebijakan yang dilakukan Volksraad (parlemen yang dibentuk pemerintahan Hindia Belanda). Kritik yang sering dilayangkan Hindia Poetra kala itu adalah hukum yang berjalan tajam kebawah tapi tumpul keatas. Sejurus kemudian, karena merasa membutuhkan sumbu perlawanan lebih banyak lahirlah pers mahasiswa Jong Java (1914), Oesaha Pemoeda (1932) dan Soeara Indonesia Moeda (1938) yang kemudian berperan dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia. 

Pers mahasiswa, jika menggunakan definisi yang longgar, saat ini telah berusia satu abad lebih. Di umurnya yang panjang ini persma telah memberikan corak tersendiri dalam perkembangan pers di Indonesia. Pers mahasiswa hadir menyajikan alternatif berita ketika media-media umum dibungkam di  masa rezim Soeharto. Selama 32 tahun Orde Baru berkuasa, selama itu pula pers ‘dipasung’.

David T. Hill dalam bukunya yang berjudul The Press in New Order mencatat setidaknya ada lebih dari 10 media yang ditarik izin produksinya oleh Soeharto karena dianggap memperkeruh peristiwa 1965. Hill juga mengatakan sejak berhasil menduduki kursi presiden, Soeharto berupaya melumpuhkan media yang berseberangan dengan ideologinya. Ketika pers umum banyak dibungkam, pada saat itulah pers mahasiswa ‘naik daun’. 

  Masa Emas Pers Mahasiswa

Di masa-masa sulit kebebasan pers, tidak hanya media mainstream saja yang dikekang, pers mahasiswa juga tidak luput dari upaya pembungkaman. Momen itu terjadi ketika peristiwa Malari 1974, di samping itu kebijakan NKK/BKK juga semakin mempersempit arah gerak pers mahasiswa karena “dikerangkeng” dalam kampus, kondisi ini juga yang membatasi mahasiswa untuk turun ke jalan. Namun, kondisi ini tidak membuat pers mahasiswa berkurang jumlah, justru jumlah pers mahasiswa semakin meningkat. 

Berkat menjamurnya pers mahasiswa yang lahir dan semakin skeptis dalam menyikapi kebijakan pemerintah, pada dekade 90an pers mahasiswa mampu menyajikan liputan-liputan kritis, mendalam, dan tajam yang kerapkali membuat panas telinga penguasa. Pers mahasiswa menyajikan liputan yang belum tentu berani dilakukan oleh pers umum kala itu karena resikonya adalah dibredel. Jadi mereka lebih memilih sikap sebagai corong pemerintah. 

Kondisi seperti ini kemudian yang dimanfaatkan oleh pers mahasiswa Balairung UGM, mereka memilih bergerak di bawah tanah, mengelabui aparat bersenjata untuk mendongkel pemerintahan Orde Baru. Tema berita yang diangkat pun tidak jauh dari kritik terhadap Soeharto, upaya ini terus bertahan antara tahun 1997 sampai 1998. 

Tidak hanya UGM, beberapa pers mahasiswa lain pun hingga menjadi target operasi militer karena dinilai pemberitaan yang disajikan merugikan pemerintah. Tahun 1995 pers mahasiswa Pijar mengulik tentang bisnis yang dilakukan TNI Angkatan Darat sehingga membuat tubuh TNI waktu itu goyah. 

Majalah Black Post juga tak kalah kritis, berita berjudul ‘Subuh Berdarah di ISTN’ sengaja dipilih sebagai wujud protes terhadap kesewenang-wenangan militer. Era 90an isu-isu korupsi di tubuh pemerintah memang menjadi isu yang sering diangkat pers mahasiswa. Seperti yang dilakukan Suara Massa, berita yang mereka sajikan selalu bertemakan korupsi di tubuh pemerintah.

Simalakana Reformasi

Setelah reformasi berjalan dan undang-undang kebebasan pers lahir, media yang dulunya sungkan kepada pemerintah berubah menjadi liar, kebebasan ini pula yang memantik media-media baru bermunculan. Kebebasan berekspresi ini juga ikut mendorong lahirnya ratusan partai politik karena kran demokrasi terbuka lebar. Kebebasan yang diberikan reformasi ini disambut dengan gegap gempita dan suka cita. 

Ketika beralih dari era pers otoritarian ke reformasi, pers mahasiswa seperti kehilangan medan tempur. Jika di masa Orba musuh bisa dengan mudah dikenali, tapi tidak di zaman reformasi seperti ini, persma seperti hilang arah karena ketiadaan musuh bersama. Pers mahasiswa lalu kembali kedalam kampus meng-NKK/BKK-an diri sendiri. 

Pers mahasiswa yang dulu vokal mengkritik pemerintah kini tak lagi terdengar gaungnya, seolah reformasi telah merebut lapak mereka. Reformasi yang menjamin lahirnya banyak madia umum memaksa pers mahasiswa kembali ke kampus karena tidak kuat bersaing dengan pers umum yang kuat secara modal dan kemampuan. 

Tantangan Kedepan

Kini reformasi sudah berusia 17 tahun, artinya kebebasan pers sudah memasuki usia remaja. Usia yang seharusnya sudah bisa menentukan mana baik dan buruk. Tidak hanya pers, kebebasan yang dilahirkan reformasi ini juga bisa dirasakan di berbagai sektor, salah satunya pendidikan. Kehidupan kampus yang dulu mencekam karena mahasiswa diteror dan diancam Petrus (penembak misterius) jika berkumpul, kini sudah tidak ada lagi. Tapi apakah dengan tumbangnya rezim Soeharto membuat Orba ikut lenyap? Belum tentu.

Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) mencatat, terdapat sebanyak 47 kasus yang menimpa pers mahasiswa dalam kurun waktu 2013-2016, kekerasan terbanyak dilakukan oleh pihak kampus tempat pers mahasiswa bernaung. Selain itu ada juga kekerasan yang dilakukan negara dan pihak lainnya. Kekerasan yang menimpa pers mahasiswa  seringkali disebabkan karena tidak terima dengan pemberitaan. Terlebih pihak yang tidak terima tidak megedepankan Hak Jawab atau Hak Koreksi sebagaimana prosedur yang ada. 

Apa yang menimpa pers mahasiswa Didaktika Universitas Negeri Jakarta (UNJ) sungguh memprihatinkan. Tahun 2013 lalu reporter Didaktika dilaporkan ke Polda Metro Jaya karena berita yang ditulisnya dianggap mencemarkan nama baik. Di samping itu, Didaktika juga menerima ancaman bahwa sekretariat organisasinya akan dibakar. 

Tidak hanya itu, penarikan produk majalah dari edaran yang menimpa LPM Lentera Universitas Kristen Duta Wacana (UKSW) Salatiga oleh polisi juga ikut memperkeruh wajah kebebasan pers mahasiswa. Majalah Lentera yang mengangkat isu peristiwa 1965 dituduh membangkitkan kembali isu Komunisme. Pihak UKSW, tempat dimana Lentera bernaung, justru bersikap pro dengan polisi. Alih-alih membela mahasiswanya, pihak kampus justru menuduh Lentera melakukan kesalahan dan disuruh meminta maaf. Kasus ini juga berlanjut ke Meja Hijau.

Masih basah dalam ingatan apa yang menimpa pers mahasiswa Poros Universitas Ahmad Dahlan (UAD), buletin edisi Magang yang memberitakan pendirian Fakultas Kedokteran juga tak luput dari pembungkaman. Berkat berita itu Poros kemudian dibekukan oleh pihak rektorat dengan alasan tidak suka dengan isu yang diangkat. 

Tentu masih banyak kasus lain terjadi yang tidak bisa disebutkan disini, minimal tiga kasus di atas sudah cukup sebagai bukti bahwa pers mahasiswa saat ini “tidak sedang baik-baik saja”. Massifnya pembungkaman pers oleh petinggi kampus menandakan bahwa orde baru belum sepenuhnya mati, dia hidup dalam hati para birokrat yang haus kekuasan dan anti terhadap kritik. 

Keberadaan pers mahasiswa dalam kampus perlu terus dijaga, idealisme perlawanan terhadap ketidakadilan harus terus dipupuk. Niat yang mendasari lahirnya Hindia Poetra harus terus digaungkan.
Dimana ada kekuasaan disitulah terdapat ketidakadilan, dan disanalah pers mahasiswa dibutuhkan.  

Bintang W. Putra
(Pimpinan Umum pers mahasiswa Poros UAD)


*Tulisan ini pernah dimuat di majalah Natas edisi Januari-Juni. Dimuat kembali di blog ini untuk tujuan menambah koleksi tulisan.

No comments:

Post a Comment