Libur lebaran kali ini benar-benar menjadi liburan terpadat bagi saya.
Bagaimana tidak, dalam satu minggu ini saya sudah mengunjungi pantai sebanyak
lima kali. Padahal liburan, apapun bentuk dan destinasinya, tidak begitu saya
sukai, bahkan cenderung saya hindari. Namun, karena liburan kali ini saya
nikmati di kampung halaman, saya tidak punya banyak alasan untuk menolak setiap
ajakan.
Ajakan berlibur datang hampir setiap hari dengan sumber ajakan yang
berbeda-beda. Mulai dari teman angkatan SD, remaja kampung, keponakan, hingga
keluarga besar. Saya selalu tidak punya pilihan selain menerima semua ajakan
tersebut. Jika pun sempat menolak, akan mudah dipatahkan dengan bujukan,
“Ayolah, ini sekali setahun, lho. Tahun depan kita belum tentu ketemu lagi.”
Jika sudah begini, saya langsung mengiyakan, siapa tahu ini perjalanan terakhir
saya bersama mereka. Buset, saya tidak pernah merasakan liburan rasa maut
seperti ini.
Meski cara menerima ajakan hanya dengan ikut serta bersama mereka, tapi hal
ini tidak selalu berjalan mulus. Pernah suatu hari saya galau memutuskan hendak
ke pantai dengan siapa, sebab pada hari itu ada dua ajakan. Satu dari keponakan
yang masih kecil-kecil dan satunya dari teman seangkatan SD yang rencananya
akan dijadikan sebagai ajang reuni. Acara reuni ini sebenarnya sudah jauh-jauh
hari direncanakan, bahkan sebelum saya mudik. Semua persiapan sudah dilakukan,
mulai dari mendata teman-teman yang ikut, mencari tempat menginap, iuran
per-orang, dan sebagainya.
Namun, persiapan yang sudah matang itu diinterupsi satu jam sebelum kami
berangkat. Ketika saya sedang siap-siap untuk pergi ke lokasi yang sudah
jauh-jauh hari ditentukan itu, delapan kurcaci berserta orang tuanya
masing-masing datang ke rumah, dengan tujuan mengajak saya ikut serta
bersamanya. Para keponakan yang sudah tidak sabar ingin segera mendarat di
pantai itu dengan sekuat tenaga membujuk saya. Bahkan tidak sedikit dari mereka
yang memasang muka sedih. Orang tuanya, yang merupakan kakak-kakak saya, juga
meminta saya ikut karena butuh tenaga tambahan untuk menemani dan mengawasi
para kurcaci tersebut. Sebagai paman yang baik, perasaan saya tentu luluh dan
tidak tega membiarkan mereka hanyut begitu saja ke tengah laut.
Keputusan ini tentu secara otomatis telah menggugurkan rencana reuni
bersama teman sekelas di SD. Kabar ini pun segera saya kabari kepada mereka
yang sedang menunggu. Ketika menyampaikan kabar yang tidak sedap ini, sebagian
dari mereka memasang muka manyun dan sebagiannya lagi secara teranga-terangan
memaksa saya tetap ikut. Namun, apa daya paksaan tersebut tidak bisa merubah
keputusan. Sebab, taruhannya adalah membiarkan para keponakan menangis dan
berada dalam ancaman ombak pantai.
Objek terbesar dari liburan saya adalah pantai. Hampir semua pantai di
bagian selatan Lombok sudah saya kunjungi dalam rentang waktu satu minggu ini.
Perjalanan ke pantai ini sebenarnya tidak susah-susah amat. Hanya memakan waktu
10 sampai 20 menit. Hal ini tentu berbeda dengan Yogyakarta, tempat saya
kuliah. Di kota ini, jika ingin menikmati suasana pantai harus rela menempuh
perjalanan selama tiga jam. Pantai yang dikunungi adalah pantai-pantai yang ada
di Gunungkidul. Namun, jika ingin menikmati pantai dalam waktu singkat bisa
mengunjungi Parangtritis atau Parangkusumo. Hanya perlu waktu satu jam,
ganasnya ombak pantai selatan sudah bisa disaksikan.
Kini, saya sudah sepuluh hari berada di rumah, menyisakan empat hari lagi
sebelum balik ke Jogja. Itu artinya, kemungkinan besar saya masih bisa pergi ke
pantai beberapa hari kedepan, tergantung ada yang mengajak atau tidak. Namun,
sebenarnya saya lebih berharap bisa menghabiskan banyak waktu di rumah.
Menemani ibu di dapur dan membicarakan banyak hal. Sesuatu yang sudah jarang
kami lakukan semenjak saya merantau.
Semoga banyaknya jumlah liburan ini tidak merubah saya menjadi pribadi yang
gemar piknik dan melupakan kemaslahatan umat (lebay). Amin.
No comments:
Post a Comment