Sunday 21 June 2015

NKK/BKK ala UAD

Saya terkejut ketika seorang teman menyodorkan Surat Pernyataan yang harus diisi oleh mahasiswa baru Universitas Ahmad Dahlan. Di dalam surat tersebut ada lima butir aturan yang harus dipatuhi oleh mahasiswa baru. Butir yang membuat saya terkejut adalah butir no 5, yang bunyinya seperti ini: Tidak akan mangadakan/menganjurkan/menghasut yang bersifat demonstratif dengan mengganggu ketenangan dan keamanan kampus Universitas Ahmad Dahlan dalam arti luas. Surat Pernyataan tersebut harus dibubuhkan tanda tangan dan ditempeli matrai.

Sekilas aturan tersebut nampak baik-baik saja, karena kata-kata yang digunakan bersifat normatif. Tapi setelah melihat, meraba dan menerawang kalimat tersebut saya teringat
pada sebuah peristiwa yang akhirnya memandulkan gerakan mahasiswa. Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kampus (BKK) yang dikeluarkan Menteri Pendidikan pada masa rezim Orde Baru telah memangkas kegiatan mahasiswa untuk berpolitik, karena dianggap mengganggu ketertiban. Mahasiswa hanya diperbolehkan kuliah, melakukan penelitian dan lulus cepat. Berikut saya paparkan singkat mengenai NKK/BKK tersebut:

Berangkat dari konflik Malapetaka 15 Januari (Malari 1974) yang kemudian berujung pada aturan  NKK/BKK. Dalam surat edaran, Pemerintah Orde Baru mengeluarkan kebijakan melalui SK menteri pendidikan dan kebudayaan (P dan K), Daud Yusuf, No. 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Disusul dengan SK No. 0230/U/J/1980 tentang pedoman umum organisasi dan keanggotaan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK). Peraturan tersebut menyunat kegiatan mahasiswa dan memaksa mereka kembali dalam kampus dengan harapan mahasiswa mampu menghasilkan penelitian dan segera mendapat kerja (begitu indah cara Orde Baru menentukan masa depan mahasiswanya).

Tujuan dari turunya SK tersebut tidak lain untuk mencegah munculnya aksi serupa seperti Malari. Dan untuk mengantisipasi hal tersebut pemerintah melakukan tindakan-tindakan represif seperti penculikan dan penembakan misterius (Petrus). Dampak dari kebijakan tersebut adalah mahasiswa yang mulanya kritis terhadap pemerintah dikejar-kejar dan ditahan, maka aktivitas mahasiswa menjadi mudah dikendalikan dan diawasi aparat keamanan.

Kembali ke Surat Pernyataan di atas, nampaknya UAD tengah mempraktekkan apa yang dilakukan Orde Baru. UAD paham betul bagaimana Orba membungkam mahasiswa yang mengkritisinya. Diksi "Tidak akan mengadakan/menganjurkan/menghasut"  merupakan upaya depolitisasi dan dehumanisasi yang tengah dipraktekan oleh kampus. Ini tidak sesuai dengan semangat demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi dan berpendapat. Sangat mungkin sekali kampus akan mengarahkan mahasiswanya seperti apa yang dilakukan Orba.

Peraturan tersebut jelas tidak baik untuk keberlangsungan politik kampus yang akhir-akhir ini gencar diwacanakan. Karena jika ada mahasiswa yang berkumpul guna membahas politik kampus jelas itu dianggap melanggar aturan karena termasuk "mengadakan/menganjurkan/menghasut ke arah demonstrasi". Dan yang paling dirugikan dalam aturan tersebut adalah Lembaga Pers Mahasiswa dan sejenisnya. Mengapa tidak, karena mereka dapat dikategorikan melanggar aturan No. 5 tersebut. Terlebih adanya diksi "Dalam arti luas" pada aturan tersebut memberikan celah yang sangat lebar bagi pihak kampus untuk menuduh setiap mahasiswa yang berkumpul sebagai melanggar aturan dan memperkeruh kehidupan kampus. Saya pribadi juga was-was apakah tulisan ini termasuk dalam "mengadakan/menganjurkan/menghasut" mahasiswa lain untuk mengganggu keamanan kampus (tapi saya harap iya).

Cara berpikir kampus seperti ini harus diubah karena mencerminkan kemunduran berpikir. Kita tidak boleh tinggal diam melihat realita ini. Kampus nampaknya tengah melakukan sebuah rencana besar. Mudahnya kampus memberikan bantuan dana organisasi dan beasiswa perlu kita kritisi. Apakah dana tersebut murni untuk membantu  atau meninabobikkan mahasiswa?

No comments:

Post a Comment