“Untuk
Ayah Tercinta, Aku ingin bernyanyi, walau air mata di pipi.
Ayah
dengarkanlah, aku ingin berjumpa, walau hanya dalam mimpi.”
Penggalan lirik lagu di atas
dilantunkan oleh seorang gadis kecil peserta lomba karaoke. Tanpa menunggu
aba-aba, air mata saya langsung terjun. Seperti yang sudah- sudah,
lagu ini memang selalu berhasil membuat saya menangis sesenggukan. Saya yang
ketika itu berdiri di samping panggung terpaksa harus keluar dari kerumunan
penonton. Menangis di sebuah perlombaan Hari Kemerdekaan tentu bukan ide yang
bagus.
Sebelum air mata jatuh lebih
deras, saya bergegas pulang menuju kamar mandi posko KKN. Apalagi kalau bukan
untuk menangis. Mengeluarkan semua sedih dan pilu yang meskipun sudah terjadi
belasan tahun silam, tetap tidak mampu membuatku benar-benar menerima kenyataan
bahwa Ayah telah pergi.
Gadis kecil yang melantunkan
lagu itu bernama Kinanti. Seorang penonton yang berdiri di samping saya
memberitahu bahwa gadis itu adalah anak ketiga dari mantan kepala desa lokasi
saya KKN yang meninggal beberapa bulan lalu. Saya bisa merasakan kesedihan Kinanti.
Saya pernah berada di posisinya. Ditinggal oleh sosok Ayah ketika masih
anak-anak yang selalu ingin digendong dan dimanja. Hal yang lebih membuat saya
sedih adalah Ayah saya dengan Ayah Kinanti meninggal dalam status yang sama, sebagai
mantan kepala desa.
Seusai menangis di kamar mandi,
saya putuskan untuk tidak kembali ke lokasi lomba. Saya memilih untuk
menuangkan perasaan saya malam ini ke dalam tulisan ini. Sejak berpulang pada
2006 silam, Ayah hanya selalu saya hadiahi Al-fatehah dan Surat Yasin. Namun,
kali ini meskipun bukan di hari ulang tahunnya, saya ingin memberi kejutan
kecil berupa tulisan. Semoga Ayah bisa membacanya dan singgah sebentar dalam
mimpi.