Saya terlahir bukan dari keluarga yang gemar membaca. Meski ayah adalah seorang kepala desa dan kakek seorang Tuan Guru yang mengelola pondok pesantren, budaya membaca buku di keluarga saya tergolong minim. Memang, bacaan wajib seluruh keluarga waktu itu adalah kitab suci Al-Quran. Maka tidak heran, sebelum menginjak sekolah dasar saya sudah akrab dengan ayatullah.
Setiap petang ibu akan selalu memandikan saya agar segera pergi
mengaji. Jika sore sudah larut dan saya belum pulang, ibu akan segera mencari
ke lapangan, meminta saya berhenti bermain bola dan segera pulang. Tentu dengan
sapu lidi di tangannya sebagai ancaman.
Sampai lulus SD, tidak ada buku lain yang pernah saya baca
selain buku pelajaran terbitan Erlangga. Nama penerbit ini terus membekas di
kepala saya karena waktu SD ada teman bernama Arlan. Saya tidak paham apa hubungan
antara keduanya, tapi yang jelas ketika mengingat nama penerbit itu, secara
bersamaan sosok Arlan juga muncul di benak saya.
Kebiasaan bermain bola menular sampai saya SMP. Bukannya
mengutamakan belajar, hari-hari saya justru penuh dengan bermain. Semakin lama
kebiasaan bermain ini semakin buruk. Saya yang semulanya bermain bola hanya di
waktu sore sepulang sekolah, bertambah di waktu-waktu senggang. Bahkan ketika
bel istirahat berdering, saya beserta teman yang lain berhamburan menuju
lapangan sekolah. Apalagi kalau bukan bermain bola.
Tidak hanya bermain, rutinitas ini kemudian berkembang
menjadi ajang judi. Menantang kelas lain untuk berjudi adalah sebuah kegagahan.
Mempermalukan mereka di depan
cewek-cewek kelasnya adalah trofi terindah. Sampai kemudian aktifitas ini
terendus oleh guru, saya beserta teman kelas yang lain lantas mendapat hukuman.
Penggaris kayu sepanjang satu meter berwarna coklat mendarat di betis kami.
Saya masih ingat betul, wali kelas saya waktu itu menyediakan
tujuh penggaris di muka kelas, satu penggaris untuk satu orang. Kami diminta
maju, lalu terdengar Plaak, Plaak, Plaak.
Bunyi itu tidak akan berhenti jika belum ada penggaris yang patah.
Singkat cerita, bocah yang kesehariannya adalah mengejar bola
ini lulus dari sekolah menengah pertama. Saya girang betul ketika membuka surat
pengumuman dan tertera kata L-U-L-U-S di dalamnya. Wawnya lagi, saya memperoleh
nilai ujian nasional tertinggi di sekolah. Berkat capaian ini, saya memantapkan
diri untuk melanjutkan ke sekolah favorit di kota.
Sebagai anak kampung, hidup di kota adalah surga. Listrik
jarang mati, jalanan ramai, akses kemanapun dekat, bisa main Play Station
sepuasnya. Itulah niat mula saya ingin meneruskan sekolah ke kota. Namun
cita-cita itu segera runtuh, ibu menyuruh saya melanjutkan sekolah ke sebuah
pondok pesantren di Situbondo, Jawa Timur.
Saya beserta lima teman yang lain, yang lagi-lagi adalah
teman di SMP, dengan berat hati berangkat ke Kota Santri. Dengan ditemani ibu
masing-masing, kami mendaftar sebagai santri baru di Pondok Pesantren Salafiyah
Syafi’iyah, Sukorejo, Asembagus, Situbondo. Pondok pesantren yang didirikan
oleh KH. Syamsul Arifin dan KH. As’ad Syamsul Arifin (nama terakhir itu
beberapa waktu lalu dikukuhkan sebagai pahlawan nasional), adalah salah satu
pondok pesantren terbesar di Indonesia.
Di pondok ini, saya mengenyam dua jenis pendidikan: sekolah
agama dan sekolah umum. Sekolah agama atau Diniyah
berlangsung di pagi hari, sedangkan sekolah umum, (saya memilih SMK jurusan
Teknik Komputer Jaringan) saya tempuh siang harinya.
Tidak seperti santri kebanyakan yang betah berjam-jam
menyuntuki kitab gundul untuk dimaknai, saya justru memilih tidur karena tidak
paham dengan penjelasan ustadz.
Meski berada di lingkungan pesantren, kebiasaan nakal saya
tidak hilang. Saya kerap tidak mengindahkan aturan. Saya beserta teman satu kamar
sering merokok bareng, ke warnet bareng, main bola bareng bahkan menyimpan HP. Semua
kegiatan itu adalah tindakan yang diharamkan. Tapi karena sudah nakal sejak
dalam pikiran, larangan-larangan itu hanya sebatas pajangan.
Walaupun sering melanggar aturan, satu yang paling saya dan
teman-teman takutkan adalah tidak mendapat barokah. Meski begitu, kami tetap
saja melangar aturan.
Tidak terasa, sudah tiga tahun saya belajar di pondok
pesantren itu. Banyak pengalaman yang saya dapatkan. Sebagai bocah ingusan yang
baru lulus SMP, merantau ke pulau Jawa yang jauh dari orang tua adalah sebuah
kesedihan. Di minggu pertama di pesantren, saya mengalami shock culture. Banyak
hal yang tidak saya pahami. Tapi tidak lama kemudian, saya sudah bisa beradaptasi
dengan lingkungan baru.
Ada banyak pengalaman sedih, senang, lucu, yang saya alami. Pengalaman-pengalaman
itu akan saya muat di blog ini, tapi tidak sekarang ya. Anggap saja tulisan ini
sebagai pemanasan.
No comments:
Post a Comment