Saturday 26 December 2015

Gadget Bikin Ribet


Sebenarnya saya lebih suka menyebut telepon pintar itu dengan sebutan Gawai, bukan gadget seperti orang kebanyakan. Selain karena penyebutannya rumit (gejet atau gatget), saya juga cenderung cinta bahasa Indonesia, sih. Ya meskipun jurusan saya Sastra Inggris.  Selingkuh sesekali tak apakan? Hidup kok lurus terus. Haha.


Tema yang mengemuka dalam #Tanda kali ini adalah Gadget. Agak klise sih sebenarnya. Selain karena sudah banyak yang membahas, saya juga khawatir tema ini malah justru meruncingkan kuku-kuku kapitalisme yang mencengkram orang-orang berkantong proletar seperti saya.

Memang sudah banyak sekali individu maupun kelompok yang membahas tema ini. Ketika memasukkan kata kunci 'Gadget' di mesin pencari Google, sekitar 22.690 artikel yang keluar. Pembahasanya pun terkesan normatif. Semuanya berlomba-lomba menyajikan pendapat tentang baik buruknya gawai bagi individu.

Ada banyak tulisan mengenai tema ini, maka jangan salahkan saya jika tulisan kali ini tidak menarik untuk dimaki. Saya sudah berusaha untuk keluar dari pandangan mainstream tersebut. Meski pada akhirnya nanti masih ada kesamaan. Tapi itu bukan murni kesalahan saya, melainkan orang-orang kurang kerjaan yang lebih dulu membahasnya. Bila perlu salahkan juga pembuat gadget, eh salah sebut, pembuat gawai, karena ulah mereka akhirnya saya menulis ini.

Sebagai pemilik gadget, tuh kan salah sebut lagi, pemilik gawai, bisa dibilang saya cukup intens mengoperasikannya. Bahkan bisa dikatakan saya bergantung padanya. Seolah ada yang kosong dalam hidup ketika lupa membawanya. Bukan apa-apa, karena dari benda inilah saya bergantung hidup. Segala urusan sosial saya betengger pada seonggok "papan nyala" ini. Mulai dari urusan kuliah, organisasi, uang (saya dapat uang juga dari sini), bribikan, hingga asupan bacaan pun berangkat dari sini.

Maka tidaklah berlebihan jika dikatakan gadget, isssh salah sebut lagi, gawai adalah surga yang dijanjikan. Betapa tidak, semua yang dijanjikan konsep surga termaktub dalam gawai ini. Coba sebut, uang, bidadari, taman semua ada.

Sebagai korban buku filsafat yang disuruh tuk terus menanyakan realitas, akhirnya saya bertanya pada diri sendiri. Kenapa sih tiap hari harus bawa gawai? Kenapa tiap bulan menyisihkan uang buat paket internet? Kenapa setiap saat periksa ada notice masuk atau tidak? Kenapa sebelum dan sesudah bangun tidur pegang ini burung, eh, barang?

Pertanyaan itu selalu menggema di benak saya. Jawaban yang selalu mengemuka adalah 'Butuh'. Setelah berkontemplasi terlalu dalam saya menyadari. Setahun sebelumnya, sebelum memiliki gawai, hidup biasa-biasa saja. Tidak seruwet ini. Dan pada akhirnya saya mengamini bahwa hidup saya saat ini: Ribet.

Tapi saya tidak buru-buru menuduh gawai adalah penyebabnya. Sebagai pemuda sok bijaksana saya pikirkan terlebih dahulu duduk perkaranya dengan matang. Setelah menimbang, mengukur dan menghitung. Bisa ditarik kesimpulan bahwa sumber segala keruwetan hidup saya adalah..... Ah sudahlah!

Mungkin tidak hanya ribet dan ruwet. Kehadiran gawai yang telah melenyapkan sekat jarak ini juga menghadirkan rasa risih dan sebal. Ketika di warung kopi atau angkringan misalnya, warung kopi yang biasanya mewadahi perjumpaan tuk berbagi, dihalangi oleh aktifitas lawan bicara yang sibuk memelototi gawainya. Kehidupan sosial menjadi terbengkalai. Padahal dalam gawai terdapat banyak aplikasi media sosial yang terinstall.

Dengan sedih sembari menyekat air mata saya katakan, beginilah kondisi sosial saat ini. Interaksi di dunia virtual sangat galak, tetapi di dunia nyata begitu murung.

Terbersit di pikiran untuk membuat Hari Anti Gawai (HAG). Tujuannya tidak muluk-muluk. Untuk menyadarkan tiap pengguna gawai yang seringkali terjerembab dalam jurang nir-sosial dan menanggalkan gawainya dari genggaman, kemudian fokus dengan kehidupan sosial sekitar.

Berhubung saya sadar kalau peringatan-peringatan hari seperti ini tidak menghasilkan apa-apa jika hanya berlangsung sehari. Maka saya mencanangkan tuk memberlakukannya setiap hari. Tujuannya seperti yang telah saya sebutkan tadi. Disamping itu HAG juga dapat mengurangi biaya paket internet yang saban bulan digelontorkan. Haha.

Semoga Menteri Sosial, Ibu Khofifa Indar Parawansa alumni PMII yang gemesin itu, mendengar niat baik ini untuk kemudian diijabah.

Amien.

2 comments:

  1. kebetulan apa dikebetulankan saya pun baru juga merasa. selepas mudik yg memang cuma sesaat, tak sadar waktu yg seharusnya digunakan untuk bersendau dan bercerita dengam orang tua pun malah luntur bareng bercengkrama sama gadged, eh gaway jare mas bintang :v
    memang perlu di benahi, marai kangen bapak simbok meneh, marai baper -_-

    ReplyDelete
  2. sok mau selingkuh. pasangan aja gak punya, mana yang mau lu selingkuhin Tang :p . aih aih aih aih*.
    *) teks ketawanya org itali kalo nulis di gawai.

    ReplyDelete