Monday 20 March 2017

Kemana Kita Setelah Mati?



 Kehidupan setelah mati adalah misteri semua makhluk hidup, terutama manusia. Tidak ada yang bisa menjelaskan secara pasti bagaimana rupa kehidupan setelah kematian. Kebudayaan boleh saja berubah, teknologi boleh saja maju, pendidikan boleh saja pesat. Tapi, dari sekian generasi dan era, tidak ada satu pun alat yang bisa menerka seperti apa kehidupan setelah mati.

Untuk saat ini kita bisa saja bertolak pada agama. Hampir setiap agama punya penjelasan kehidupan pasca mati. Kita ambil contoh agama Islam. Islam secara komperehensif menyebutkan adanya akherat sebagai tambatan manusia setelah dikuburkan. Di akherat inilah nasib manusia ditentukan: surga atau neraka. Namun, kehidupan setelah mati yang Islam jabarkan belum bisa dibuktikan secara riil, sebab kita sedang berbicara dalam konteks filosofis. 

Sebagai umat beragama, kita patut meyakini seperti yang Islam telah gariskan. Namun, tidak bisa berhenti sampai di situ. Pencarian kebenaran mengenai hidup setelah mati harus terus diupayakan untuk mengetahuinya. Saat ini, sumber yang paling memungkinkan untuk mengetahui kehidupan pasca kematian adalah pengalaman orang-orang yang mati suri. Saya rasa sudah banyak orang yang mengalami mati suri: orang yang telah didiagnosa mati namun kembali hidup selang beberapa waktu. 

Berdasarkan dari penuturan mereka (bisa dilihat di Youtube), kehidupan pasca mati itu tenang dan mengasyikkan. Dia melihat pemandangan yang luas, taman, pepohonan, burung-burung dan suasan penyejuk hati lainnya. Dari sini bisa kita simpulkan bahwa kematian itu indah. Dan, kehidupan pasca kematian itu memang benar adanya. 

Seorang filsuf Louis Leahy pernah menulis dalam bukunya berjudul Misteri Kematian. Di buku itu Louis menjelaskan bahwa kehidupan pasca mati tidak akan jauh berbeda dengan kehidupan manusia ketika berada dalam kandungan. Menurutnya, ketika masih berada dalam kandungan manusia juga memiliki dunianya sendiri. Namun, dunia itu berubah ketika manusia dilahirkan. Pasca dilahirkan (kita bisa menyebut tahap ini sebagai kematian dari dalam rahim karena memiliki dunia yang berbeda), manusia tidak ingat lagi tentang dunianya di saat dalam kandungan. Lebih lanjut Louis memaparkan kehidupan pasca kematian seperti itu. Kita akan hidup di dunia yang berbeda dan secara otomatis akan lupa dengan kehidupan di dunia ini. Manusia akan hidup di dunia yang berbeda dan (mungkin) dengan pribadi yang berbeda pula. 

Membaca buku Louis kita akan dihadapkan pada sebuah pertanyaan filosofis yang menggelitik untuk ditelaah. Di awal buku, Louis menceritakan kisah yang dialaminya. Dia bercerita bahwa baru saja bertemu dengan temannya. Tiga menit berselang temannya mati tertabrak truk. Ia kemudian bertanya, kenapa status manusia cepat sekali berubah? Tiga menit lalu temannya itu disebut manusia, namun kini telah menjadi mayat. 

Pengalaman Louis ini perlu ditelaah. Apa yang membuat manusia dikatakan hidup dan mati? Bisa saja kita menyebutnya nyawa. Namun, apa dan seperti apakah nyawa itu? Dalam konteks ini, sejauh yang saya tahu, tidak ada satupun agama atau cabang ilmu yang bisa menjelaskannya (ketika saya menulis ini). Kita, manusia, cenderung masa bodoh ketika membicarakan kehidupan setelah kematian. Hal ini kemungkinan disebabkan karena ketidaktahuan kita mengenai kehidupan pasca mati itu.

Dampak dari ketidaktahuan akan dunia pasca mati ini membuat manusia bertanya-tanya. Namun tak kunjung menemukan jawaban yang memuaskan. Pertanyaan tak terjawab membuat manusia penasaran. Penasaran menyebabkan kegelisahan. Gelisah menyebabkan ketakutan. Oleh karena itu, kematian saat ini dipandang sebagai fase kehidupan yang menakutkan. Ketakutan yang disebabkan minimnya pengetahuan akan mati.

Menurut hemat saya, manusia saat ini sedang berada dalam jurang ketakutan. Di titik inilah manusia akan melakukan segala cara untuk meminimalisir ketakutan menjelang kematian. Kehidupan memang menghadapkan kita pada satu pilihan, yakni mati. Hidup memang ironi, kita tidak pernah meminta untuk dilahirkan, tapi kita harus siap untuk mati. Entah cepat atau lambat. 

Manusia beragama akan menyiapkan bekal kematiannya dengan beramal sebanyak mungkin sesuai dengan ajaran agamanya. Memang, sampai detik ini satu-satunya harapan yang bisa menyelamatkan kita dari kehidupan pasca mati adalah agama. Meski keberadaanya belum terbukti, tapi apa yang agama ajarkan selama ini sedikit membuat umatnya (manusia) tenang. 

Seandainya kita bisa menjalin komunikasi dengan manusia yang lebih dulu mati, tentu umat manusia bisa lebih woles menyikapi dunia pasca kematian. Namun sayang, harapan ini hanya sebatas angan belaka. Sebab, hingga detik ini belum ditemukan satupun alat komunikasi yang bisa menjembatani hal tersebut. 

Teknologi memang belum bisa berbicara banyak. Namun, tidak halnya dengan agama dan budaya. Hampir semua agama mengajarkan bahwa mendoakan orang yang telah mati adalah cara terbaik untuk berkomunikasi dengannya. Setiap doa yang dipanjatkan diyakini akan melapangkan nasib orang yang telah mati di dunianya (Baca: setelah mati). 

Meskipun fenomena kematian di dunia ini serupa, dalam artian hilangnya nyawa seseorang dari tubuh,  atau dalam bahasa medis berarti berhentinya organisme dalam tubuh. Namun, kebudayaan meresponnya dengan cara berbeda. Tiap kebudayaan di muka bumi ini menyikapi kematian dengan cara berbeda-beda. Suku Eskimo di kutub utara beranggapan bahwa orang yang mati dalam keadaan sakit akan mengalami kesulitan di dunia pasca kematiannya. Sehingga, bagi warga suku Eskimo, orang sakit akan disembuhkan dengan segala cara agar bahagia di dunia selanjutnya. Mereka berharap bisa mati dalam keadaan bahagia dan sehat walaafiat.  Sebab, menurut mereka, mati dalam keadaan sehat akan membuatnya bahagia di dunia pasca mati.

Suku Mongolia beda lagi, setiap jasad akan dibawa di atas bukit untuk dimakan oleh burung pemakan bangkai sampai yang tersisa hanya tulang-belulang. Orang Bugis di Sulawesi lebih unik lagi, bagi masyarakat di sana kematian berarti pesta. Mayat akan diarak menuju kuburan khas sana (tepatnya disimpan dalam lubang kayu). Prosesi ini tak sedikit memakan biaya. Bahkan tak jarang keluarga akan menunda pemakaman jenazah jika uang belum terkumpul banyak. Semakin tinggi status sosialnya, semakin tinggi pula biaya ritual pemakaman yang dibutuhkan.
Mengharapkan kepastian kehidupan setelah mati adalah tindakan sia-sia (untuk saat ini). Semua budaya dan agama hanya memperlakukan kematian sebagai ritual dan tradisi, belum mampu menjelaskan secara riil. Lantas, kemana kita setelah mati?



No comments:

Post a Comment