Saya terkesiap setelah membaca laporan akhir tahun Bre Redana
yang dimuat Harian Kompas edisi 17 Desember. Bre mengulas setiap peristiwa
menyedihkan yang terjadi sepanjang tahun
2016. Berbagai peristiwa masuk dalam sorotannya, ada politik, agama, buku,
film, dan musik. Dalam tulisan berjudul Kita
dan Pasca “Kasunyatan” Bre juga menyinggung soal perbedaan cara menerima
informasi, menurutnya masyarakat di era sekarang ini hidup di alam delusi. Ini disebabkan
karena setiap informasi yang dikonsumsi kita tidak lagi hadir menerimanya
dengan mata, telinga dan alat perasa lainnya. Sebaliknya, menurut Bre, otak
kita sudah bisa dibanjiri informasi tanpa melihat, mendengar dan merasakan
langsung setiap peristiwa yang terjadi.
Terlepas dari apa yang disampaikan Bre Redana, tulisan itu
telah memutar kembali memori kita pada apa yang terjadi setahun lalu. Di koran yang sama Bre menuangkan
pesimismenya terhadap media cetak yang, menurutnya, sudah menemukan
senjakalanya. Mungkin masih basah dalam ingatan bagaimana Bre mencoba
membandingkan laku kerja wartawan cetak dan media online waktu itu. Wartawan media
cetak (Bre menyebut wartawan konvensional) dalam pandangan Bre masih lebih baik
ketimbang wartawan media online, sebab pewarta konvensional masih melakukan
cara lama dalam wawancara seperti menulis tangan dan menranskripnya. Hal seperti
itu tidak lagi dilakukan oleh wartawan media online.
Apa yang baru-baru ini Bre tulis telah mengundang saya untuk mencerna kembali kalimat demi kalimat dalam tulisannya. Namun dalam tulisannya kali ini, Bre terkesan lebih hati-hati. Meski terdapat aura pesismisme atas cara menerima informasi, Bre juga memunculkan tidak sedikit optimisme. Bagaimana Bre memunculkan adanya oase baru dalam kancah perfilman, musik dan buku di Indonesia menurut saya adalah cara Bre menyadarkan pembacanya bahwa di tengah kehidupan yang serba meninggalkan kualitas seperti sekarang ini, masih ada segelintir orang yang peduli akan pentingnya kualitas karya dan tidak berpatokan pada besarnya income semata.
Itu soal Bre. Lain Kompas
lain pula Tempo. Di edisi yang sama Koran Tempo juga melaporkan
catatan akhir tahun. Namun kali ini dalam lingkup yang lebih spesifik dan
berani, yakni rapor merah yang diperoleh Yogyakarta dalam bidang HAM. Di rubrik
Yogyakarta & Jawa Tengah, Koran Tempo
mewartakan terdapat ratusan pelanggaran yang terjadi di sepanjang tahun
2016. Diantaranya yang paling terkenal adalah penutupan pesantren waria
Al-Faatah, pembubaran acara Lady Fast, pembubaran diskusi di Aliansi Jurnalis
Independen, pembubaran dan ancaman diskusi film Pulau Buru Tanah Air Beta di kampus, serta yang paling terbaru adalah penurunan paksa baliho di salah
satu universitas dikarenakan gambar mahasiswi yang mengenakan jilbab.
Tidak hanya itu, masih banyak kejadian lain terjadi di
Yogyakarta yang membuat hati kita terketuk. Lihat bagaimana penggusuran paksa
pemukiman warga di area Gumuk Pasir di Parangtritis. Korban penggusuran yang
dijanjikan akan mendapat dana ganti rugi sebanyak 1 juta sampai detik ini belum
diberikan. Warga saat ini masih bertahan ditenda pengungsian yang dibuat ala
kadarnya.
Kabupaten Kulon Progo lain lagi, petani yang sudah hampir
sepuluh tahun berjuang mempertahankan sawahnya dari pembangunan bandara seakan
tidak menemukan hasil. Warga, aktivis serta akademisi yang menolak pembangunan
bandara ini terus melakukan bermacam cara namun kuatnya pengaruh Sultan membuat
perlawanan terkesan tiada arti.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Hamzal
Wahyudin mengatakan pelanggaran HAM masih banyak terjadi, bahkan di bidang
penegakan HAM DI. Yogyakarta mendapat rapor merah. Namun dengan bangganya Gubernur
Provinsi Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubowono X menetapkan Yogyakarta sebagai city of tolerance. Penetapan ini semakin
menggelikan mengingat julukan tersebut diberikan beberapa hari setelah
pengepungan asrama mahasiswa Papua.
Catatan akhir tahun yang dimuat dua koran nasional di atas
telah menunjukkan kepada kita bahwa apa yang terjadi sepanjang tahun ini
hanyalah parade penindasan dan kesedihan. Tidak hanya di tingkat nasional, di
tingkat daerah penindasan itu semakin nyata. Indonesia terkesan betah berkawan
dengan konflik. Setiap konflik sengaja dipelihara supaya masyarakat mengalami
mimpi buruk dan terjaga di malam hari. Lama-kelamaan penguasa semakin tidak
rasional, lihat bagaimana gubernur Jawa Tengah (saya tidak mau sebut namanya
dalam tulisan ini) memperbarui izin pendirian pabrik semen padahal izin
pendiriannya telah dicabut oleh putusan pengadilan. Tengok juga bagaimana Setya
Novanto kembali menduduki posisi ketua DPR yang sebelumnya diberhentikan karena
kasus Papa Minta Saham.
Ya, begitulah kawanku, penguasa memang cenderung melecehkan
akal sehat.
No comments:
Post a Comment