Thursday 10 March 2016

Terima Kasih

Di suatu sore yang gerimis, saat dimana pinggiran jalan mulai ramai oleh pengendara yang berteduh atau untuk sekedar berhenti mengenakan jas hujan, saya terdiam. Pikiran saya mulai mencerna sesuatu yang tidak lazim. Pikiran ini sulit saya jabarkan, mungkin sama sulitnya ketika disuruh menjelaskan nikmatnya makan setelah tiga hari tidak menelan apapun. Pikiran seperti ini memang kerap datang, biasanya saat isi otak dan hati tidak akur.

Sore itu saya sedang berteduh bersama sejumlah orang. Dalam diam saya mencoba memperhatikan sekitar. Di kanan saya berdiri dua ibu yang satunya menggendong anak. Dan sebelah kiri duduk seorang bapak di atas jok motor menghisap rokok yang brewoknya masya allahuakbar. Dan di posisi pojok paling kanan, tampak dua muda-mudi tak berperasaan bergandeng tangan.

Sepelemparan koran dari emperan toko tempat saya berteduh. Tampak pria dan wanita paruh baya berjalan beriringan. Wanita di depan dan si pria menuntunya dari belakang. Sesekali tampak mulut si pria berkata pada wanita. Benar saja, kali ini si pria meminta agar orang yang dituntunya memelankan langkah karena jalan yang dilaluinya banyak lubang.

Pria berkaos biru gelap itu masih sabar menutun si wanita. Meski hujan semakin deras, mereka tak sedikitpun bergeser ke bahu jalan atau mencari tempat untuk berteduh. Seperti yang saya lakukan saat ini.

"Tampaknya mereka suami-istri,"  gumamku. (Gumaman yang tidak penting).

Hujan semakin lebat, namun langkah mereka tetap lambat. Seolah hujan adalah rezeki yang seharusnya diterima, bukan malah dihindari. Tidak seperti yang saya lakukan. Payah. Tindakan saya tak ubahnya kambing yang berlarian saat kulitnya terkena air.

Dari arah berlawanan seekor, eh, seorang bocah berjalan menarik gerobak yang dipenuhi kardus bekas. Tak ada sedikitpun raut kecewa atau sedih dari wajahnya. Seolah everything is gonna be oke. Padahal kardus yang dia bawa jadi lembek terkena hujan.

"Apa yang dipirkan bocah itu?" tanyaku. (Pertanyaan yang tidak penting juga).

Jarak antara pasutri dan si bocah tadi semakin dekat. Bahkan kini mereka berhadap-hadapan. Namun tak ada satu kata sapaan pun yang terlontar dari mulut mereka. Tidak saling perduli. Tidak saling tegur. Seolah mereka tidak saling kenal. (memang mereka tidak saling kenal. Haha)

Sepeluh menit berselang, hujan reda. Orang-orang yang dari tadi seperteduhan dengan saya mulai bergegas melanjutkan perjalanan. Kini hujan telah benar-benar hilang, namun saya masih duduk di emperan toko. Entah kenapa pantat saya terasa berat diangkat dan jari ini enggan berhenti mengetuk layar gawai.

Jeng... Jeng.. Jeng.

Tiada badai tiada petir, Tiba-tiba saya ingin berterima kasih. Entah kenapa dan kepada siapa, tapi yang jelas saya ingin berterima kasih. Ada banyak hal yang, menurut saya, tidak berarti dalam hidup namun sebanarnya amat penting. Mungkin karena hal tersebut luput saya perhatikan.

Berikut hatur terimakasih saya. Semoga pihak yang saya sebut membaca ini. Tapi kalo tidak juga gapapa sih.

Terimakasih pertama saya sematkan kepada Aa burjo yang telah menyediakan air putih gratis. Jika tidak entah saya harus minum pake apa karena isi saku hanya cukup untuk menukar seporsi nasi telor. Terimakasih kepada bunyi kentungan Mamang nasi goreng yang tanpa absen lewat jam 12 malam, yang selalu mengingatkan saya untuk membaca sebelum tidur. Terimakasih kepada kucing yang selalu nyebrang jalan sembarangan tanpa tengok kanan-kiri, tanpanya saya akan sering pongah dalam berkendara.

Terimakasih kepada kecoa dan tikus, tanpa kalian kamar saya jadi sepi. Terimakasih kepada Muadzin yang selalu mengingatkan saya untuk sholat tapi jarang saya indahkan. Terimakasih kepada lampu hijau, tanpanya perjalanan saya menuju kampus akan selalu terhalang.

Terimakasih kepada warung kopi Lembayung, tempat saya duduk berjam-jam menikmati wa-fi gratis meski hanya memesan satu cangkir kopi, bahkan tidak pesan sama sekali. Terimakasih kepada Mas penjual gorengan yang selalu membonuskan gugur-guguran gorengan, tanpanya diskusi tidak akan pernah asoy.

Terimakasih kepada petugas perpustakaan yang selalu melebihkan tenggat waktu saya mengembalikan buku, tanpa kalian sulit saya mendapat bacaan gratis. Terimakasih kepada petugas parkir Pamella yang membolehkan saya tidak bayar karena dia tidak punya kembalian. Terimakasih kepada PT. Indofood yang telah menyediakan Indomie, makanan enak nan murah, tanpanya perut saya berisik tiap malam.

Terimakasih selanjutnya kepada ibu Laundry yang mengikhlaskan saya nunggak dua bulan, tanpa jasa blio pasti saat ini saya sedang bugil. Dan terimakasih yang terakhir kepada hujan, tanpanya saya tidak akan pernah ada kesempatan menulis ini. Dan satu lagi, terimakasih saya kepada muda-mudi yang bergandengan tangan tadi, tanpa kalian saya tidak akan pernah merasakan... Ah sudahlah!

Terimakasih ke siapa lagi ya?

Oya, terimakasih tak terhingga ku ucapkan padamu, iya kamu, karenamu saya bisa merasakan sakit hati.

Te(rima)kasih.

2 comments:

  1. Kesimpulannya, jadi selama ini Rima lah yang membuatmu sakit hati. Oh.. Oh.. Pertanyaannya siapa itu Rima? hahaha

    ReplyDelete
  2. adek belum cukup dewasa untuk mengetahui siapa dia. tunggu waktu yang tepat ya.

    ReplyDelete