Berbarengan dengan berdirinya organisasi pemuda Budi Utomo 1908,
lahir sebuah pers mahasiswa bernama Hindia Poetra. Organisasi pers yang
digawangi oleh para pemuda pribumi ini berdiri karena ketimpangan kebijakan
yang dilakukan Volksraad (parlemen yang dibentuk pemerintahan Hindia
Belanda). Kritik yang sering dilayangkan Hindia Poetra kala itu adalah
hukum yang berjalan tajam kebawah tapi tumpul keatas. Sejurus kemudian, karena
merasa membutuhkan sumbu perlawanan lebih banyak lahirlah pers mahasiswa Jong
Java (1914), Oesaha Pemoeda (1932) dan Soeara Indonesia Moeda
(1938) yang kemudian berperan dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia.
Pers mahasiswa, jika menggunakan definisi yang longgar, saat ini
telah berusia satu abad lebih. Di umurnya yang panjang ini persma telah
memberikan corak tersendiri dalam perkembangan pers di Indonesia. Pers
mahasiswa hadir menyajikan alternatif berita ketika media-media umum dibungkam
di masa rezim Soeharto. Selama 32 tahun
Orde Baru berkuasa, selama itu pula pers ‘dipasung’.
David T. Hill dalam bukunya yang berjudul The Press in New Order
mencatat setidaknya ada lebih dari 10 media yang ditarik izin produksinya oleh
Soeharto karena dianggap memperkeruh peristiwa 1965. Hill juga mengatakan sejak
berhasil menduduki kursi presiden, Soeharto berupaya melumpuhkan media yang
berseberangan dengan ideologinya. Ketika pers umum banyak dibungkam, pada saat
itulah pers mahasiswa ‘naik daun’.
Masa Emas Pers Mahasiswa
Di masa-masa sulit kebebasan pers, tidak hanya media mainstream saja
yang dikekang, pers mahasiswa juga tidak luput dari upaya pembungkaman. Momen
itu terjadi ketika peristiwa Malari 1974, di samping itu kebijakan NKK/BKK juga
semakin mempersempit arah gerak pers mahasiswa karena “dikerangkeng” dalam
kampus, kondisi ini juga yang membatasi mahasiswa untuk turun ke jalan. Namun,
kondisi ini tidak membuat pers mahasiswa berkurang jumlah, justru jumlah pers
mahasiswa semakin meningkat.
Berkat menjamurnya pers mahasiswa yang lahir dan semakin skeptis
dalam menyikapi kebijakan pemerintah, pada dekade 90an pers mahasiswa mampu
menyajikan liputan-liputan kritis, mendalam, dan tajam yang kerapkali membuat
panas telinga penguasa. Pers mahasiswa menyajikan liputan yang belum tentu
berani dilakukan oleh pers umum kala itu karena resikonya adalah dibredel. Jadi
mereka lebih memilih sikap sebagai corong pemerintah.
Kondisi seperti ini kemudian yang dimanfaatkan oleh pers mahasiswa Balairung
UGM, mereka memilih bergerak di bawah tanah, mengelabui aparat bersenjata untuk
mendongkel pemerintahan Orde Baru. Tema berita yang diangkat pun tidak jauh
dari kritik terhadap Soeharto, upaya ini terus bertahan antara tahun 1997
sampai 1998.
Tidak hanya UGM, beberapa pers mahasiswa lain pun hingga menjadi
target operasi militer karena dinilai pemberitaan yang disajikan merugikan
pemerintah. Tahun 1995 pers mahasiswa Pijar mengulik tentang bisnis yang
dilakukan TNI Angkatan Darat sehingga membuat tubuh TNI waktu itu goyah.
Majalah Black Post juga tak kalah kritis, berita berjudul ‘Subuh
Berdarah di ISTN’ sengaja dipilih sebagai wujud protes terhadap
kesewenang-wenangan militer. Era 90an isu-isu korupsi di tubuh pemerintah
memang menjadi isu yang sering diangkat pers mahasiswa. Seperti yang dilakukan
Suara Massa, berita yang mereka sajikan selalu bertemakan korupsi di tubuh
pemerintah.
Simalakana Reformasi
Setelah reformasi berjalan dan undang-undang kebebasan pers lahir,
media yang dulunya sungkan kepada pemerintah berubah menjadi liar, kebebasan
ini pula yang memantik media-media baru bermunculan. Kebebasan berekspresi ini juga
ikut mendorong lahirnya ratusan partai politik karena kran demokrasi terbuka
lebar. Kebebasan yang diberikan reformasi ini disambut dengan gegap gempita dan
suka cita.
Ketika beralih dari era pers otoritarian ke reformasi, pers
mahasiswa seperti kehilangan medan tempur. Jika di masa Orba musuh bisa dengan
mudah dikenali, tapi tidak di zaman reformasi seperti ini, persma seperti
hilang arah karena ketiadaan musuh bersama. Pers mahasiswa lalu kembali kedalam
kampus meng-NKK/BKK-an diri sendiri.
Pers mahasiswa yang dulu vokal mengkritik pemerintah kini tak lagi
terdengar gaungnya, seolah reformasi telah merebut lapak mereka. Reformasi yang
menjamin lahirnya banyak madia umum memaksa pers mahasiswa kembali ke kampus
karena tidak kuat bersaing dengan pers umum yang kuat secara modal dan
kemampuan.
Tantangan Kedepan
Kini reformasi sudah berusia 17 tahun, artinya kebebasan pers sudah
memasuki usia remaja. Usia yang seharusnya sudah bisa menentukan mana baik dan
buruk. Tidak hanya pers, kebebasan yang dilahirkan reformasi ini juga bisa dirasakan
di berbagai sektor, salah satunya pendidikan. Kehidupan kampus yang dulu
mencekam karena mahasiswa diteror dan diancam Petrus (penembak misterius) jika berkumpul,
kini sudah tidak ada lagi. Tapi apakah dengan tumbangnya rezim Soeharto membuat
Orba ikut lenyap? Belum tentu.
Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) mencatat, terdapat
sebanyak 47 kasus yang menimpa pers mahasiswa dalam kurun waktu 2013-2016,
kekerasan terbanyak dilakukan oleh pihak kampus tempat pers mahasiswa bernaung.
Selain itu ada juga kekerasan yang dilakukan negara dan pihak lainnya. Kekerasan
yang menimpa pers mahasiswa seringkali
disebabkan karena tidak terima dengan pemberitaan. Terlebih pihak yang tidak
terima tidak megedepankan Hak Jawab atau Hak Koreksi sebagaimana prosedur yang
ada.
Apa yang menimpa pers mahasiswa Didaktika Universitas Negeri
Jakarta (UNJ) sungguh memprihatinkan. Tahun 2013 lalu reporter Didaktika dilaporkan
ke Polda Metro Jaya karena berita yang ditulisnya dianggap mencemarkan nama
baik. Di samping itu, Didaktika juga menerima ancaman bahwa sekretariat
organisasinya akan dibakar.
Tidak hanya itu, penarikan produk majalah dari edaran yang menimpa
LPM Lentera Universitas Kristen Duta Wacana (UKSW) Salatiga oleh polisi juga
ikut memperkeruh wajah kebebasan pers mahasiswa. Majalah Lentera yang
mengangkat isu peristiwa 1965 dituduh membangkitkan kembali isu Komunisme. Pihak
UKSW, tempat dimana Lentera bernaung, justru bersikap pro dengan polisi.
Alih-alih membela mahasiswanya, pihak kampus justru menuduh Lentera melakukan
kesalahan dan disuruh meminta maaf. Kasus ini juga berlanjut ke Meja Hijau.
Masih basah dalam ingatan apa yang menimpa pers mahasiswa Poros Universitas
Ahmad Dahlan (UAD), buletin edisi Magang yang memberitakan pendirian Fakultas
Kedokteran juga tak luput dari pembungkaman. Berkat berita itu Poros kemudian
dibekukan oleh pihak rektorat dengan alasan tidak suka dengan isu yang
diangkat.
Tentu masih banyak kasus lain terjadi yang tidak bisa disebutkan
disini, minimal tiga kasus di atas sudah cukup sebagai bukti bahwa pers
mahasiswa saat ini “tidak sedang baik-baik saja”. Massifnya pembungkaman pers
oleh petinggi kampus menandakan bahwa orde baru belum sepenuhnya mati, dia
hidup dalam hati para birokrat yang haus kekuasan dan anti terhadap kritik.
Keberadaan pers mahasiswa dalam kampus perlu terus dijaga,
idealisme perlawanan terhadap ketidakadilan harus terus dipupuk. Niat yang
mendasari lahirnya Hindia Poetra harus terus digaungkan.
Dimana ada kekuasaan disitulah terdapat ketidakadilan, dan
disanalah pers mahasiswa dibutuhkan.
Bintang W. Putra
(Pimpinan Umum pers mahasiswa Poros UAD)
*Tulisan ini pernah dimuat di majalah Natas edisi Januari-Juni. Dimuat kembali di blog ini untuk tujuan menambah koleksi tulisan.
No comments:
Post a Comment