Monday 16 January 2017

Kisah Nakal di Sekolah



Saya terlahir bukan dari keluarga yang gemar membaca. Meski ayah adalah seorang kepala desa dan kakek seorang Tuan Guru yang mengelola pondok pesantren, budaya membaca buku  di keluarga saya tergolong minim. Memang, bacaan wajib seluruh keluarga waktu itu adalah kitab suci Al-Quran. Maka tidak heran, sebelum menginjak sekolah dasar saya sudah akrab dengan ayatullah. 

Setiap petang ibu akan selalu memandikan saya agar segera pergi mengaji. Jika sore sudah larut dan saya belum pulang, ibu akan segera mencari ke lapangan, meminta saya berhenti bermain bola dan segera pulang. Tentu dengan sapu lidi di tangannya sebagai ancaman. 

Sampai lulus SD, tidak ada buku lain yang pernah saya baca selain buku pelajaran terbitan Erlangga. Nama penerbit ini terus membekas di kepala saya karena waktu SD ada teman bernama Arlan. Saya tidak paham apa hubungan antara keduanya, tapi yang jelas ketika mengingat nama penerbit itu, secara bersamaan sosok Arlan juga muncul di benak saya. 

Kebiasaan bermain bola menular sampai saya SMP. Bukannya mengutamakan belajar, hari-hari saya justru penuh dengan bermain. Semakin lama kebiasaan bermain ini semakin buruk. Saya yang semulanya bermain bola hanya di waktu sore sepulang sekolah, bertambah di waktu-waktu senggang. Bahkan ketika bel istirahat berdering, saya beserta teman yang lain berhamburan menuju lapangan sekolah. Apalagi kalau bukan bermain bola.

Tidak hanya bermain, rutinitas ini kemudian berkembang menjadi ajang judi. Menantang kelas lain untuk berjudi adalah sebuah kegagahan. Mempermalukan  mereka di depan cewek-cewek kelasnya adalah trofi terindah. Sampai kemudian aktifitas ini terendus oleh guru, saya beserta teman kelas yang lain lantas mendapat hukuman. Penggaris kayu sepanjang satu meter berwarna coklat mendarat di betis kami. 

Saya masih ingat betul, wali kelas saya waktu itu menyediakan tujuh penggaris di muka kelas, satu penggaris untuk satu orang. Kami diminta maju, lalu terdengar Plaak, Plaak, Plaak. Bunyi itu tidak akan berhenti jika belum ada penggaris yang patah. 

Singkat cerita, bocah yang kesehariannya adalah mengejar bola ini lulus dari sekolah menengah pertama. Saya girang betul ketika membuka surat pengumuman dan tertera kata L-U-L-U-S di dalamnya. Wawnya lagi, saya memperoleh nilai ujian nasional tertinggi di sekolah. Berkat capaian ini, saya memantapkan diri untuk melanjutkan ke sekolah favorit di kota. 

Sebagai anak kampung, hidup di kota adalah surga. Listrik jarang mati, jalanan ramai, akses kemanapun dekat, bisa main Play Station sepuasnya. Itulah niat mula saya ingin meneruskan sekolah ke kota. Namun cita-cita itu segera runtuh, ibu menyuruh saya melanjutkan sekolah ke sebuah pondok pesantren di Situbondo, Jawa Timur. 

Saya beserta lima teman yang lain, yang lagi-lagi adalah teman di SMP, dengan berat hati berangkat ke Kota Santri. Dengan ditemani ibu masing-masing, kami mendaftar sebagai santri baru di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo, Asembagus, Situbondo. Pondok pesantren yang didirikan oleh KH. Syamsul Arifin dan KH. As’ad Syamsul Arifin (nama terakhir itu beberapa waktu lalu dikukuhkan sebagai pahlawan nasional), adalah salah satu pondok pesantren terbesar di Indonesia.

Di pondok ini, saya mengenyam dua jenis pendidikan: sekolah agama dan sekolah umum. Sekolah agama atau Diniyah berlangsung di pagi hari, sedangkan sekolah umum, (saya memilih SMK jurusan Teknik Komputer Jaringan) saya tempuh siang harinya. 

Tidak seperti santri kebanyakan yang betah berjam-jam menyuntuki kitab gundul untuk dimaknai, saya justru memilih tidur karena tidak paham dengan penjelasan ustadz. 

Meski berada di lingkungan pesantren, kebiasaan nakal saya tidak hilang. Saya kerap tidak mengindahkan aturan. Saya beserta teman satu kamar sering merokok bareng, ke warnet bareng, main bola bareng bahkan menyimpan HP. Semua kegiatan itu adalah tindakan yang diharamkan. Tapi karena sudah nakal sejak dalam pikiran, larangan-larangan itu hanya sebatas pajangan. 

Walaupun sering melanggar aturan, satu yang paling saya dan teman-teman takutkan adalah tidak mendapat barokah. Meski begitu, kami tetap saja melangar aturan. 

Tidak terasa, sudah tiga tahun saya belajar di pondok pesantren itu. Banyak pengalaman yang saya dapatkan. Sebagai bocah ingusan yang baru lulus SMP, merantau ke pulau Jawa yang jauh dari orang tua adalah sebuah kesedihan. Di minggu pertama di pesantren, saya mengalami shock culture. Banyak hal yang tidak saya pahami. Tapi tidak lama kemudian, saya sudah bisa beradaptasi dengan lingkungan baru.

Ada banyak pengalaman sedih, senang, lucu, yang saya alami. Pengalaman-pengalaman itu akan saya muat di blog ini, tapi tidak sekarang ya. Anggap saja tulisan ini sebagai pemanasan.


No comments:

Post a Comment