Monday 23 February 2015

Feminisme Kampus

Isu gender tidak bisa lepas dari kehidupan kita sehari hari. Permasalahan tersebut akan terus berkembang dan mengalami perkembangan selama masih ada interaksi di dalam masyarakat. Baik laki laki ataupun perempuan yang sebagai objek dominasi atau sub-ordinasi akan terus bermetamorfosis dari isu yang satu ke isu yang lain. 

Pasca reformasi kran kesetaraan gender telah dibuka selebar lebarnya. Sehingga posisi perempuan bisa sejajar bahkan lebih tinggi dari laki laki. Namun hal ini tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Dengan dibukanyq kebebasan bagi perempuan
untuk memilih jalan hidupnya tadi, bukan kesetaraan yang didapat. Mereka lebih sibuk membahas diri mereka sendiri. Akhirnya yang terjadi adalah kekacauan antara sesama perempuan sendiri.

Melihat dalam konteks kesetaraan gender dalam dunia kampus,  tidak lebih sebagai ajang eksistensi bagi mereka (perempuan). Streotip sebagai objek seksual laki laki yang selama ini melekat pada perempuan bukanlah hal yang diawali dari Laki laki. Tapi perempuanlah yang membuat wacana publik mengenai dirinya. 

Di kampus perempuan mendominasi laki laki secara fashion ataupun prilaku. Mereka cenderung liar dalam pergaulan dan berisik. Di dalam pembicaraan kelompok yang terdapat laki laki dan perempuan, seolah sudah menjadi kodrat, pastilah petempuan yang mendominasi. Baik verbal maupun visual. 

Pandangan bahwa perempuan hanya sebagai objek seksual laki laki, baik di bidang komersil atau publik, saya rasa keliru. Perlu ada perubahan pola pikir dalam menaggapi pandangan tersebut. Karena,  menurut hemat saya justru laki lakilah yang didominasi oleh perempuan yang berprilaku demikian. Betapa tidak, karena selera laki laki disetir oleh busana dan tampilan perempuan yang dianggap sebagai objek tadi. 

Dalam membahas kesetaraan gender dalam lingkup kampus. Saya mengamini teori sosial kultural untuk diterapkan di dalamnya. Teori ini relevan untuk kehidupan kampus yang majemuk. Teori sosial kultural ini berpandangan bahwa setiap lini dalam masyarakat memiliki kelebihan tersendiri tanpa adanya ketimpangan. Apabila setiap lini tersebut dijalankan sesuai dengan fungsi masing masing. Niscaya ketimpangan gender tidak akan terjadi. Karena tiap individu memerankan tugasnya masing masing. 


Tapi oleh pemikir feminis yang lain isu ini dianggap mengukuhkan budaya patriarki.  Karena mengamini dominasi terhadap perempuan. Padahal jika dilihat makna teori di atas tidak disebutkan laki laki memiliki posis dominasi mutlak. Ini artinya perempuan juga memiliki kesempatan yang sama untuk mendominasi (dalam arti yang positif). 

No comments:

Post a Comment