Sunday 20 December 2015

Angkringan dan Masa Depannya



Hasil gambar untuk angkringan
   Semua yang hidup pasti butuh makan, tak terkecuali manusia. Oleh karena itu, bisnis yang paling menggiurkan untuk dikelola adalah kuliner. Alasanya itu tadi, semua orang butuh makan. Mulai dari dedek-dedek gemes penggemar K-POP hingga Setnov yang beberapa waktu lalu mengundurkan diri juga bergantung dengan aktifitas satu ini. Bagaimana tidak, dalam pernikahan anaknya yang nauzubillah masya allah megah itu juga tersaji bejibun makanan. “Turah-turah men” kata Poltak seusai menghadiri acara. Lagi-lagi yang diuntungkan adalah pengusaha catering dalam acara itu,pengusaha kuliner. Bayangkan berapa banyak jenis makanan tersedia, Apetizzer, main course, hingga dessert. Bayangkan berapa anggaran negara biaya yang dihabiskan.

            Dengan bertambahnya populasi manusia maka bertambah pula jumlah dan jenis makanan untuk dikonsumsi. Hal ini berbanding lurus dengan jumlah warung makan yang tersedia. Kita ambil contoh, tidak usah jauh-jauh, di Jalan Kusumanegara misalnya, kini sudah terdapat 18 tempat makan yang pastinya menawarkan cita rasa berbeda. Kondisi ini jauh berbeda jika dibandingkan dengan 2013 lalu, di kali pertama saya hentakkan kaki di kota kenangan ini. Waktu itu Jalan Kusumanegara hanya dipenuhi toko elektronik, toko cet, foto copy dan toko non-konsumsi lainya, yang kesemuanya hanya beroperasi di siang hari. Namun kini berubah, tempat-tempat makan dan nongkrong sudah mulai ramai. Malam hari kini terasa padat, bahkan macet pada malam tertentu. 


   Lha ini kapan bahas angkringannya?

            Oke. Dari dulu hingga sekarang angkringan tidak pernah berubah dari fungsi sosialnya sebagai wadah silaturahmi masyarakat kota. Semua kalangan bisa berbaur tanpa memandang merek baju atau jam tangan yang dikenakan. Semuanya sama, semuanya setara. Jika sedikit menelisik ke era 70-90an angkringan kerap digunakan para aktivis mahasiswa untuk sekedar ngobrol ataupun berdiskusi, maklum dulu warung kopi tidak seramai dan semahal sekarang. Bahkan tak jarang ada mahasiswa yang ditangkap aparat karena mewacanakan akan melakukan demonstrasi.  

            Disaat gencar-gencarnya pembangunan di era Suharto, angkringan telah menjadi idola para mahasiswa dan kaum papa. Angkringan yang menjadi simbol pluralisme dan multikulturalisme ini juga berfungsi sebagai pemersatu. Di masa-masa terakhri kekuasaan Orde Baru, para aktivis mahasiswa dari berbagai gerakan memanfaatkan suasana temaram angkringan dekat kampus sebagai wadah konsolidasi. 

            Kita patut berbangga dengan gerobak penjaja gorengan ini, di saat masyarakat Jogja dikecewakan oleh pembangunan hotel yang massif, disusul mengeringanya sumur-sumur warga di sekitaran hotel, angkringan tak sedikitpun mengalami perubahan. Ia masih setia dengan ciri khasnya, lampu dari minyak tanah. Di tengah pembangunan dan perubahan sosial menuju masyarakat metropolis inilah angkringan sebenarnya diuji. Masiffnya pembangunan ini dapat menentukan masa depan angkringan. Pembanguan hotel mungkin bukan ancaman serius, tapi hilangnya terotoar yang disebabkan pembangunan ini merupakan ancaman serius.  


    Transformasi

            Layaknya ojek dengan aplikasi Go-Jek, Angkringan tampaknya tak tahan dengan zaman yang semakin berkembang. Para pengusaha yang meiliki duit lebih menyusun konsep baru. Mereka menggunakan konsep angkringan namun menyuguhkan hal berbeda. Mulai dari jenis makanan, harga hingga pembelinya. Angkringan seperti ini bisa ditemui di daerah Tugu, Kridosono, dan Jalan Kaliurang.

            Model baru ini bisa menjadi ancaman terhadap fungsi sosial angkringan. Betapa tidak, pengunjung yang biasanya duduk berhimpitan dan bisa ngobrol tanpa rasa canggung. Kini dipelintir menjadi sebuah gaya hidup yang pembelinya serba wangi dan lengkap dengan bunyi ‘cekrek’ sebelum menyantap makanan. 

            Jika jenis angkringan baru ini mulai merebak, bisa jadi masyarakat jogja terjerumus dalam jurang keapatisan. Angkringan yang dahulunya sebagai wadah sosialisasi warga kota, bisa tersingkirkan oleh tingginya gaya hidup. Persis seperti yang terjadi pada ojek. Pangkalan yang dulunya berfungsi sebagai tempat curhat para tukang ojek, kini (hampir) lenyap karena terobosan baru.   

            Angkringan bisa menjadi solusi bagi mahalnya biaya hidup. Angkringan juga bisa menjadi oase terhadap minimnya ruang publik untuk sekedar rehat dari rutinitas. Bagi saya, makan di angkringan adalah cara menertawakan orang ‘berada’ yang selalu melakukan ritual foto sebelum makan.
           

4 comments:

  1. emang ada toko non konsumsi? namanya tempat jualan ya jual komoditas. lha guna komoditas ya utk dikonsumsi

    ReplyDelete
  2. konsep angkringan macam di Tugu akan merebak, yakin? di angkringan kayak di trotoar jalan atau di pinggiran lapangan bola kampung pun para pelanggannya bisa selfie kok. ada banyak motif utk selfie. dan ada banyak landasan gaya hidup untuk berangkringan.

    tulisanmu penuh curiga. btw, ini udah nyebut nama tempat dan waktu mestinya ada data kongkrit.

    tdk ada data yg menyebutkan apakah jumlah pengusaha angkringan kian bertambah atau berkurang. pengusaha angkringan itu sifatnya: mati di sini, hidup di sana atau sebaliknya. jadi tdk bisa menjeneralisir tanpa data kongkrit, bosss... ayo ngopi.

    ReplyDelete
  3. Gak ada klimaks-nya cuk tulisanmu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mungkin nyankut di gigi atau gusi cok. Haha

      Delete