Tuesday 22 August 2017

Ayah

“Untuk Ayah Tercinta, Aku ingin bernyanyi, walau air mata di pipi.
Ayah dengarkanlah, aku ingin berjumpa, walau hanya dalam mimpi.”

Penggalan lirik lagu di atas dilantunkan oleh seorang gadis kecil peserta lomba karaoke. Tanpa menunggu aba-aba, air mata saya langsung terjun. Seperti yang sudah- sudah, lagu ini memang selalu berhasil membuat saya menangis sesenggukan. Saya yang ketika itu berdiri di samping panggung terpaksa harus keluar dari kerumunan penonton. Menangis di sebuah perlombaan Hari Kemerdekaan tentu bukan ide yang bagus.

Sebelum air mata jatuh lebih deras, saya bergegas pulang menuju kamar mandi posko KKN. Apalagi kalau bukan untuk menangis. Mengeluarkan semua sedih dan pilu yang meskipun sudah terjadi belasan tahun silam, tetap tidak mampu membuatku benar-benar menerima kenyataan bahwa Ayah telah pergi.

Gadis kecil yang melantunkan lagu itu bernama Kinanti. Seorang penonton yang berdiri di samping saya memberitahu bahwa gadis itu adalah anak ketiga dari mantan kepala desa lokasi saya KKN yang meninggal beberapa bulan lalu. Saya bisa merasakan kesedihan Kinanti. Saya pernah berada di posisinya. Ditinggal oleh sosok Ayah ketika masih anak-anak yang selalu ingin digendong dan dimanja. Hal yang lebih membuat saya sedih adalah Ayah saya dengan Ayah Kinanti meninggal dalam status yang sama, sebagai mantan kepala desa.

Seusai menangis di kamar mandi, saya putuskan untuk tidak kembali ke lokasi lomba. Saya memilih untuk menuangkan perasaan saya malam ini ke dalam tulisan ini. Sejak berpulang pada 2006 silam, Ayah hanya selalu saya hadiahi Al-fatehah dan Surat Yasin. Namun, kali ini meskipun bukan di hari ulang tahunnya, saya ingin memberi kejutan kecil berupa tulisan. Semoga Ayah bisa membacanya dan singgah sebentar dalam mimpi.