Thursday 19 January 2017

Inikah Senjakala Pers Mahasiswa?



Kejayaan media cetak sedang meredup. Kira-kira itulah yang dapat disimpulkan dari tulisan Bre Redana pada penghujung 2015 lalu. Tulisan yang berjudul Inikah Senjakala Kami? Itu sempat mengejutkan para pemerhati media. Tulisan yang dimuat di Harian Kompas edisi 28 Desember 2015 itu dianggap telah menebar aura pesismisme. Pasalnya, Bre menulis media cetak sudah tidak mampu bersaing di tengah banjirnya informasi yang ditawarkan media online.  


Apa yang ditulis Bre Redana merupakan refleksi atas merosotnya jumlah pembaca terhadap media cetak. Beberapa bulan sebelum tulisan itu dimuat, terdapat beberapa media cetak yang sudah gulung tikar, seperti The Jakarta Globe (9/2015), Harian Bola (10/2015), Soccer (10/2015), Sinar Harapan (1/2016) dan  Koran Tempo yang menggabungkan edisi Minggu dengan Sabtu karena sedikitnya pembaca di eidisi Minggu. 


Apa yang menimpa media cetak tahun lalu cukup kuat untuk mendukung gagasan Bre. Bre menulis, kejayaan media cetak seperti koran, majalah, buku yang mendasari terbentuknya peradaban manusia tinggalah kenangan. Semua yang berbau printed text kini sudah memiliki versi onlinenya, termasuk jurnalisme.  



Setelah tulisannya ramai menjadi bahan pembicaraan, Bre justru diam. Ia sengaja tidak melempar wacana tandingan untuk menanggapi perdebatan soal mana lebih baik antara media cetak atau media online. Akan tetapi, secara tersirat dalam tulisan tersebut Bre sebenarnya telah melakukan penilaian bahwa wartawan media cetak yang menurutnya konvensional lebih baik karena dalam wawancara masih menggunakan catatan, pulpen dan melakukan wawancara langsung. Berbeda dengan wartawan media online, yang menurutnya, lebih sibuk dengan gawai untuk multitasking.


Gerah dengan berbagai tanggapan miring terkait sikapnya dalam tulisan, Bre akhirnya angkat bicara. Tapi, kali ini bukan melalui tulisan tanggapan, melainkan dalam sebuah wawancara. Dalam wawancara dengan Yellowcabin.com Bre menuturkan bahwa apa yang ramai diperdebatkan publik bukanlah inti tulisannya. Ia mengaku sama sekali tidak menyinggung bahwa media cetak lebaih baik dari media online, melainkan adanya pergeseran medium jurnalistik, dari yang sebelumnya cetak ke online, hanya itu. Sama sekali tidak membahas konten. 


Namun, apapun bentuknya, keresahan yang Bre tuangkan dalam tulisan itu patut mendapat sorotan. Di era yang serba cepat seperti sekarang ini, menerima informasi dengan cepat adalah sebuah keharusan, dan media online adalah wadah paling memungkinkan. Kebutuhan akan informasi serba cepat inilah yang memancing banyaknya media online bermunculan. Lantas, bagaimana dengan nasib pers mahasiswa?


Badai Media Online


Hari Jumat, (4/11) ribuan orang memadati beberapa titik di Jakarta. Mereka datang dari berbagai daerah, Medan, Lampung, Semarang, Banjarnegara, dll. Tidak hanya di ibu kota, di daerah-daerah juga terjadi aksi serupa. Mereka yang mengatasnamakan diri sebagai Aksi Bela Islam menuntut agar Ahok segera ditangkap dan dipenjara karena dianggap telah menistakan agama Islam.
 

Aksi itu bermula dari video yang diunggah oleh Buni Yani. Ia mengupload potongan video Gubernur DKI Jakarta Basuki Cahaya Purnama alias Ahok ketika berpidato di Kepulauan Seribu. Di dalam potongan video tersebut terdapat Ahok sedang berbicara tentang surat Al-Maidah ayat 51 yang menurutnya kerap digunakan oleh aktor politik kepada kliennya agar memilih pemimpin yang seagama. Sontak, video itu menjadi viral dan memantik aksi itu. Kabar terkini, setelah aksi 411 tersebut Ahok akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Pendemo senang. 


Santai dulu, bagian ini tidak bermaksud membahas aksi tersebut, melainkan sebagai contoh bagaimana media mainstream, terutama media daring, berhasil memainkan isu sehingga kasus ini menjadi trending topik dan memicu aksi yang katanya terbesar dalam sejarah Indonesia itu. 


Jenis media yang paling getol mewartakan aksi tersebut adalah media online, di samping media televisi. Berita digoreng sedemikian rupa. Ada yang memainkan isu agama, ras, kebijakan politik hingga ucapan Ahok selama ini yang dituduh jauh dari budaya ketimuran. Tapi apapun itu, diakui atau tidak, aksi tersebut besar dan bermula dari pemberitaan di media online. Sudah banyak isu-isu besar yang berangkat dari media online dan memanen simpati dari publik. Lantas, bagaimana dengan media yang dikelola persma?


Dewasa ini, apa yang bisa diharapkan dari pers mahasiswa selain sebagai wadah pembelajaran jurnalistik? Tidak pernah saya temui suatu isu besar yang sedang beredar bermula dari berita yang ditulis persma. Persma semakin hari semakin menemukan senjakalanya. Tidak pernah kita mendengar suatu isu yang dikawal persma menjadi pembahasan publik. Semua isu dikontrol dan dibahas oleh media mainstream. 


Media online pers mahasiswa masih mencari bentuk. Ada yang megikuti pola pemberitaan media mainstream karena mengedepankan kecepatan dan ada juga yang masih mencari format yang tepat karena jadwal pemostingan yang tidak menentu. Berita di media-media online yang pers mahasiswa kelola, diolah dan dikonsumsi oleh sesama persma. Ya, semacam onani pemuas nafsu semu.


Akan tetapi, mengharapkan pers mahasiswa mampu mengawal isu-isu alternatif kemudian diviralkan dan dapat mempengaruhi kebijakan politik, bukan lah sesuatu yang mustahil. PPMI mencatat, saat ini ada sekitar tiga ratusan pers mahasiswa yang masih aktif di Indonesia, jika semua persma ini kompak menentukan hingga mengawal isu bersama, bukan tidak mungkin untuk bisa mengangkat isu-isu alternatif menjadi viral.


Pers Mahasiswa di Ambang Pembredelan


Bagaimanapun kondisinya, kehadiran pers mahasiswa sebenarnya patut disyukuri. Selain sebagai wadah melahirkan jurnalis berkualitas, persma juga bisa menjadi jawaban atas minimnya kepercayaan publik terhadap media mainstream karena menomorduakan independensi. Dewasa ini bisa dihitung jari jumlah organisasi mahasiswa yang mengedepankan independensi. Akan tetapi, independensi ini bukan berarti tanpa cobaan. Badai selalu menghampiri persma yang mempertahankan idealismenya. 


Setelah Soeharto lengser, pintu kemerdekaan pers terbuka lebar. Meski begitu, hilangnya kekuasaan Orde Baru bukan berarti hilang pulang mental dan prilakunya. Watak Orba masih dengan mudah dijumpai di perguruan tinggi.


Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia mencatat dari tahun 2013 sampai 2016 terdapat sebanyak 47 persma yang dianggap bermasalah oleh kampus. Kasus terbaru yakni LPM Pendapa Universitas Sarjana Wiyata yang disuruh mengosongkan sekretariatnya karena akan diberikan Surat Keterangan Pembekuan.


Prilaku petinggi kampus semakin hari semakin tidak mencerminkan prilaku intelektual. Lihat bagaimana Media Universitas Mataram diusir dari sekretariatnya dan rektorat mengganti kepengurusan dengan nama-nama baru yang satu visi dengan petinggi universitas. Hal ini disebabkan birokrat Unram geram dikritik. Tengok juga bagaimana Pimpinan Umum Kavling10, pers mahasiswa yang bernaung di Universitas Brawijaya, sampai diajak berkelahi oleh Wakil Rektor III karena menolak mengganti arah pemberitaan yang menguntungkan petinggi kampus. Mirisnya lagi, Pimpinan Umum yang diajak berkelahi tersebut adalah seorang mahasiswi. 


Lambat laun posisi persma semakin terancam.  Keberadaan persma yang kritis di kampus tidak lagi diinginkan birokratnya. Para petinggi itu menginginkan persma hanya sebagai wadah belajar jurnalistik, mengikuti lomba menulis dan meraih piala. Tidak lebih. Tidak boleh kritik sana kritik sini. Mereka berharap persma bisa menjadi alat penyebar pencitraan, dan berusaha membungkan persma yang dirasa tidak satu visi. Kita tentu paham bagaimana nasib persma yang kritis, semua berakhir dengan nasib bredel. 


Di samping pemberitaan yang tidak lagi kritis, persma juga tengah mengalami masa-masa sulit. Persma belakangan ini dianggap sebagai organisasi pers yang cenderung merusak citra kampus. Kampus memandang persma sebagai krikil penghambat kemajuan akreditasi melalui pemberitaanya,

Melihat hamparan peristiwa diatas, apa yang bisa diharapkan dari persma? Distribusi pemberitaan yang tidak terlalu luas dan juga pembredelan yang semakin massif. Inikah senjakala pers mahasiswa?


No comments:

Post a Comment