Sunday 19 April 2015

Pemilwa dan Mandulnya Gerakan Mahasiswa

Proses demokrasi memang sudah harus ditanamkan sedini mungkin pada generasi muda, hal ini bertujuan untuk membentuk generasi yang jujur, adil dan demokratis. Sejauh ini demokrasi dipercaya sebagai sebuah sistem pemerintahan yang adil, karena menganut asas dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sehingga sistem ini sangat cocok diterapkan dalam pemerintahan Negara dan juga mahasiswa, karena pemerintahan mahasiswa tak ubahnya Indonesia dalam lingkup yang lebih kecil.  Kampus merupakan miniatur negara yang menjadi laboratorium demokrasi dan diharapkan menghasilkan lulusan yang bermanfaat dan berbakti pada negara
.
Harapan di atas nampaknya terlalu tinggi, karena jika melihat realitas mahasiswa sekarang cenderung individualis bahkan apatis terhadap kondisi sosial, baik dalam maupun luar kampus. Tindakan ini bukan tanpa sebab, karena perilaku seseorang merupakan akumulasi dari lingkunganya (Koentjoronongrat,1985:74). Pertanyaannya kemudian adalah lingkungan seperti apa yang menyebabkan munculnya sikap individualis dan apatis tersebut? hal mendasar yang mungkin menjadi jawaban adalah minimnya peran pemerintahan mahasiswa (BEMU & DPMU) dalam mengorganisir anggota dan berkoordinasi dengan jajaran di bawahnya (BEM & DPM Fakultas) untuk mengadakan program yang melatih kepekaan mahasiswa terhadap ligkungan sosial dan peduli terhadap sesama. Kepekaan tersebut harus diasah semaksimal mungkin karena melihat salah satu peran mahasiswa adalah sebagai kontrol sosial.
Melihat realitas kehidupan mahasiswa dalam kampus memang belum berjalan demokratis, bahkan jauh dari peran mahasiswa, yakni sebagai agen perubahan, kontrol sosial dan menjadi pribadi yang tangguh. Berkaca dari pemilihan mahasiswa (Pemilwa) tahun 2014 lalu, yang dimana tidak menghadirkan dua pasang calon sehingga terpilihlah satu pasang calon secara aklamasi (tanpa pemilihan). Hadirnya satu pasang calon dari sekitar 14.000 mahasiswa ini menggambarkan betapa minimnya semangat dalam membangun kultur demokrasi dalam kampus. Tidak hanya dalam pemilihan presiden mahasiswa, pemilihan gubernur dan wakil gubernur tingkat fakultas pun menggambarkan hal yang sama, ambil contoh pemilihan gubernur dan wakil gubernur yang dilakukan Fakultas Hukum, dari 300 (belum termasuk jumlah total mahasiswa di fakultas Hukum) surat suara yang disediakan KPU Fakultas hanya 168 mahasiswa yang menyalurkan hak pilihnya. Contoh lain seperti di Fakultas Sastra, Budaya dan Komunikasi (FSBK), dari 472(belum termasuk jumlah total mahasiswa di FSBK) surat suara yang sediakan hanya 236 mahasiswa yang menyalurkan hak pilihnya.

Mungkin belum banyak mahasiswa yang memahami betapa pentingya partisipasi politik dan dampaknya akan seperti apa. Mahasiswa yang tidak mengikutsertakan diri dalam proses politik kampus merupakan orang yang mementingkan diri sendiri. Tindakan ini akan berdampak terhadap polarisasi kehidupan di dalam kampus, yang mana fungsi kampus sebagai wahana akademis seharusnya menjadi tempat untuk berdiskusi, belajar bersama dan mengembangkan skill tidak terwujud. Pada akhirnya sifat individualis ini berujung pada keapatisan dan ketidakpedulian terhadap sesama mahasiswa, seperti yang terjadi dalam aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa pada akhir bulan Februari 2015 kemarin merupakan bukti konkrit apatisme tersebut. Dari sekian banyak mahasiswa hanya sekitar seratus yang terlibat dalam aksi tersebut. Padahal yang disuarakan dalam aksi merupakan kepentingan bersama mahasiswa.

Pemerintahan mahasiswa sudah saatnya berbenah diri dan menjalankan program-program berbasis advokasi sehingga akan melahirkan mahasiswa yang bertindak atas dasar kekeluargaan dan kebersamaan. Harapanya akan lahir generasi bangsa yang berintegritas. Ini merupakan pekerjaan rumah bagi pemerintahan mahasiswa mendatang agar lebih fokus pada  upaya untuk memahasiswakan mahasiswa bukan pada program kerja yang bersifat periodik dan insidental.

No comments:

Post a Comment