Tuesday 23 June 2015

Kampus Tidak Ramah Kidal

Sejak awal menginjakan kaki di kampus 2013 lalu, saya sudah mencium glagat tidak baik dari dunia yang bernama kampus ini. Waktu mengisi formulir pendaftaran petugasnya memandang sinis ke arah saya, sorotan matanya tajam seperti lampu sorot di pasar malam, bahkan mata najwa pun lewat. Dalam hati mungkin dia bergumam "Ini salah satu perbuatan setan". Konon katanya, orang yang over teguh memegang hadis akan berkata seperti itu. Ya, kampus tempat saya belajar saat ini kampus milik yang katanya.ormas islam. Yang dimana katanya ajaran Al-quran dan Sunnah berdiri tegak.

Singkat cerita, setelah mengikuti masa orientasi yang sangat menjemukkan. Kini tibalah pada saat yang berbahagia.
Benar, kuliah. Hari perdana mengikuti perkuliahan girangnya bukan main, girangnya Lukman Sardi dengan agama barunya kalah jauh. Tapi euforia tersebut segera lenyap setelah pertama kali duduk di bangku kuliah. Betapa tidak, tempat duduk yang berfungsi ganda menjadi meja tersebut sangatlah merepotkan bagi saya yang berkebutuhan khusus, yakni Kidal (bagi yang belum tahu, kidal itu adalah melakukan semua kegiatan menggunakan tangan kiri). Alhasil, kuliah perdana saya lalui dengan rasa kecewa lantaran tidak khusyuk menulis karena tangan kiri harus menyilang ke sebelah kanan.

Sebenarnya tidak hanya di masa kuliah saja saya menjadi minoritas, di sekolah- sekolah sebelumnya pun demikian. Teman sekelas saya yang kadil (sebutan untuk orang yang menulis pake tangan kanan, hehe) enggan untuk sebangku dengan saya. Alasanya sederhana, kalo nulis siku kami berbenturan dan mengotori buku karena tulisan menjadi menceng.

Kembali ke persoalan kampus, saya tidak bisa tinggal diam melihat diri saya yang didiskriminasi oleh bangku. Selang seminggu saya menghadap ke bagian Fasilitas kampus, saya keluarkan keluh kesah (dengan sedikit basah). Tapi hasilnya Nol. Beliau keberatan memenuhi keinginan saya. Walhasil, dipenghujung semester 4 ini tangan kiri saya masih asyik bercembu dengan pegel yang menyelinap setiap habis perkuliahan. Tapi saya masih bisa bersyukur (sukuriiin) di dalam kelas ada lima orang yang menyandang status minoritas. Jadi gak merasa hina dan minder.

Baru baru ini ramai terdengar di media massa tentang pak Jokowi yang waktu berbuka minum menggunakan tangan kiri. Semua hadis dikeluarkan guna melegitimasi pernyataan bahwa Jokowi tengah meniru perbuatan setan. "minum menggunakan tangan kiri". Setelah membaca disalah satu portal berita online, hati saya tiba-tiba bergetar, tubuh menggigil dan bibir saya komat-kamit tidak karuan. Betapa tidak, saya shock berat dengan hadis yang menimpa pak presiden tersebut. Kalau beliau di gunjing melakukan perbuatan setan lantaran minum menggunakan tangan kiri. Lalu bagaimana dengan saya yang, jangankan hanya minum, makan (kalau pake sendok), nulis bahkan main bulu tangkis pun pake tangan kiri. Perbuatan makhluk gaib apa yang tengah saya contoh? Seketika saya langsung merasa seperti kelompok marjinal, yang hal apapun mereka perbuat dianggap melanggar sarekat agama.

Setelah melewati beberapa semester tanpa satu pun tangan gadis yang pernah saya sentuh. Saya mulai mendekati rak-rak buku untuk menyibukkan diri alias menghindar dari hujatan jomblo. Karena jika hujatan tersebut menghampiri, sempurna sudah kutukan saya di dunia ini. Sudah kidal jomblo pula! Itu termasuk dalam kasta minoritas yang paling minor. Ini kok jadi melebar.

Kembali ke buku, kini saya mulai mengetahui bahwasanya ada yang namanya aliran kiri dalam dunia politik. Paham ini konon dicetuskan oleh Opa Marx. Usut punya usut, paham ini juga termasuk paham terlarang di indonesia, dan secara otomatis minoritas. Entah label apa yang akan menempel jika paham ini saya anut.

Mengetahui diri saya sebagai makhluk terminor di dunia ini, saya mulai sibuk menghibur diri dengan bacaan-bacaan motivasi. Setelah berplesir dari rak ke rak, perpus satu ke perpus lain (tidak ke toko buku karena pasti akan bertemu bukunya ms Iqbal Aji Daryono yang telah memfosil di beranda saya) akhirnya saya menemukan pembelaan yang tepat. Di dalam buku yang belum ditulis oleh penulis yang belum ada, bunyinya seperti ini: Sejatinya kaum minoritas itu adalah sang Jawara. Karena juara itu muncul ketika pesaingnya telah jatuh berguguran. Tengok Barcelona yang menjadi kampiun musim ini, dia menduduki podium tertinggi karena menjadi minoritas, kalau masih banyak, ya belum juara. Jadi, orang-orang Kadil tersebut belum lah menjadi juara seutuhnya.

Harapanku, di semester depan ini, aku bisa menjadi minoritas di hatimu, dik. #eaa.

No comments:

Post a Comment