Friday 3 April 2015

Humorisasi Politik



Sudah saatnya politik tidak melulu dipandang sebagai dunia yang ngeri, angker dan penuh intrik. Stigma tersebut harus didekontruksi menjadi sesuatu yang unyu, imut, lucu dan menyegarkan. Selama ini pandangan kita terjebak pada pandangan bahwa politik sebagai panglima untuk meraih kekuasaan, dan jika menyinggung kekuasaan yang terlintas di benak kita cenderung upaya pemaksaan dan usaha untuk saling mempengauhi. Politik selama ini dicurigai sebagai sektor yang kotor, semua orang yang terlibat di dalamnya tidak baik dan destruktif. Tidak salah jika streotip seperti itu muncul, karena memang ulah pemainya yang bermain kotor. Hampir tidak ada hiburan yang menggelitik yang muncul dalam sector ini, rakyat hanya dipertontonkan
taktik dan formasi kotor.

Pelaku politik (Politikus) selama ini terlalu serius dalam menyikapi setiap konflik yang terjadi, baik internal parpol maupun eksternal. Mereka selalu bermain dengan cara dan sistem yang sama, tapi mengharapkan perolehan suara yang berbeda. Tindakan seperti ini adalah tindakan gila, jika mengutip apa yang dikatakan Albert Einstein bahwasanya hanya orang gila yang mengharapkan hasil yang berbeda dengan cara yang sama.
Politikus yang selalu ribut di parlemen ataupun di kantor parpol masing-masing adalah orang yang terlalu serius dalam menyikapi masalah. Mereka tidak berupaya menyikapi suatu masalah dari sudut pandang yang lain, seperti humor dan guyonan sehingga masalah muncul berujung anarkis. Kita (manusia) nampaknya tidak pernah berkontemplasi terlalu dalam penyebab kenapa dunia ini dipenuhi oleh perang, itu karena mereka terlalu serius dalam menyikapi masalah. Coba kalau menyikapinya dengan bercanda, otomatis perangnya pun hanya candaan.
Entah apa yang aneh dengan dunia bernama politik ini, orang yang berkecimpung di dalam sebuah partai politik terkesan dibonsai sedari awal untuk menirukan pendahulunya (senior). Semacam ada kulur yang berkembang dan memaksa tiap kader untuk bersikap demikian. Bahkan orang yang sebelumnya humoris dan lucu, setelah masuk politik hidupnya berubah 180 derajat. Ambil contoh, Eko Patrio, Anang hermansyah, Desi Ratnasari, Rano karno, Dedi Mizwar mereka semua adalah publik figure yang ternama dalam jagad hiburan. Namun hal tersebut terenggut setelah mereka berpindah dunia.
Konflik antar parpol dan internal parpol disebabkan karena mereka (Politisi) berpandangan bahwa eksistensi akan meroket jika mempertontonkan keseriusan dalam bekerja dihadapan konstituen, dengan harapan konstituen tidak kecewa dan memilihnya kembali. Kita sebut konflik yang sedang hangat-hangatnya terjadi, seperti konflik internal partai Golkar yang terpecah menjadi dua kubu karena adanya perbedaan kepentingan dalam tubuh partai. Dan bahkan mereka memperebutkan kantor fraksi di DPR yang diikuti drama pencongkelan pintu kantor fraksi. Ada juga kasus partai PAN yang pada februari kemaren mengadakan Munas yang menaikkan Zulkifli Hasan sebagai ketua partai. Konflik terhangat yang sudah lama terjadi ialah perseteruan antara DPRD DKI Jakarta dengan Gubernur Jakarta. Perseteruan kedua kubu sudah memanas semenjak Ahok masih menjabat sebagai Wakil Gubernur, kemudian berlanjut sampai menjadi Gubernur. Perseteruan dan permusuhan yang terjadi merupakan konsekuensi logis dari dari apa selama ini mereka lakukan.
Pelaku politik sudah saatnya merombak sistem yang selama ini bercokol. Cara bermain yang kadalwarsa dan penampilan yang membosankan harus disingkirkan, karena dengan merubah wajah perpolitikan tersebut, secara otomatis stigma yang selama ini menempel pada pelaku politik pun berubah, dari yang sebelumnya dianggap kotor menjadi bersih dan rakyat akan berpandangan positif dan cenderung akan menghormati para Wakilnya.
Sudah sepatutnya mereka (politisi) sadar bahwa apa yang mereka lakukan selama ini diawasi oleh rakyat, konflik yang mereka timbulkan justru memperparah kehidupan rakyat yang semakin melarat karena harga yang menjerat perut mereka.
Pelaku politik seharusnya bisa belajar dari komedian bagaimana cara menghibur dan dicintai oleh rakyat, mereka harus bisa berkarya sehingga bisa mempunyai daya tawar, bukan malah berjanji kosong lalu mengeruk harta negara. Sudah sepatutnya mereka sadar, sifat yang selalu serius itu mencerminkan sesuatu yang tidak manusiawi, rakyat akan lebih berempati jika mereka bekerja secara benar dan penuh canda, tapi canda yang menyejahtrakan. Sungguh betapa indahnya suatu negara jika pemerintahnya berusaha maksimal menghibur rakyat, entah menghibur dengan prestasi ataupun medali.

No comments:

Post a Comment