Kemarin saya terperangah. Gawai yang sudah empat tahun saya miliki
tiba-tiba mati tanpa alasan yang jelas. Padahal terakhir saya cek batrai masih
cukup untuk membuka Youtube selama dua jam. Saya coba hidupkan, no respon. Saya
coba sambungkan dengan pengisi batrai, tidak ada tanggapan. Saya coba hubungkan
dengan banyak casan, tidak bergeming juga. Oke, kalau sudah begini saya vonis gawai
itu rusak.
Rusaknya gawai bermerak Alcatel (dibaca: Alkecel) itu jelas petaka bagi
saya. Sebab satu-satunya alat yang saya andalkan untuk berkomunikasi jarak jauh
hanyalah gawai itu. Padahal, di gawai itu ada banyak data-data pribadi yang
belum sempat saya pindah ke laptop. Seiring dengan matinya gawai tersebut secara
otomatis aktifitas browsing saya juga terhenti. Sedih.
Meski mati secara mendadak, saya meyakini bahwa gawai tersebut adalah
tipe gawai yang tidak mau merepotkan pemiliknya. Sebelum nyawanya dicabut, ia sama
sekali tidak menunjukkan tanda-tanda ajal, seperti beberapa fitur rusak atau sesuatu
yang membuat saya mengeluarkan uang untuk memperbaikinya. Tidak ada. Semua lancar
seperti biasa. Hal seperti ini, meskipun tidak merepotkan saya, membuat saya
sedih. Padahal, kemarin gawai itu masih saya genggam, namun sekarang sudah tidak
bisa lagi. Semua terasa cepat sekali.
Jika menilik ke belakang, gawai itu saya miliki sejak masih duduk di
semester satu. Jika ditotal, gawai itu sudah hidup bersama saya selama delapan
semester. Tentu banyak hal yang sudah saya lakukan bersamanya. Hampir sebagian
besar aktifitas sosial saya dibantu oleh gawai berukuran 8 inchi tersebut.
Mulai dari urusan kuliah, organisasi, kerja hingga urusan asmara. Tidak
terhitung sudah berapa gadis yang terkena gombalan gawai tersebut, meski
sebagian besar di antaranya menolak. Tapi setidaknya dia telah berjasa mewarnai
kehidupan asmara saya.
Selain untuk menulis kalimat-kalimat rayuan, gawai tersebut juga menjadi
saksi dari lahirnya beragam tulisan-tulisan yang sudah saya tulis. Maklum, saya
adalah tipe orang yang sedikit malas jika menulis di laptop, selain karena
rempong di bawa kemana-mana, laptop menurut saya juga bukan perangkat yang
praktis. Jika bukan karena skripsi, saya tidak akan menulis menggunakan laptop.
Rusaknya gawai itu tentu merupakan titik terendah dalam hidup saya. Saya
jadi teringat bahwa sesuatu yang besar dalam hidup saya justru bermula dari
gawai tersebut. Gawai itu bahkan pernah mengancam seorang rektor. Cerita
bermula ketika pimpinan kampus saya tidak mau diajak audiensi (ini terjadi
ketika oraganisasi yang saya ikuti dibredel oleh kampus dan rektorat tak
kunjung mau diajak bertemu untuk menyelesaikan masalah ini). Waktu itu, melalui
gawai tersebut saya mengancam akan mendatangi ruang rektorat dengan membawa
banyak massa agar mau beradiensi. Sontak, rektorat kemudian merespon dan
bersedia untuk audiensi. Padahal sebelumnya mereka sangat sulit untuk ditemui. Alhasil,
dua hari kemudian, ketika hari audiensi itu berlangsung, pembekuan organisasi
saya dicairkan. Pihak rektorat mengizinkan organisasi kami berjalan seperti
biasa. Jika dipikir secara cocoklogi, bisa dibilang gawai saya punya andil
dalam pemulihan organisasi pers saya itu.
Menurut saya, sangat jarang sebuah gawai bisa melakukan hal sekeren itu.
Dan, gawai Alcatel milik saya adalah salah satu yang pernah melakukannya.
Namun, sekeren apapun hal yang sudah dilakukan bersama gawai
tersebut, jelas itu kini hanya tinggal kenangan. Saya sudah tidak bisa lagi menorehkan
masa-masa indah bersamanya. Semua tinggal kenangan.
Ada seorang teman yang menyarankan agar saya membawa gawai tersebut ke
bengkel hape untuk diperbaiki. Namun, saya memilih untuk merelakan saja
kepergiannya. Saya meyakini bahwa gawai itu ingin rehat dari kepadatan
ruang maya yang selama ini dijalaninya. Saya maklum, sebagai sebuah gawai,
hidup di tengah tuntutan kuota yang semakin besar jelas bukanlah ide yang
bagus. Dan, pergi meninggalkan alam maya (Baca: rusak) adalah pilihan yang
tepat.
Apapun alasan kepergianya, saya menerima keputusan gawai saya itu untuk
rusak. Saya tidak akan memaksanya untuk hidup kembali. Dari lubuk hati yang
paling dalam, saya mengucapkan syukur dan jutaan terima kasih karena telah
menemani saya selama empat tahun terakhir. Sebagai sebuah penghormatan, saya
tidak akan menggantikannya dengan gawai bermerek serupa. Saya biarkan dia
menjadi gawai Alcatel pertama dan terakhir yang pernah saya miliki. Persis seperti pernghormatan AS Roma kepada Totti.
Mereka menghormati sang kapten dengan cara tidak memberikan nomor punggung 10
dikenakan oleh pemain yang lain.
RIP Alcatel…
No comments:
Post a Comment