Tuesday 15 March 2016

Surat dan Pantat


Biasanya di hari minggu saya lebih memilih tidur sampai siang karena malamnya begadang sampai subuh. Setelah bangun, mandi, keramas dan ngeringin rambu pake hairdryer (baca: Kipas angin) saya bergegas ke beskem untuk sekedar bolak-balik lembaran koran atau Yuotuban. Tapi hari minggu kemarin berbeda. Saya dan Candy, teman seperburjoan, mengagendakan diri ketemu jam 9 pagi untuk menyebar surat undangan dan majalah ke Gunungkidul.

Sesuai kesepakatan kami berkumpul di beskem. Saya terlambat satu jam. Hari itu kami akan menyebar 14 undangan ke 14 desa wisata. Setelah mengambil surat undangan dan melihat daftar tujuan, kami berangkat. Sebelumnya dia menyarankan untuk mengecek lokasi tujuan melalui google maps supaya tidak semruweng dalam perjalanan. Maklum Gunungkidul adalah tempat asing bagi kami. Tapi saya tidak sepakat dengan ide tersebut.

Setelah berdiskusi beberapa menit. Kami memutuskan tuk tidak menggunakan jasa peta online tersebut. Bukankah terkadang kita harus percaya dengan insting daripada teknologi? Setelah menyusun urutan desa yang dikunjungi, kami berangkat.



Ngeeeeng.,

Tidak sampai lima belas tahun kami tiba di desa wisata Ngelanggeran, tujuan pertama kami. Cukup dengan mengandalkan petunjuk jalan kami mendarat dengan sempurna. Dengan satu kali bertanya, kami tiba di alamat tujuan. Surat diterima dan kami berpamitan. Tidak ada kendala berarti. Surat pertama berhasil, tersisa tiga belas surat lagi. Jam menunjukkan angka 11 siang.

Alamat surat kedua, ketiga, keempat mudah kami termui karena lokasinya berdekatan. Lain halnya dengan alamat selanjutnya. Setelah surat keempat, kami memutuskan untuk santap siang, maklum sejak berangkat perut kami belum terisi. Untuk makan siang kami sepakat (tentu setelah melewati perdebatan yang panjang) mengisi perut di warung makan termainstream di Indonesia, Yup, warung padang.

Makan siang selesai. Jam memeluk angka 12.50. Kami melanjutkan perjalanan. Ada sepuluh surat yang belum menemui rimbanya.  Malapetaka menghampiri. Jarak tujuan antara satu surat dengan yang lain masya allahuakbar. Semakin ke selatan jarak antar desa semakin jauh. Terlebih jika melihat latar belakang kami, saya asli Lombok dan Candy Tangerang, sangat mungkin untuk tersasar.  Jalan yang kami  lewati pun kedua sisinya dihiasi bukit  dan pepohonan. 

Alamat surat yang tersisa adalah Pantai Baron, Krakal, Sundak dan Siung. Saya bertanya pada si Semok ini, “Apa? Pantai? Mana mungkin ada pantai digunung yang lebat oleh pohon ini? Tanyaku. Dia tidak menjawab (mungkin karena tidak yakin juga), tapi dia memintaku untuk yakin bahwa di daerah ini ada pantai.

Saat itu saya masih ragu jika ada pantai. Maklum di Lombok, kampung halaman saya, jika sudah mendekati pantai kita akan disambut oleh pepohonan kelapa yang berjejer rapi, suara ombak dari kejauhan dan bau amis laut. Tapi disini tidak ada sama sekali.

“Pokoknya kamu harus yakin Bintang,” pintanya sekali lagi (tiba-tiba dia berubah menjadi mario teguh).
Setelah lima belas menit tancap gas dengan keraguan penuh akhirnya kami tiba di Pantai Krakal. Dengan pedenya si bocah ini toyor kepala saya sembari berujar, “Tuh kan Bintang bener ada pantai?” saya tidak bisa menghilangkan kebingungan saya, bagaimana mungkin ada pantai di atas gunung.

Setelah ke Krakal, Baron dan Sundak. Kini kami harus mengantar surat yang tersisa, kali ini ke Pantai Siung. Karena tidak tahu letak Pantai Siung, kami betanya pada si penerima surat di Pantai Sundak.

“Mr. Where is the way to get in Siung beach?”

“Haah?” tanya bapaknya.

“Siung Beach.” 

Dia geleng-geleng kepala. Tampaknya tidak mengerti dengan pertanyaan saya. 

“Pantai Siung diaman pak?” tanya saya mengulangi.

“Oh Siung, lurus lagi mas,” 

“Berapa kilometer kira-kira pak?”

“sekitar 20 kilometer mas.”

“What the fuck,” batinku setelah mendengar jawaban si bapak.

Kami memutuskan tetap melanjutkan perjalanan. Jam menunjukkan 16.40. Hari sudah semakin sore. Dua puluh menit berselang, kami tiba di Siung. Setelah ngobrol basi-basi sebentar dengan penerima surat, kami pamit pulang. Kini hari sudah semakin gelap. Kami was-was, bukan karena gelap. Tapi takut tersesat dan tak tahu arah pulang.

Dalam perjalanan pulang banyak kami temui penjual belalang goreng di kiri-kanan jalan. Gadis yang hobi makan ini meronta-ronta di atas motor ingin mencobanya. Permintaanya saya penuhi. Satu bungkus belalang goreng saya tukar dengan lima ribu rupiah. Setelah bertransaksi kami lanjut jalan. Di tengah perjalanan kami menemukan objek wisata yang ciamik. Ngingrong Park namanya, lagi-lagi perempuan yang penuh keyakinan ini minta untuk berhenti sejenak sekedar cekrak-cekrek. 

Puas berselfie ria, kami cus pulang. 19.30 kami tiba di jogja. Kekhawatiran saya waktu itu hanya satu, semoga tidak ambeyen. Maklum kami nongkrong di atas motor dari jam 10 pagi sampai 19.30. saya tidak tahu kabar bokongnya si Semok, semoga aman-aman saja. 

Keesokan harinya kami bertemu dan saling menanyakan kabar bokong masing-masing. Syukur diantara kami bokongnya sehat sentausa tanpa lecet sedikitpun.

Sekian ya certianya, capek ngetik.



No comments:

Post a Comment