Semakin hari kehidupan mahasiswa
semakin kosong, tidak ada hal lain yang membuat hiudp mereka menjadi berarti. Kuliah-
pulang, kuliah- nongkrong adalah rutinitas sehari hari. Gaya hidup menjadi
sebuah kebanggaan yang selalu ditonjolkan, padahal tidak bermakna apa apa. Penampilan
harus terlihat sempurna dengan segala oranamen yang menempel, sedangkan
penampilan otak adalah hal yang kesekian. Individualisme dan apatisme dalam
bermasyarakat adalah konsekuensi logis dari sikap tersebut. Mengutamakan diri
sendiri merupakan hal wajib untuk
dilakukan dan acuh dengan kondisi orang
sekelilingnya.
Ada persaan sedih yang
menyayat hati ketika membaca literasi mengenai mahasiswa jaman mbien kemudian coba saya bandingkan
dengan sekarang. Di zaman dahuulu mahasiswa bergerak bahu membahu demi mencapai
tujuan bersama, kemerdekaan, kebebasan dan kesejahtraan. Satu hal yang bisa
dipetik adalah gaya hidup dan prilaku yang tidak menonjolkan fisik melainkan otak
yang sebagai kemudi dalam diri sendiri.
Penampilan merupakan sunah, bahkan tidak wajib untuk diperhatikan. Namun saat
ini nampak ada degradasi moral yang terjal menimpa mahasiswa. Tentu banyak faktor
menyebabkan kenapa perubahan itu terjadi, selain faktor sosial budaya karena
manusia hidup terus berkembang karena sifatnya yang dinamis, ada factor lain,
yakni Kapitalisme. Namun akan terasa tidak bermoral jika kita
mengkambinghitamkan kapitalisme menjadi motor penggerak perubahan tersebut.
Terlepas dari penyebab
mandulnya gerakan mahasiswa di atas, coba kita perhatikan kehidupan mahasiswa
dalam kampus dewasa ini. Mereka seperti robot yang hanya bergerak ketika ketika
dosen memberikan tugas dan tidak berbuat apapun diwaktu senggang selain ngumpul
dan berbicara ngalor ngidul tidak karuan. Tentu tidak ada yang salah dengan
aktivitas seperti itu, bukan berarti saya iri atau apa karena tidak bisa meniru
hal tersebut, namun diwaktu mereka terdaftar dan menyandang status sebagai
mahasiswa, beban lain sudah bercokol di pundaknya. Agen perubahan, control social
adalah gelar yang didapat sebelum memperoleh status sarjananya. Tapi, jangan
sampai kita terbuai dengan idiom yang terkesan heroic tersebut, jangan sampai
penggabungan dua kata Maha dan Siswa ini kosong, tidak bermakna.
Perjuangan memang akrab
ditelinga mahasiswa,karena ketika berkaca dari sejarah semua perubahan yang
terjadi adalah perjuangan yang dilakukan mahasiswa. Akan tetapi saat ini kata
Perjuangan tidak bisa diartikan secara tekstual, karena perjuangan sekarang ini
tidak lagi dalam hal meraih kebebasan ataupun kesejahtraan. Perjuangan mahasiswa
telah bergeser dari sesuatu yang heroik menjadi herocyn. Perjuangan yang
dilakukan sekarang tidak lebih
dari sebatas berjuang merebut pujaan hati, melawan kelaparan di akhir bulan,
menaklukan pengawas saat ujian dan berjuang meninggikan IPK setinggi tingginya.
Perjuangan yang terakhir tadi bukanlah hal yang salah, tetapi akan menjadi
keliru ketika yang menjadi tujuan hanya deretan angka pemuas hati, baik hati
orang tua maupun calon mertua.
Mahasiswa tidak
menyadari eksistensi mereka di kampus untuk siapa dan oleh siapa, mereka hanya
mengerti berlajar di kelas dan menunggu hasil di akhir semester, sedangkan realitas
masyarakat masih jauh dari kata sejahtera dan mereka tidak mengetahuinya, atau
mungkin tidak mau tahu. Ketidaktahuan dan ketidakmengertian ini bisa saja
terjadi oleh beberapa hal, yang pertama kurangnya kepekaan dari mahasiswa
sehingga mereka tidak paham apa yang sebenarnya terjadi. Kedua, ketidakperdulian
kampus dalam membina peserta didik menjadi pribadi yang unggul dan berguna bagi
masyarakat. Ketiga tidak adanya kontemplasi yang mendalam sehingga ketimpangan sosial
yang terjadi dianggap sesuatu yang seharusnya terjadi. Tiadanya kontemplasi ini
tidak hanya ada pada mahasiswa, tapi juga pihak kampus. Karena kampus sebagai
garda terdepan pemberi pendidikan harus jeli melihat kondisi sosial masyarakat
sehingga peserta didik bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan.
****
Tentang
Penulis
No HP : 081-914-797-429
No comments:
Post a Comment