Tuesday 2 February 2016

Robohnya Citra Hantu Kami

Berawal dari sebuah diskusi mingguan di jagad maya saya jadi tertarik menulis ini. Diskusi tersebut mengangkat tema berbeda tiap minggunya, kebetulan -Meski tidak kebetulan-kebetulan amat dan saya tidak paham apa yang harus dibetulkan- kali ini tema yang mengemuka adalah Hantu.

Semua orang pasti mafhum jika mendengar kata Hantu. Semua akan manggut tanda sepakat bahwa makhluk tersebut adalah gaib. Namun yang menarik adalah reaksi dari orang yang mendengarnya. Ada yang hanya mengernyitkan alis tanda 'njok ngopo', ada yang pasang muka mesum, eh salah, masam, hingga ada yang lari tunggang langgang tunggang Honda.

Hantu memang kerap diidentikan dengan wajah seram, penampilan kucel layaknya awak persma dan hinggap di tempat angker. Keberadaanya juga kerap diasosiasikan di rumah sakit, gudang kosong, gedung tak berpenghuni hingga gedung DPR.
Cap sebagai makhluk seram dan menakutkan sudah kadung jadi di benak masyarakat. Berbondong-bondong kita mengamini bahwa makhluk ini harus dilenyapkan dari muka bumi karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan princess Syahrini.

Namun kehadiran hantu ini tidak dibiarkan mubazir begitu saja. Kondisi ini dimanfaatkan beberapa kalangan demi meraup untung, entah itu untung materi maupun non-materi. Sedikitnya ada empat pihak yang memanfaatkan dan harus bertanggung jawab terkait buruknya citra hantu di kalangan manusia.

Pertama, Orang Tua. Ketika kecil kita mungkin sering direcoki untuk tidak keluar malam, bermain dikuburan atau bermain jailangkung, karena hal itu dapat mengundang hantu. Minimal waktu kecil ibu saya selalu mengancam, anak yang tidak pergi mengaji dikawanin hantu, anak yang tidak patuh perintah disayang nenek lampir dan anak yang menangis akan diculik Wewe gombel -yang konon teteknya segede elpiji 12kg. Bodohnya saya selalu takut dan menuruti kehendak ibu.

Kedua, Teman. Siapapun, baik yang moralis maupun apatis jika akrab dengan anda itu disebut teman. Jika sedang bersama makhluk bernama teman ini, Hantu adala muse yang selalu cocok sebagai bahan candaan. Dalam tiap pergaulan ada saja orang yang takut terhadap hantu. Dan ia adalah sasaran empuk untuk ditakuti-takuti, yang menarik bukan jenis hantu yang disebut, tapi reaksi dari ketakutannya. Ada yang menutup mata, menjerit, bahkan mengancam minta putus. Saya baru sadar ternyata yang saya kerjai adalah pacar (imajiner) saya.

Saya juga dapat dikategorikan orang yang memanfaatkan stigma seram hantu. Ketika membonceng lawan jenis malam hari dan melewati tempat sepi, naluri jahil saya muncul. Banyak cara saya lakukan untuk membuatnya takut. Sampai reaksi yang keluar pun tak tanggung-tanggung. Dijambaknya rambut kinclong saya sampai biji mata mau keluar karena perih. Dari situ saya simpulkan: Hantu memang makhluk biadab!

Ketiga, produser film. Bagi anda (yang ngaku) para nasionalis yang gemar melototi film tanah air, seksinya Jupe dan Depe bukanlah sesuatu yang tabu. Para produser menyuguhi anda scene yang menggetarkan, baik jantung maupun libido anda. Judul filmnya pun tak jauh berbeda dari rutinitas anak kos, Suster Keramas, Pocong Disko, atau mungkin nanti akan ada judul Tuyul Ngopi, Suster Cari Wi-Fi Gratis, hingga Pocong Makan di Warung Tidak Bayar.

Para produser film inilah yang sebenarnya harus bertanggung jawab terhadap buruknya citra hantu di masyarakat. Robohnya citra ini berbanding lurus dengan tidak adanya calon dari alam ghaib dalam pilkada serentak 9 Desember lalu.

"Para agamawan juga memanfaatkan hantu sebagai pembanding dari sikap manusia yang buruk" celetuk seorang kawan dalam diskusi tersebut. Tampaknya komentar tersebut tidak bisa disalahkan, meskipun juga tak bisa dibenarkan. Tapi sebenernya ada pesan moral yang bisa dipetik dari celutakan orang tak bermoral tersebut, bahwasanya agama juga memiliki andil besar terhadap merosotnya citra hantu.

Citra buruk yang menimpa hantu ini tidak ujug-ujug terjadi, Ahistoris. Melainkan ada rentetan peristiwa yang mengendap di benak kita hingga sampai saat ini meyakini bahwa makhluk astral ini baiknya dilautin saja.

Di antara tiga pihak yang harus bertanggung jawab di atas. Para produserlah yang memiliki keharusan untuk meminta maaf. Jika tidak, saya akan sarankan kepada hantu untuk menghantui mereka. Pasalnya, film garapan mereka menanamkan ketakutan tiada bertepi. Kita jadi sering menuduh bahwa ada hantu di setiap tempat sepi yang dilewati. Kita jadi mudah menghakimi bahwa bulu kuduk berdiri disebabkan kehadiran hantu.

Selain produser, pihak yang akan saya sarankan pada hantu untuk ditakuti adalah media. Media yang kini mempermudah segalanya. Media yang kini juga dapat mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat, tapi tidak bisa mendekatkan mantan saya yang jauh. Ih apa deh. Kelak di hari penghitungan amal, kita akan dengan mudah melihat neraca timbangan media berat ke kiri.

Memang tidak semua produser bertindak keji terhadap hantu. Masih ada kok yang baik, dan yang tergolong baik ini berupaya merubah image bahwa hantu itu tak selamanya menyeramkan. Upaya yang dilakukan Brad Silberling yang menyutdarai film The Casper layak diacungi jempol. Ia mencoba merekonstruksi pandangan manusia dengan menghadirkan tokoh hantu hedrosepalus yang imut nan baik hati. Studio Ghibli juga pernah menayangkan Spirited Away untuk menentang anggapan hantu dan roh-roh halus sebagai menakutkan. Di Indonesia juga pernah ada upaya serupa melalui film genre horor-komedi Jin dan Jun, dan Tuyu dan Mbak Yul.

Tidak ada yang salah sebenarnya dengan makhluk halus ini, bahkan nenek moyang kita menyembah keberadaan mereka yang kemudian disebut Animisme dan Dinamisme. Sebagai sesama penghuni bumi seharusnya kita bisa hidup berdampingan tanpa mengucilkan satu sama lain. Toh kita tidak pernah memilih mau diciptakan sebagai hantu atau manusia.

Hantu sebenarnya tidak pernah berupaya mengusik kehidupan manusia. Sesekali mereka menampakkan diri bukan bermaksud menakuti, tapi mencoba tuk bergaul dengan manusia, tapi manusia malah lari karena menuduhnya seram, menakutkan dan jaahaaat.

No comments:

Post a Comment