Sunday 1 March 2015

Independensi Kurator dalam Lomba Sastra

Melalui tulisan ini saya berniat memaparkan pandangan serta kritik saya akan apa yang disampaikan S Prsetyo Utomo, cerpenis nasional. dalam diskusi dan lunching kumpulan puisi Rodin memahat Le Panseur pada tanggal 28 Januari yang diselenggarakan di Semarang. Pada waktu itu salah satu pembicara Saroni Asikin tidak bisa hadir dalam diskusi tersebut. 

Jalanya diskusi dalam forum tersebut dipantik oleh pertanyaan salah satu peserta lomba yang berasal dari madura. Ia melontarkan pertanyaan mengenai independen
si seorang kurator dalam sebuah lomba menulis puisi. S Prasetyo Utomo menanggapi pertanyaan tersebut secara normatif.  Ia memaparkan tahap tahap dalam dalam penilaianya suatu puisi hingga terpilihnya lima puluh pemenang yang karyanya dibukukan. Ia mengatakan bahwa mekanisme penilain yang dilakukan tidak sendirian melainkan secara kolektif kolegial.  Yakni ada empat kurator yang menilai puisi tersebut. 

Tidak puas dengan jawaban tersebut,  penanya tadi menanggapi jawaban dari S prasetyo. Penanya tersebut mempermasalahkan independensi dan ideologi kurator. Bagaimana mungkin suatu independen terjadi bila terdapat empat juri? Tanyanya.  Eka Prasetyo kembali menaggapi dengan berusaha meyakinkan bahwa penilaian lomba tersebut melalui metode yang objektif. 

Salah satu pembahasan yang ganjal menurut saya pada diskusi tersebut ialah bahwa mahasiswa,  khususnya mahasiswa sastra, harus berani tampil lebih liar untuk mengalahlan dominasi penyair ternama seperti, Sutardji Caldzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono,  Abdul Hadi WM yang sudah malang melintang dalam jagat kesusastraan. Sudah sepatutnya generasi muda untuk berani tampil mengungguli dominasi mereka. Menggunakan teori sosial marxis dirasa tepat untuk mereplace posisi mereka,  karena golongan yang didominasi akan bisa berjaya ketika mereka bersatu dan bergerak bersama dari akar rumput untuk merobohkan suatu dominasi. 

Memang, secara nama, para sastrawan kawakan tersebut sudah memilki tempat di hati pembaca sastra. Media ataupun penerbit lebih menaruh tempat kepada mereka daripada untuk generasi yang mencoba muncul.  Tentu hal ini karena pertimbangan pasar yang bisa membuat media tersebut untung secara finansial tapi rugi secara moral. Kampus kampus mulai muncul dengan program yang peduli pada dunia sastra. Namun satu hal yang harus dipahami bahwa kampus hanya mencetak akademisi sastra, bukan sastrawan. 

Hal ini pernah dikatakan Budi Dharma bahwa ruang lingkup sastra ialah kreativitas penciptaan karya sastra dengan segala rupa estetikanya. Sedangkan ruang lingkup studi sastra adalah ilmu pengetahuan dengan sastra sebagai objeknya. 

Melihat jalanya diskusi yang coba saya ilustrasikan di atas tampak sebuah pemahaman yang keliru mengenai independensi suatu penilaian lomba dan bagaimana seorang kurator harus bersikap objektif dalam menilai suatu karya.  Disini saya perpandangan bahwa inpendensi adalah suatu sifak mutlak yang harus dimiliki seorang kurator.  Untuk menilai independensi bisa dilihat dari jenis karya yang dimenangkan. Lepas dari itu hanya dia dan tuhan yang mengetahuinya. Hal lain yang diperbincangkan ialah mengenai objektifitas. Satu hal yang harus dipahami dalam objektifitas suatu penilaian lomba adalah metode penilaian. Tidak lebih. Akan tetapi melihat ada empat kurator dalam penilaian maka keempatnya harus objektif dalam mengambil keputusan. 

Jalanya diskusi pada malam itu terasa kurang karena tidak adanya penyeimbang dari statemen S Prasetyo Utomo sebagai pembicara tunggal malam itu. Mungkin dengan hadirnya Saroni Asikin malam itu jalanya diskusi menjadi menarik,  mengingat beliau memiliki konsern penuh mengenai apa yang didiskusikan tadi. 

No comments:

Post a Comment