Monday 23 February 2015

Gandrung Budaya

Masuknya budaya asing dalam kehidupan sosial kita tentunya bukan tanpa sebab. Jauh sebelum sekarang ini budaya asing sudah leluasa bergerilya dalam hidup kita. Kedatangan portugis enam abad lalu adalah awal terkikisnya budaya leluhur kita dalam arti yang sesungguhnya. Pribumi, pada waktu itu, yang terbiasa tidak mengenakan baju, mencari makanan hanya untuk keperluan sehari hari. Hal ini sudah tergerus sejak awal kedatanganya. Masyarakat di nusantara diperkenalkan barang barang canggih dan ciamik pada masanya.
Sehingga berkembanglah budaya materialis pada pribumi.
Melalui esai ini saya mencoba untuk memaparkan wujud budaya kontemporer ini serta pengaruhnya sehingga memunculkan akulturasi yang mulai menggerus budaya asli. Saya bukanya anti terhadap akulturasi, tapi bagaimana akhirnya esensi budaya yang terakulturasi tersebut bisa kita pertahankan. Budaya luar yang masuk bisa kita filter.
Mengenai mempertahankan nilai dari budaya asli. Sudah banyak upaya yang dilakukan oleh generasi bangsa untuk mempertahankanya. Mulai dari mengadakan diskusi, pertunjukan bahkan lomba. Tapi melihat begitu banyak upaya yang telah dilakukan masih jauh dari harapan mengapa acara tersebut diadakan. Masyarakat hanya antusias menyaksikan acara dan laga yang dipertunjukkan kemudian pulang setelah acara. Hal ini tentu tidak memberikan efek apapun selain merasa terhibur. Pertanyaannya adalah apakah ketika masyarakat merasa terhibur kemudian acara tersebut diakatakan berhasil ?. Tentu tidak, karena esensi dari pagelaran budaya adalah untuk mengukuhkan dan menggaet kembali masyarakat untuk melestarikan budayanya. 
Dari pemaparan di atas kita patut bertanya siapa yang salah masyarakat, pertunjukan, atau budayanya ?
Mari kita bicarakan satu demi satu. Pertama, masyarakat adalah kunci utama sebuah budaya terlahir. Tanpanya, tentu apa yang kita kenal sebagai budaya tidak akan muncul. Budaya yang dihasilkan pun tidak akan pernah sama dari masa ke masa karena sifatnya yang dinamis. Kedua, sejauh ini pagelaran budaya yang dipertunjukan telah menarik animo masyarakat. Terbukti dari jumlah penonton yang membludak setiap pagelaran budaya diadakan. Perihal masyarakat memetik nilai budaya atau tidak dari pagelaran tersebut bukanlah masalah dari masyarakat tersebut. Masyarakat zaman sekarang tentu berbeda dengan masyarakat dulu. Baik dari segi sosial, budaya dan teknologi. Pengaruh inilah yang akhirnya membuat citra atau nilai suatu masyarakat tergerus. Masyarakat tidak memprioritaskan budaya karena banyak pilihan lain untuk mengaktualisasikan diri mereka. Hal ini tentu berbeda karena zaman dahulu, yang melalui pagelaran budayalah mereka mengaktualisasikan diri. Ketiga, budaya yang berkembang sekarang bukanlah sesuatu yang terberi dan muncul begitu saja. Tetapi melalui proses yang panjang. Proses inilah akhirnya yang membedakan budaya yang muncul. Kita tidak bisa menyalahkan zaman atau budaya yang berbeda dari masa lalu yang terkikis ini. Tapi kita harus kembali pada masyarakat. Bagaimana masyarakat harus tetap bisa mempertahankan nilai lokal serta kearifanya.
Melihat kondisi masyarakat yang menyukai hal bersifat instan inilah yang membuat pagelaran budaya tersebut terkesan mubazir. Masyarakat hanya berorientasi pada hasil bukan proses. Maka lahirlah generasi budaya yang berpikiran dangkal. Mendambakan hasil dengan cara instan. Akibatnya kita akan kalah sejak dalam pikiran bahkan mental.
Budaya asli yang masih kita rasakan sampai sekarang pun memiliki berbagai masalah, terutama pada seni kebudayaan jawa seperti, rumitnya merawat serta membawa alat musik khas jawa, pakaian adat dan ritual adat yang sulit yang  memakan waktu dan tenaga. Ditengah masyarakat yang mendewakan keinstanan ini tentu jenis kebudayaan tadi tidak akan mampu bersaing. Ini bukan masalah masyarakat, pagelaran atau budaya tapi lebih pada mental masyarakat. Rumitnya menjaga warisan budaya bukanlah hal yang berat secara fisik tapi amat berat secara mental. Mental inilah yang membuat kita kalah sebelum berperang . menyerah sebelum mempertahankanya. Jika dari generasi ke generasi hal ini tidak berubah. Citra budaya kita semakin terjerembab dalam kubangan lumpur kefakiran budaya.

No comments:

Post a Comment