Monday 10 July 2017

RIP Alcatel


Kemarin saya terperangah. Gawai yang sudah empat tahun saya miliki tiba-tiba mati tanpa alasan yang jelas. Padahal terakhir saya cek batrai masih cukup untuk membuka Youtube selama dua jam. Saya coba hidupkan, no respon. Saya coba sambungkan dengan pengisi batrai, tidak ada tanggapan. Saya coba hubungkan dengan banyak casan, tidak bergeming juga. Oke, kalau sudah begini saya vonis gawai itu rusak.

Rusaknya gawai bermerak Alcatel (dibaca: Alkecel) itu jelas petaka bagi saya. Sebab satu-satunya alat yang saya andalkan untuk berkomunikasi jarak jauh hanyalah gawai itu. Padahal, di gawai itu ada banyak data-data pribadi yang belum sempat saya pindah ke laptop. Seiring dengan matinya gawai tersebut secara otomatis aktifitas browsing saya juga terhenti. Sedih.

Meski mati secara mendadak, saya meyakini bahwa gawai tersebut adalah tipe gawai yang tidak mau merepotkan pemiliknya. Sebelum nyawanya dicabut, ia sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda ajal, seperti beberapa fitur rusak atau sesuatu yang membuat saya mengeluarkan uang untuk memperbaikinya. Tidak ada. Semua lancar seperti biasa. Hal seperti ini, meskipun tidak merepotkan saya, membuat saya sedih. Padahal, kemarin gawai itu masih saya genggam, namun sekarang sudah tidak bisa lagi. Semua terasa cepat sekali.

Monday 3 July 2017

Mabuk Liburan


Libur lebaran kali ini benar-benar menjadi liburan terpadat bagi saya. Bagaimana tidak, dalam satu minggu ini saya sudah mengunjungi pantai sebanyak lima kali. Padahal liburan, apapun bentuk dan destinasinya, tidak begitu saya sukai, bahkan cenderung saya hindari. Namun, karena liburan kali ini saya nikmati di kampung halaman, saya tidak punya banyak alasan untuk menolak setiap ajakan.

Ajakan berlibur datang hampir setiap hari dengan sumber ajakan yang berbeda-beda. Mulai dari teman angkatan SD, remaja kampung, keponakan, hingga keluarga besar. Saya selalu tidak punya pilihan selain menerima semua ajakan tersebut. Jika pun sempat menolak, akan mudah dipatahkan dengan bujukan, “Ayolah, ini sekali setahun, lho. Tahun depan kita belum tentu ketemu lagi.” Jika sudah begini, saya langsung mengiyakan, siapa tahu ini perjalanan terakhir saya bersama mereka. Buset, saya tidak pernah merasakan liburan rasa maut seperti ini.

Meski cara menerima ajakan hanya dengan ikut serta bersama mereka, tapi hal ini tidak selalu berjalan mulus. Pernah suatu hari saya galau memutuskan hendak ke pantai dengan siapa, sebab pada hari itu ada dua ajakan. Satu dari keponakan yang masih kecil-kecil dan satunya dari teman seangkatan SD yang rencananya akan dijadikan sebagai ajang reuni. Acara reuni ini sebenarnya sudah jauh-jauh hari direncanakan, bahkan sebelum saya mudik. Semua persiapan sudah dilakukan, mulai dari mendata teman-teman yang ikut, mencari tempat menginap, iuran per-orang, dan sebagainya.

Namun, persiapan yang sudah matang itu diinterupsi satu jam sebelum kami berangkat. Ketika saya sedang siap-siap untuk pergi ke lokasi yang sudah jauh-jauh hari ditentukan itu, delapan kurcaci berserta orang tuanya masing-masing datang ke rumah, dengan tujuan mengajak saya ikut serta bersamanya. Para keponakan yang sudah tidak sabar ingin segera mendarat di pantai itu dengan sekuat tenaga membujuk saya. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang memasang muka sedih. Orang tuanya, yang merupakan kakak-kakak saya, juga meminta saya ikut karena butuh tenaga tambahan untuk menemani dan mengawasi para kurcaci tersebut. Sebagai paman yang baik, perasaan saya tentu luluh dan tidak tega membiarkan mereka hanyut begitu saja ke tengah laut.

Keputusan ini tentu secara otomatis telah menggugurkan rencana reuni bersama teman sekelas di SD. Kabar ini pun segera saya kabari kepada mereka yang sedang menunggu. Ketika menyampaikan kabar yang tidak sedap ini, sebagian dari mereka memasang muka manyun dan sebagiannya lagi secara teranga-terangan memaksa saya tetap ikut. Namun, apa daya paksaan tersebut tidak bisa merubah keputusan. Sebab, taruhannya adalah membiarkan para keponakan menangis dan berada dalam ancaman ombak pantai.

Objek terbesar dari liburan saya adalah pantai. Hampir semua pantai di bagian selatan Lombok sudah saya kunjungi dalam rentang waktu satu minggu ini. Perjalanan ke pantai ini sebenarnya tidak susah-susah amat. Hanya memakan waktu 10 sampai 20 menit. Hal ini tentu berbeda dengan Yogyakarta, tempat saya kuliah. Di kota ini, jika ingin menikmati suasana pantai harus rela menempuh perjalanan selama tiga jam. Pantai yang dikunungi adalah pantai-pantai yang ada di Gunungkidul. Namun, jika ingin menikmati pantai dalam waktu singkat bisa mengunjungi Parangtritis atau Parangkusumo. Hanya perlu waktu satu jam, ganasnya ombak pantai selatan sudah bisa disaksikan.

Kini, saya sudah sepuluh hari berada di rumah, menyisakan empat hari lagi sebelum balik ke Jogja. Itu artinya, kemungkinan besar saya masih bisa pergi ke pantai beberapa hari kedepan, tergantung ada yang mengajak atau tidak. Namun, sebenarnya saya lebih berharap bisa menghabiskan banyak waktu di rumah. Menemani ibu di dapur dan membicarakan banyak hal. Sesuatu yang sudah jarang kami lakukan semenjak saya merantau.

Semoga banyaknya jumlah liburan ini tidak merubah saya menjadi pribadi yang gemar piknik dan melupakan kemaslahatan umat (lebay). Amin.