Sunday 21 June 2015

Senja di Siang Hari (Cerpen)


Pasar malam di kampung itu sudah dua minggu beroperasi. Namun tak sekalipun Johar mendatanginya, karena mengurus neneknya yang jatuh sakit. Ajakan dari temanya tiap malam bersiul tapi tak ia hiraukan. Kasih sayang pada neneknya lebih besar dari pada pasar kelap-kelip itu. Kode dari Ranti, perempuan yang beberapa minggu ini ia dekati, untuk berdua ke pasar itu tidak ia balas. Kondisi neneknya yang semakin memburuk membuatnya mengurungkan niat.

Amat besar perhatian Johar pada perempuan senja tersebut. Hampir tiap malam sebelum lelap rasa takut hinggap di pikiranya. Bayangan akan kepergian sang nenek membuat air matanya menetes. Dia tidak bisa membayangkan perempuan yang tinggal bersamanya selama tujuh belas tah
un tersebut tiada. Begitu banyak kenangan terlewati, terlebih di rumah tua tersebut. Tinggal bersama neneknya adalah pilihan terakhir orang tuanya setelah mereka memilih untuk mencari suaka baru. Harapan hidup layak membuncah ketika rumahnya didatangi calo pelayaran ilegal. Segala cara dilakukan untuk membiayai perjalanan mereka. Hingga harta yang tersisa adalah Johar, anak semata wayangnya. Tinggal bersama sang nenek adalah jalan terakhir, meskipun kondisi sangat miskin. Janjinya untuk mengirim uang tiap bulan masih teringat jelas dibenak sang nenek. Meskipun di tahun ketiga tak seperak pun yang ia terima.

Johar yang saat itu masih belia tidak bisa tinggal diam melihat kondisi neneknya. Sebagai laki-laki ia merasa bertanggung jawab memperbaiki nasib. Budaya kerja keras yang diwarisi nenek moyangnya membuatnya banting tulang siang malam. Mental tidak tergantung dengan orang lain dipupuk sejak dini oleh sang nenek.

Neneknya sudah mulai pikun. Pernah suatu ketika saat mencari johar ke tambang pasir tempatnya bekerja dia nyasar sampai ke alas. Sepulangnya dari menambang, Matanya terperanjat melihat ranjang beralaskan tikar kosong tanpa sang nenek. Timur- barat ia telusuri namun tak didapati. Setelah malam tiba, Johar dan masyarakat berbondong-bondong menyisiri sudut kampung. Kobaran obor dan dengungan gong menyertai pencarian tersebut. Tak lama berselang, seorang warga mendapati sang nenek menangis sedu di dalam kubangan sampah. Dengan segera warga mengankatnya dan dibawa pulang.

Paginya Johar memilih diam di rumah menjaga sang nenek. Meskipun dengan resiko mereka tidak makan hari ini, karena upahnya sebagai buruh pasir hanya cukup untuk makan sehari. Tapi syukurlah kebaikan hati dari tetangga menyelamatkan perut mereka hari itu.

"Besok kamu nambang saja, aku tidak apa-apa, " bujuk sang nenek.
"Tapi nenek belum sembuh bener,"
"Lantas besok mau makan apa? Jangan tergantung sama orang lain. "

Johar tidak bisa membantah, paginya ia siapkan peralatan dan bergegas berangkat. Langkah kakinya yang lontai menggambarkan keberatan hati meninggalkan sang nenek sendirian. Namun apa mau dikata hidup harus tetap berlanjut, dan itu berarti ia harus menambang. Pikiranya tidak fokus dan sempat beberapa kali tertegun ketika mengingat sang nenek. Siang itu dia putuskan pulang lebih awal. Meskipun dengan resiko hanya mampu membeli beras setengah kilo. Namun baginya itu bukan masalah, perut terisi bersama sang nenek adalah sebuah surga baginya.

Tidak seperti biasanya, pria berjaket jingga berdiri di depan rumah reotnya.

"Benar di sini rumah Ibu Syumi? " tanya pria tersebut.

"Iya, itu nenek saya,"  Sahutnya pelan.

Diterimanya amplop berwarna coklat, ia tunjukkan pada sang nenek. Dibacanya dengan seksama. Linangan air mata tiba-tiba mengalir deras ke dasar pipi. Neneknya yang tidak bisa membaca heran apa yang terjadi. Tanpa ditanya, Johar menjawab "Ayah Ibu sudah meninggal" Isaknya sambil memeluk tubuh ringkih sang nenek.  Sang nenek yang juga dalam keadaan sakit tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya melemparkan tatapan kosong ke luar jendela. Air matanya sudah tidak bisa keluar seolah mengajarkan kepada cucunya bahwa ia harus tabah menghadapi ujian.

Tujuh tahun setelah kepergian orang tuanya. Johar kini memiliki banyak perubahan. Sepatu mengkilat, kemeja dan jas berkerah menyertai hidupnya tiap pagi. Tak lupa sebelum berangkat kerja ia menatapi foto neneknya yang kini tinggal kenangan. Bacaan al-fatehah dilantunkan tiap hari bukti kecintaannya kepada orang tua dan sang nenek. Di balik kehidupanya yang serba berkecukupan dan Ratna yang sudah halal baginya, tetap ia merasakan keganjilan dalam hidupnya. "

Apalah arti kebahagiaan jika tidak dinikmati bersama orang yang disayang? " Gumamnya.

Pikiranya selalu berkecamuk jika mengingat keluarganya. Hampir tiap hal yang ia lakukan memunculkan memorinya kepada sang nenek. Ratna tidak pernah tinggal diam melihat suaminya yang akhir-akhir ini berubah. Berbagai cara telah dilakukan sampai dia kehabisan akal. Pernah terbersit di pikiranya untuk memakai jasa orang pintar. Namun pikiran tersebut segera dia usir jauh-jauh. Sangat tidak sesuai dengan dirinya sebagai lulusan pesantren memercayai bid'ah, ucapnya.
Kondisi Johar dari hari ke hari semakin tak menentu, kadang senyum kadang muram. Sesekali ia berhasil terhibur oleh lawakan di layar kaca dan melupakan beban yang ada di pikiranya. Namun sedihnya kembali muncul ketika merenung sendiri. Istrinya berusaha sekuat tenaga bagaimana caranya supaya suaminya tidak sendiri dan tak berujung sedih. Teman-teman kantor suaminya sengaja dia undang ke rumah. Sejenak kondisinya membaik, rautan tawa kini muncul menyelimuti wajah tirusnya. Namun senyum tersebut segera memudar pasca kepulangan rekanya.

Kondisi seperti itu dia lalui selama tiga tahun belakangan ini. Ratna sudah hafal betul kondisi seperti apa yang membuat senang dan sedih suaminya. Tapi dia tidak bisa menghiburnya sepanjang waktu. Kondisi ekonominya kini menipis. Suaminya tak pergi ke kantor, terpaksa menggunakan tabungan yang ada untuk biaya hidup.

Ratna tidak tahan dengan kondisi keluarganya. Serbuk racun tikus ia bubuhkan dalam hidangan makan siang mereka. Selasa limat menit, tubuh tinggalah daging. Mereka melangkah Bersama menuju nirwana.

Bintang W Putra
Kaliadem, Cangkringan 2015.

No comments:

Post a Comment