Friday 13 October 2017

Bullying Adalah Bom Waktu Bagi Generasi Kita


Sumber foto : Republika.co.id

Dewasa ini bullying adalah sesuatu yang mengkhawatirkan. Sudah banyak siswa sekolah bunuh diri karena tidak tahan dibully. Tentu masih basah dalam ingatan kita seorang siswi SMA berusia 16 tahun di Riau yang memilih mengakhiri hidupnya dengan cara menceburkan diri ke sungai lantaran tidak sanggup menghadapi bullying yang dilakukan teman sekolahnya. Siswi itu bernama Elva Lestari. Elva sebelumnya sudah meminta kepada orang tuanya untuk pindah sekolah, namun tidak direspon.

Melihat peristiwa Elva, saya jadi teringat masa-masa belasan tahun silam ketika masih duduk di bangku sekolah dasar. Saya beserta teman-teman yang lain pernah melakukan aksi bullying. Orang yang menjadi korban waktu itu teman sekelas bernama Ulfa (bukan nama sebenarnya). Ulfa menjadi bahan tertawaan karena bersekolah sambil berjualan pisang goreng dan es lilin.

Sampai detik ini saya tidak paham apa yang salah dengan seorang siswa yang sekolah sambil berjualan. Sejauh yang saya ingat, Ulfa memang siswa yang paling beda waktu itu. Seorang teman kemudian memanggilnya Nenek Piah. Di kantin sekolah kala itu ada seorang nenek bernama Piah yang juga berjualan pisang goreng.

Mendengar sebutan Nenek Piah, saya jadi ikut-ikutan memanggilnya demikian. Saya masih ingat dengan jelas raut muka Ulfa ketika dipanggil Nenek Piah. Pasca menyandang nama baru itu, Ulfa jadi lebih pendiam dan hampir menangis setiap hari.


Sekarang jika mengenang masa itu, saya merasa menjadi manusia paling berdosa. Jika dipikir-pikir, sebenarnya tidak ada yang salah dengan sekolah sambil berjualan. Justru itu bisa menumbuhkan jiwa wirausaha sejak dini. Lagipula, Ulfa berjualan di sekolah lantaran beban ekonomi yang terlalu berat. Namun apadaya, otak dan nalar saya waktu itu belum bisa berpikir dewasa. Alhasil, yang ada sekarang hanyalah penyesalan.

Melihat kasus Elva, saya tidak bisa membayangkan seperti apa perasaan Ulfa waktu itu. Pasti hancur dan sakit dalam satu waktu. Namun, Ulfa masih sedikit beruntung sebab mampu melawan keterpurukan itu dan masih hidup hingga sekarang. Hal ini berbeda dengan Elva dan siswa-siswa lain yang memilih mengakhiri hidupnya.

Menurut data yang dirilis International Centre for Research on Women (ICRW) pada Maret 2015 lalu menunjukkan bahwa 84 persen anak Indonesia menjadi korban bullying di sekolah. Aksi bullying yang terjadi berbagai macam, mulai dari kekerasan fisik dan verbal, pelecehan seksual, penghinaan dan sebagainya. Angka prosesntase kekerasan ini menjadi yang tertinggi di kawasan Asia.  

Pada tahun yang sama Kementrian Sosial juga merilis data jumlah  anak Indonesia yang bunuh diri karena dibully. Kemensos mencatat 40 persen anak-anak Indonesia bunuh diri karena menjadi objek bullying. Jika berbicara data memang tidak akan ada habisnya. Hingga bulan Juni tahun 2017 ini saja Kementrian Sosial mengaku telah mendapat 117 laporan mengenai kasus bullying.
Sebenarnya tidaklah sulit untuk mengetahui dan melihat peristiwa bullying yang terjadi. Anda cukup dengan memasukkan kata kunci ‘Siswa Sekolah Berantem’ di kolom pencarian Youtube sudah bisa menemukan puluhan bahkan ratusan video pengroyokan pelajar.

Upaya Pencegahan

Dari sekian banyaknya kasus bullying yang terjadi di lingkungan sekolah, perlu adanya upaya untuk melakukan pencegahan. Pencegahan ini bisa dilakukan dengan beberapa cara, mulai dari memberi pemahaman kepada siswa mengenai pentingnya saling menghormati dan menolong satu sama lain hingga memberikan sanksi tegas bagi pelakunya.

Guru mau tidak mau harus berperan aktif memantau dan mengawasi peserta didiknya. Guru juga harus peka terhadap perubahan sikap murid yang jadi pendiam dan pemurung. Sebab, perubahan prilaku ini merupakan salah satu ciri korban bullying.

Seseorang yang menjadi korban bullying cenderung akan berprilaku trtutup dan pendiam. Ia tidak bisa melawan atau membela diri. Jika sudah begini, ia akan terus didominasi oleh prilaku bullying. Sebetulnya tidaklah sulit melacak anak yang menjadi korban bullying. Gejala-gejala yang muncul biasanya berupa anak menjadi pendiam, suka menyendiri dan mulai malas pergi ke sekolah.

Anak korban bullying adalah anak yang sudah tidak nyaman lagi dengan lingkungan tempatnya belajar. Ia merasa tidak percaya diri terhadap setiap aktifitas yang dilakukannya. Maka dari itu, salah satu tindakan penting yang dilakukan adalah mengembalikan rasa percaya diri mereka.

Di samping peran guru di sekolah, dukungan dari orang tua juga sangat penting untuk mengembalikan rasa percaya diri anak. Orang tua perlu aktif menanyakan kegiatan dan pergaulan anaknya di sekolah. Cara seperti ini secara tidak langsung akan membuat anak menjadi lebih terbuka. Upaya-upaya preventif ini amatlah penting, jangan sampai aksi bullying ini tumbuh subur di tengah lembaga pendidikan kita dan semoga tidak ada lagi Elva-Elva lain yang menjadi korban.

Jika Anda atau salah satu anggota keluarga Anda menjadi korban bullying jangan sungkan untuk mengajukannya ke pihak sekolah, kepolisian atau ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Jangan takut akan mendapat ancaman jika melapor, sebab di negara kita sudah ada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang akan senantiasa melindungi jiwa para korban dan saksi yang melapor.

Sekolah sudah sepatutnya menjadi gerbang generasi bangsa untuk meraih cita-cita. Bukan justru menjadi tempat pengucilan, merusak mental atau bahkan pembunuhan. Jangan sampai semangat belajar para siswa luntur karena menjadi korban bullying. Jika hal ini terus terjadi, sama saja kita sedang memasang bom waktu kepada generasi penerus bangsa. Bom ini bisa menimbulkan daya ledak yang amat dahsyat jika tidak dicegah sedini mungkin.


Referensi : 




1 comment:

  1. Bully itu menjadi trauma yang panjang sekali, mau tidak mau harus mendapatkan perhatian khusus.

    ReplyDelete