“What’s your name?”
“Bintang.”
“Bintang? Like a beer.”
“Hahaha,” kami tertawa.
Lissa, wisatawan asal Jerman
tertawa mendengar nama saya. Pikirannya langsung tertuju pada pada jenis
minuman beralkohol ketika saya memperkenalkan diri.
Saya menemui Lissa di
Malioboro. Sore itu, saya sedang mencari wisatawan asing untuk merampungkan tugas
conversation. Dosen saya mensyaratkan tugas ini sebagai tugas akhir. Sudah dua
kali saya ke Malioboro untuk mencari bule, namun baru di kali kedua saya
berhasil mendapatkan bule yang bersedia diajak ngobrol sembari direkam.
Sebelumnya, para bule menolak karena alasan privasi.
Kembali ke soal nama. Tidak
hanya Lissa, banyak teman sejawat yang juga terheran dengan nama saya. Bahkan
ada yang meledek Bintang cocoknya nama perempuan. Guru-guru saya juga lebih
akrab memanggil saya Bintang Kejora ketimbang nama lengkap saya.
Pernah juga teman satu kampus
menyarankan saya menikah dengan perempuan bernama Bulan. Sarannya, anak kami nantinya
akan diberi nama Matahari, Meteor atau Jupiter. Ya, dia menginginkan saya
memiliki keluarga penghuni galaksi bima sakti.
Saya pernah menanyakan asal-usul
nama Bintang. Ibu waktu itu menjelaskan ketika lahir, bapak sedang
kagum-kagumnya sama aktivis di zaman Orde Baru, Sri Bintang Pamungkas. Oleh
karenanya, tanpa berpikir panjang, sehabis mengumandangkan adzan di telinga saya,
bapak langsung menyematkan nama Bintang pada diri saya. Harapannya mungkin
kelak saya bisa sekeren dia. Tapi, baru-baru ini Sri Bintang Pamungkas
ditangkap polisi karena tuduhan makar. Duh.
Oleh teman dekat, nama saya
kerap kali dipermak sedemikian rupa untuk menambah kesan mengejek. Mereka
menyematkan huruf A di tengah nama. Jadilah mereka memanggil saya Binatang.
Sial!
Setiap orang pasti memiliki
kesan tersendiri dengan namanya. Ada yang suka ada yang tidak. Ada yang sedih
ada yang senang. Nano-nano rasanya. Bahkan saking senengnya, mereka sampai
membuat perkumpulan nama serupa. Agus Mulyadi, seorang blogger, pernah
mengupayakan mengumpulkan pemilik nama Agus seantero Indonesia. Tak
tanggung-tanggung, yang menjadi anggota kelompoknya adalah Agus Yudhono, Agus
Rinto Harahap, hingga Auguste Comte (Haha yang terakhir ini bohongan).
Tidak berhenti di situ, sebuah
warung makan di Jogja sampai menggratiskan pemilik nama Agus untuk makan di
tempat itu. Syaratnya mudah, cukup tunjukkan KTP sebagai bukti. Ajaib.
Di Indonesia memang banyak
nama-nama unik dan mirip. Tak jarang nama ini menyebar lintas pulau, lintas
budaya dan agama. Kamu pasti punya teman yang memiliki nama-nama mainstream
seperti Udin, Budi, Joko, Nurul, Siti, Ahmad, dll.
Namun sayang, saya tidak bisa
meniru jejak para pemilik nama Agus. Bagi saya, mereka cukup revolusioner dan kurang
kerjaan. Tentu saya memiliki cita-cita serupa dengan mereka, namun tampaknya
agak sulit. Amat jarang saya menemui pemilik nama Bintang selain diri saya.
Kalau sekedar tahu sih banyak, tapi kenal langsung tidak ada.
Jika kamu pemilik nama Bintang
atau punya teman bernama Bintang, yuk kita bikin perkumpulan dan menyinari
dunia! Haha.
No comments:
Post a Comment