Kejayaan
media cetak sedang meredup. Kira-kira itulah yang dapat disimpulkan dari tulisan
Bre Redana pada penghujung 2015 lalu. Tulisan yang berjudul Inikah Senjakala Kami? Itu sempat
mengejutkan para pemerhati media. Tulisan yang dimuat di Harian Kompas edisi 28 Desember 2015 itu dianggap telah menebar
aura pesismisme. Pasalnya, Bre menulis media cetak sudah tidak mampu bersaing
di tengah banjirnya informasi yang ditawarkan media online.
Apa yang
ditulis Bre Redana merupakan refleksi atas merosotnya jumlah pembaca terhadap
media cetak. Beberapa bulan sebelum tulisan itu dimuat, terdapat beberapa media
cetak yang sudah gulung tikar, seperti The
Jakarta Globe (9/2015), Harian Bola
(10/2015), Soccer (10/2015), Sinar Harapan (1/2016) dan Koran
Tempo yang menggabungkan edisi Minggu dengan Sabtu karena sedikitnya
pembaca di eidisi Minggu.
Apa yang
menimpa media cetak tahun lalu cukup kuat untuk mendukung gagasan Bre. Bre menulis, kejayaan
media cetak seperti koran, majalah, buku yang mendasari terbentuknya peradaban
manusia tinggalah kenangan. Semua yang berbau printed text kini sudah
memiliki versi onlinenya, termasuk
jurnalisme.
Setelah tulisannya
ramai
menjadi bahan pembicaraan, Bre justru diam. Ia sengaja tidak melempar
wacana tandingan untuk menanggapi
perdebatan soal mana lebih baik antara media cetak atau media online. Akan
tetapi, secara tersirat dalam
tulisan tersebut Bre sebenarnya telah melakukan penilaian bahwa wartawan media
cetak yang menurutnya konvensional lebih baik karena dalam wawancara masih
menggunakan catatan, pulpen dan melakukan wawancara langsung. Berbeda dengan
wartawan media online, yang menurutnya, lebih sibuk dengan gawai untuk multitasking.
Gerah dengan berbagai tanggapan
miring terkait sikapnya dalam tulisan, Bre akhirnya angkat bicara. Tapi, kali
ini bukan
melalui tulisan tanggapan, melainkan dalam sebuah wawancara. Dalam wawancara
dengan Yellowcabin.com Bre menuturkan bahwa apa yang ramai diperdebatkan
publik bukanlah inti tulisannya. Ia mengaku sama sekali tidak menyinggung bahwa media cetak lebaih
baik dari media online,
melainkan adanya
pergeseran medium jurnalistik, dari yang sebelumnya cetak ke online, hanya
itu. Sama
sekali tidak membahas konten.
Namun, apapun
bentuknya, keresahan yang Bre tuangkan dalam tulisan itu patut mendapat
sorotan. Di era yang serba cepat seperti sekarang ini, menerima informasi dengan
cepat adalah sebuah keharusan, dan media online adalah wadah paling
memungkinkan. Kebutuhan akan informasi serba cepat inilah yang memancing
banyaknya media online bermunculan. Lantas, bagaimana dengan nasib pers
mahasiswa?
Badai Media Online
Hari
Jumat, (4/11) ribuan orang memadati beberapa titik di Jakarta. Mereka datang dari
berbagai daerah, Medan, Lampung, Semarang, Banjarnegara, dll. Tidak hanya di
ibu kota, di daerah-daerah juga terjadi aksi serupa. Mereka yang mengatasnamakan diri sebagai Aksi Bela Islam menuntut
agar Ahok segera ditangkap dan dipenjara karena dianggap telah menistakan agama
Islam.
Aksi itu bermula
dari video yang diunggah oleh Buni Yani. Ia mengupload potongan video
Gubernur DKI Jakarta Basuki Cahaya Purnama alias Ahok ketika berpidato di Kepulauan Seribu. Di dalam
potongan video tersebut terdapat Ahok sedang berbicara tentang surat Al-Maidah ayat
51 yang menurutnya kerap digunakan oleh aktor politik kepada kliennya agar memilih
pemimpin yang seagama. Sontak,
video itu menjadi viral dan memantik aksi itu. Kabar terkini, setelah aksi 411
tersebut Ahok akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Pendemo senang.
Santai dulu,
bagian ini tidak bermaksud membahas aksi tersebut, melainkan sebagai contoh
bagaimana media mainstream, terutama media daring, berhasil memainkan isu
sehingga kasus ini menjadi trending topik dan memicu aksi yang katanya terbesar
dalam sejarah Indonesia itu.
Jenis media yang paling getol mewartakan aksi tersebut
adalah media online, di samping media televisi. Berita digoreng sedemikian
rupa. Ada yang memainkan isu agama, ras, kebijakan politik hingga ucapan Ahok
selama ini yang dituduh jauh dari budaya ketimuran. Tapi apapun itu, diakui
atau tidak, aksi tersebut besar dan bermula dari pemberitaan di media online.
Sudah banyak isu-isu besar yang berangkat dari media online dan memanen simpati
dari publik. Lantas, bagaimana dengan media yang dikelola persma?
Dewasa
ini, apa yang bisa diharapkan dari pers mahasiswa selain sebagai wadah
pembelajaran jurnalistik? Tidak pernah saya temui suatu isu besar yang sedang
beredar bermula dari berita yang ditulis persma. Persma semakin hari semakin
menemukan senjakalanya. Tidak pernah kita mendengar suatu isu yang dikawal
persma menjadi pembahasan publik. Semua isu dikontrol dan dibahas oleh media
mainstream.
Media
online pers mahasiswa masih mencari bentuk. Ada yang megikuti pola pemberitaan
media mainstream karena mengedepankan kecepatan dan ada juga yang masih mencari
format yang tepat karena jadwal pemostingan yang tidak menentu. Berita di
media-media online yang pers mahasiswa kelola, diolah dan dikonsumsi oleh sesama
persma. Ya, semacam onani pemuas nafsu semu.
Akan
tetapi, mengharapkan pers mahasiswa mampu mengawal isu-isu alternatif kemudian
diviralkan dan dapat mempengaruhi kebijakan politik, bukan lah sesuatu yang
mustahil. PPMI mencatat, saat ini ada sekitar tiga ratusan pers mahasiswa yang
masih aktif di Indonesia, jika semua persma ini kompak menentukan hingga
mengawal isu bersama, bukan tidak mungkin untuk bisa mengangkat isu-isu
alternatif menjadi viral.
Pers
Mahasiswa di Ambang Pembredelan
Bagaimanapun
kondisinya, kehadiran pers mahasiswa sebenarnya patut disyukuri. Selain sebagai
wadah melahirkan jurnalis berkualitas, persma juga bisa menjadi jawaban atas
minimnya kepercayaan publik terhadap media mainstream karena menomorduakan
independensi. Dewasa ini bisa dihitung jari jumlah organisasi mahasiswa yang
mengedepankan independensi. Akan tetapi, independensi ini bukan berarti tanpa
cobaan. Badai selalu menghampiri persma yang mempertahankan idealismenya.
Setelah
Soeharto lengser, pintu kemerdekaan pers terbuka lebar. Meski begitu, hilangnya
kekuasaan Orde Baru bukan berarti hilang pulang mental dan prilakunya. Watak
Orba masih dengan mudah dijumpai di perguruan tinggi.
Perhimpunan
Pers Mahasiswa Indonesia mencatat dari tahun 2013 sampai 2016 terdapat sebanyak
47 persma yang dianggap bermasalah oleh kampus. Kasus terbaru yakni LPM Pendapa Universitas Sarjana Wiyata yang
disuruh mengosongkan sekretariatnya karena akan diberikan Surat Keterangan
Pembekuan.
Prilaku
petinggi kampus semakin hari semakin tidak mencerminkan prilaku intelektual.
Lihat bagaimana Media Universitas
Mataram diusir dari sekretariatnya dan rektorat mengganti kepengurusan dengan
nama-nama baru yang satu visi dengan petinggi universitas. Hal ini disebabkan
birokrat Unram geram dikritik. Tengok juga bagaimana Pimpinan Umum Kavling10, pers mahasiswa yang bernaung
di Universitas Brawijaya, sampai diajak berkelahi oleh Wakil Rektor III karena menolak
mengganti arah pemberitaan yang menguntungkan petinggi kampus. Mirisnya lagi,
Pimpinan Umum yang diajak berkelahi tersebut adalah seorang mahasiswi.
Lambat
laun posisi persma semakin terancam.
Keberadaan persma yang kritis di kampus tidak lagi diinginkan
birokratnya. Para petinggi itu menginginkan persma hanya sebagai wadah belajar
jurnalistik, mengikuti lomba menulis dan meraih piala. Tidak lebih. Tidak boleh
kritik sana kritik sini. Mereka berharap persma bisa menjadi alat penyebar
pencitraan, dan berusaha membungkan persma yang dirasa tidak satu visi. Kita
tentu paham bagaimana nasib persma yang kritis, semua berakhir dengan nasib bredel.
Di
samping pemberitaan yang tidak lagi kritis, persma juga tengah mengalami
masa-masa sulit. Persma belakangan ini dianggap sebagai organisasi pers yang
cenderung merusak citra kampus. Kampus memandang persma sebagai krikil
penghambat kemajuan akreditasi melalui pemberitaanya,
Melihat hamparan
peristiwa diatas, apa yang bisa diharapkan dari persma? Distribusi pemberitaan
yang tidak terlalu luas dan juga pembredelan yang semakin massif. Inikah
senjakala pers mahasiswa?
No comments:
Post a Comment