Semua yang
hidup pasti butuh makan, tak terkecuali manusia. Oleh karena itu, bisnis yang
paling menggiurkan untuk dikelola adalah kuliner. Alasanya itu tadi, semua
orang butuh makan. Mulai dari dedek-dedek gemes penggemar K-POP hingga Setnov
yang beberapa waktu lalu mengundurkan diri juga bergantung dengan aktifitas
satu ini. Bagaimana tidak, dalam pernikahan anaknya yang nauzubillah masya
allah megah itu juga tersaji bejibun makanan. “Turah-turah men” kata
Poltak seusai menghadiri acara. Lagi-lagi yang diuntungkan adalah pengusaha
catering dalam acara itu,pengusaha kuliner. Bayangkan berapa banyak jenis
makanan tersedia, Apetizzer, main course, hingga dessert. Bayangkan berapa anggaran
negara biaya yang dihabiskan.
Dengan
bertambahnya populasi manusia maka bertambah pula jumlah dan jenis makanan
untuk dikonsumsi. Hal ini berbanding lurus dengan jumlah warung makan yang
tersedia. Kita ambil contoh, tidak usah jauh-jauh, di Jalan Kusumanegara
misalnya, kini sudah terdapat 18 tempat makan yang pastinya menawarkan cita
rasa berbeda. Kondisi ini jauh berbeda jika dibandingkan dengan 2013 lalu, di
kali pertama saya hentakkan kaki di kota kenangan ini. Waktu itu Jalan
Kusumanegara hanya dipenuhi toko elektronik, toko cet, foto copy dan toko
non-konsumsi lainya, yang kesemuanya hanya beroperasi di siang hari. Namun kini
berubah, tempat-tempat makan dan nongkrong sudah mulai ramai. Malam hari kini terasa
padat, bahkan macet pada malam tertentu.
Lha ini kapan bahas angkringannya?
Lha ini kapan bahas angkringannya?
Oke. Dari
dulu hingga sekarang angkringan tidak pernah berubah dari fungsi sosialnya
sebagai wadah silaturahmi masyarakat kota. Semua kalangan bisa berbaur tanpa
memandang merek baju atau jam tangan yang dikenakan. Semuanya sama, semuanya
setara. Jika sedikit menelisik ke era 70-90an angkringan kerap digunakan para
aktivis mahasiswa untuk sekedar ngobrol ataupun berdiskusi, maklum dulu warung
kopi tidak seramai dan semahal sekarang. Bahkan tak jarang ada mahasiswa yang
ditangkap aparat karena mewacanakan akan melakukan demonstrasi.
Disaat gencar-gencarnya
pembangunan di era Suharto, angkringan telah menjadi idola para mahasiswa dan kaum
papa. Angkringan yang menjadi simbol pluralisme dan multikulturalisme ini juga berfungsi
sebagai pemersatu. Di masa-masa terakhri kekuasaan Orde Baru, para aktivis
mahasiswa dari berbagai gerakan memanfaatkan suasana temaram angkringan dekat
kampus sebagai wadah konsolidasi.
Kita patut
berbangga dengan gerobak penjaja gorengan ini, di saat masyarakat Jogja
dikecewakan oleh pembangunan hotel yang massif, disusul mengeringanya sumur-sumur
warga di sekitaran hotel, angkringan tak sedikitpun mengalami perubahan. Ia masih
setia dengan ciri khasnya, lampu dari minyak tanah. Di tengah pembangunan dan
perubahan sosial menuju masyarakat metropolis inilah angkringan sebenarnya
diuji. Masiffnya pembangunan ini dapat menentukan masa depan angkringan. Pembanguan
hotel mungkin bukan ancaman serius, tapi hilangnya terotoar yang disebabkan
pembangunan ini merupakan ancaman serius.
Transformasi
Transformasi
Layaknya ojek dengan aplikasi Go-Jek,
Angkringan tampaknya tak tahan dengan zaman yang semakin berkembang. Para pengusaha
yang meiliki duit lebih menyusun konsep baru. Mereka menggunakan konsep
angkringan namun menyuguhkan hal berbeda. Mulai dari jenis makanan, harga hingga
pembelinya. Angkringan seperti ini bisa ditemui di daerah Tugu, Kridosono, dan
Jalan Kaliurang.
Model
baru ini bisa menjadi ancaman terhadap fungsi sosial angkringan. Betapa tidak,
pengunjung yang biasanya duduk berhimpitan dan bisa ngobrol tanpa rasa
canggung. Kini dipelintir menjadi sebuah gaya hidup yang pembelinya serba wangi
dan lengkap dengan bunyi ‘cekrek’ sebelum menyantap makanan.
Jika
jenis angkringan baru ini mulai merebak, bisa jadi masyarakat jogja terjerumus
dalam jurang keapatisan. Angkringan yang dahulunya sebagai wadah sosialisasi
warga kota, bisa tersingkirkan oleh tingginya gaya hidup. Persis seperti yang
terjadi pada ojek. Pangkalan yang dulunya berfungsi sebagai tempat curhat para
tukang ojek, kini (hampir) lenyap karena terobosan baru.
Angkringan
bisa menjadi solusi bagi mahalnya biaya hidup. Angkringan juga bisa menjadi
oase terhadap minimnya ruang publik untuk sekedar rehat dari rutinitas. Bagi
saya, makan di angkringan adalah cara menertawakan orang ‘berada’ yang selalu melakukan
ritual foto sebelum makan.
emang ada toko non konsumsi? namanya tempat jualan ya jual komoditas. lha guna komoditas ya utk dikonsumsi
ReplyDeletekonsep angkringan macam di Tugu akan merebak, yakin? di angkringan kayak di trotoar jalan atau di pinggiran lapangan bola kampung pun para pelanggannya bisa selfie kok. ada banyak motif utk selfie. dan ada banyak landasan gaya hidup untuk berangkringan.
ReplyDeletetulisanmu penuh curiga. btw, ini udah nyebut nama tempat dan waktu mestinya ada data kongkrit.
tdk ada data yg menyebutkan apakah jumlah pengusaha angkringan kian bertambah atau berkurang. pengusaha angkringan itu sifatnya: mati di sini, hidup di sana atau sebaliknya. jadi tdk bisa menjeneralisir tanpa data kongkrit, bosss... ayo ngopi.
Gak ada klimaks-nya cuk tulisanmu.
ReplyDeleteMungkin nyankut di gigi atau gusi cok. Haha
Delete