Monday 28 December 2015

Genteng Punya Cerita

Tidak seperti biasa, di Desember yang becek ini langit terlihat bersih, lengkap dengan gugusan bintang dan cahaya  bulan. Padahal pada malam-malam sebelumnya langit tampak murung dan pekat.

Dari atas genteng kontrakan, setelah dua jam menyuntuki gawai, buka sana-buka sini, baca sana-baca sini. Akhirnya saya memutuskan tuk sejenak mengistirahatkan mata. Tetiba mata saya tertegun setelah mendongak ke langit. Apa yang saya lihat merupakan sesuatu yang langka, jangan terjadi pada musim seperti ini. Langit terlihat indah dengan kemerlip bintang dan pantulan sinar bulan yang menyinari tali jemuran. Persis seperti pemandangan yang saya gambar saat kelas 5 SD silam.


Pada musim kemarau, atas genteng adalah spot favorite saya untuk melakukan banyak hal. Mulai dari membaca, ngobrol, melamun hingga tertidur, bahkan pernah sampai Subuh. Tidak jarang aktifitas nongkrong tersebut ditemani segelas kopi. Maklum, kamar yang apek dan kotor membuat rambut saya tidak nyaman berlama-lama di dalamnya.

Musim yang akhir-akhir ini produktif menghasilkan hujan membuat aktifitas nongkrong di genteng saya terabaikan. Sesekali saya rindu embun yang perlahan membasuh bumi, lengkingan kereta, dan kokok ayam pada pukul dua dini hari. Syukur, hari ini hujan tak turun. Tampaknya ia mencoba menjawab kerinduanku.

Jika sedang beruntung, atas genteng merupakan surga tersembunyi di balik hiruk pikuk pembangunan kota, di sore hari dengan jelas kita bisa melihat matahari yang perlahan ditelan kegelapan. Pun juga di pagi hari, keeksotisan gunung Merapi terpampang jelas dari genteng ini.

Saya percaya jika setiap orang pasti memiliki tempat yang gemar dikunjungi. Bahkan tak jarang tempat tersebut menjadi sumber inspirasinya dalam berkarya atau memutuskan sesuatu. Seperti halnya Immanuel Kant dengan perpustakaanya. Pemikir abad pertengahan ini sepanjang hidupnya tidak pernah pergi melebihi 40 kilometer dari rumahnya. Bersama tumpukan buku ia habiskan hari, dan terus berulang setiap hari hingga ia meninggal.

Dari ruangan yang penuh dengan jejeran rak buku itulah ia mencetuskan teori yang hingga kini masih digunakan. Di sini saya tidak akan berpanjang lebar membahas teorinya itu. Jika penasaran silahkan cari sendiri. Hehe.

Begitu juga dengan Bung Karno. Semasa diasingkan di Ende, tempat yang sering ia kunjungi untuk merenung adalah Pohon Sukun. Tak pelak, di bawah kesejukan dan keteduhan pohon inilah yang kemudian menginspirasinya melahirkan Pancasila. Lima dasar Negara Indonesia.

Seperti halnya Immanuel Kant dengan perpusatakaan dan Bung Karno dengan Pohon Sukunya, atas genteng juga merupakan wadah merenung dan inspirasi saya. Meskipun hasilnya belum sefenomenal mereka, tapi semoga kelak tempat ini bisa menjadi jalan saya meneruskan langkah mereka.

Oya, keputusan penting yang pernah lahir dari genteng ini adalah target bribikan. Dalam khazanah pembribikan gugusan genteng ini pernah menjadi saksi bisu gadis mana yang berhenti dan lanjut tuk dibribik. Meski pada ujungnya tak satupun tergapai. Haha.

No comments:

Post a Comment