Tuesday, 24 April 2018

Wisuda Segan, Menikah pun Mau


Adit menikah. Kami para pengelola Jejak Kopi dilema. Bingung mau bersikap, antara harus bahagia karena Adit sudah menghabiskan jatah lajangnya atau sedih karena Jejak Kopi kehilangan juru masak. Menentukan sikap di momen seperti ini cukup berat, saya yakin Dilan saja tidak akan kuat. Tapi, sebagai karib yang baik, kami tentu bahagia dan mendukung langkah Adit menikah meski toga belum jadi hal milik. Kami sama sekali tidak mempermasalahkan status mahasiswa Adit. Lagian juga tidak ada hubungan sama sekali antara menikah dan wisuda. Kalau ada mahasiswa yang sudah siap menikah di semester tiga kamu mau apa? Saya juga heran siapa yang pertama kali buat aturan kalau nikah sebelum wisuda itu hal yang ganjil. Lho, kok saya jadi marah?

Saturday, 11 November 2017

Kumis


Saya adalah pria yang tumbuh dengan kumis bagian pinggirnya lebih panjang dari pada bagian tengah. Sekira lima tahun lalu, saat pertama kali menyadari hal ini, saya tidak merasa ganjil sedikitpun. Saya merasa fine-fine saja karena teman seperburjoan juga berkumis. 

Seiring bergulirnya waktu, kumis saya semakin panjang dan lebat. Tapi anehnya yang tumbuh subur hanyalah bagian pinggirnya saja, bagian tengahnya lambat sekali tumbuh, seperti tanaman yang kekurangan sinar matahari. Setelah akumulasi perasaan ganjil ini memuncak, saya putuskan untuk mencari tahu ke sang maha tahu, Google. Namun, saya tidak menemukan jawaban yang memuaskan libido.

Saking tidak betahnya berkawan dengan model kumis seperti ini, saya pernah melakukan eksperimen rekayasa genetik. Saya memotong kedua bagian pinggir kumis sampai gundul sehingga yang tersisa hanya bagian tengahnya saja. Harapannya supaya bagian pinggir bisa tumbuh bareng dan memiliki panjang yang sama dengan bagian tengah. Namun, upaya ini hanyalah kesia-siaan belaka. Meski kecolongan start, kumis pinggir tetap saja bisa menyalip, bahkan semakin jauh di depan. Asu. 

Thursday, 19 October 2017

Suzuki Shogun Adalah Sebenar-benarnya Pahlawan


Motor bagi saya adalah nyawa. Laju kehidupan saya hingga semester sembilan di kota pelajar ini paling besar ditopang oleh motor.  Meski begitu, saya kerap abai dengan kondisinya.

Motor Suzuki Shogun 110 cc yang saya miliki sejak semester satu adalah sebenar-benarnya pahlawan. Ia adalah my hero dalam berbagai hal. Mulai dari kendaraan untuk jalan bareng bribikan (meskipun sering ditolak karena kondisinya yang jauh dari kata layak), kuliah, liputan, warung kopi hingga demo.

Motor pribadi pertama saya ini memang jauh dari kata manusiawi, tapi saya akan selalu berdiri paling depan jika ada yang melecehkannya. Saya juga tidak pernah menjadikannya kendaraan untuk melakukan perbuatan tercela bin hina. Saya menamai kuda besi ini sebagai si Jago.

Jago saya beli di penghujung 2013 di sebuah toko jual-beli motor bekas di sekitar kampus. Waktu itu saya membelinya dengan mahar 4,6 juta. Sebagai motor keluaran 2004, si Jago waktu itu tidaklah terlalu mahal, meski juga tidak patut dikatakan murah. Dalam sekali lirikan, tanpa berpikir panjang ia langsung saya beli.

Sejak pertama kali mengendarainya saya langsung merasa nyaman dan secara perlahan jatuh cinta. Bahkan saking cintanya, saya tidak pernah mengganti satu pun suku cadangnya sejak dibeli (ini alasan aja sih, padahal gak punya duit). Saya membiarkannya menua secara alami. Rem depannya sudah lama ompong, lampu depan sudah lama rabun dan pita klaksonnya sudah lama membisu. Meski begitu, dia akan selalu menjadi pahlawan. 

Friday, 13 October 2017

Bullying Adalah Bom Waktu Bagi Generasi Kita


Sumber foto : Republika.co.id

Dewasa ini bullying adalah sesuatu yang mengkhawatirkan. Sudah banyak siswa sekolah bunuh diri karena tidak tahan dibully. Tentu masih basah dalam ingatan kita seorang siswi SMA berusia 16 tahun di Riau yang memilih mengakhiri hidupnya dengan cara menceburkan diri ke sungai lantaran tidak sanggup menghadapi bullying yang dilakukan teman sekolahnya. Siswi itu bernama Elva Lestari. Elva sebelumnya sudah meminta kepada orang tuanya untuk pindah sekolah, namun tidak direspon.

Melihat peristiwa Elva, saya jadi teringat masa-masa belasan tahun silam ketika masih duduk di bangku sekolah dasar. Saya beserta teman-teman yang lain pernah melakukan aksi bullying. Orang yang menjadi korban waktu itu teman sekelas bernama Ulfa (bukan nama sebenarnya). Ulfa menjadi bahan tertawaan karena bersekolah sambil berjualan pisang goreng dan es lilin.

Sampai detik ini saya tidak paham apa yang salah dengan seorang siswa yang sekolah sambil berjualan. Sejauh yang saya ingat, Ulfa memang siswa yang paling beda waktu itu. Seorang teman kemudian memanggilnya Nenek Piah. Di kantin sekolah kala itu ada seorang nenek bernama Piah yang juga berjualan pisang goreng.

Mendengar sebutan Nenek Piah, saya jadi ikut-ikutan memanggilnya demikian. Saya masih ingat dengan jelas raut muka Ulfa ketika dipanggil Nenek Piah. Pasca menyandang nama baru itu, Ulfa jadi lebih pendiam dan hampir menangis setiap hari.

Tuesday, 22 August 2017

Ayah

“Untuk Ayah Tercinta, Aku ingin bernyanyi, walau air mata di pipi.
Ayah dengarkanlah, aku ingin berjumpa, walau hanya dalam mimpi.”

Penggalan lirik lagu di atas dilantunkan oleh seorang gadis kecil peserta lomba karaoke. Tanpa menunggu aba-aba, air mata saya langsung terjun. Seperti yang sudah- sudah, lagu ini memang selalu berhasil membuat saya menangis sesenggukan. Saya yang ketika itu berdiri di samping panggung terpaksa harus keluar dari kerumunan penonton. Menangis di sebuah perlombaan Hari Kemerdekaan tentu bukan ide yang bagus.

Sebelum air mata jatuh lebih deras, saya bergegas pulang menuju kamar mandi posko KKN. Apalagi kalau bukan untuk menangis. Mengeluarkan semua sedih dan pilu yang meskipun sudah terjadi belasan tahun silam, tetap tidak mampu membuatku benar-benar menerima kenyataan bahwa Ayah telah pergi.

Gadis kecil yang melantunkan lagu itu bernama Kinanti. Seorang penonton yang berdiri di samping saya memberitahu bahwa gadis itu adalah anak ketiga dari mantan kepala desa lokasi saya KKN yang meninggal beberapa bulan lalu. Saya bisa merasakan kesedihan Kinanti. Saya pernah berada di posisinya. Ditinggal oleh sosok Ayah ketika masih anak-anak yang selalu ingin digendong dan dimanja. Hal yang lebih membuat saya sedih adalah Ayah saya dengan Ayah Kinanti meninggal dalam status yang sama, sebagai mantan kepala desa.

Seusai menangis di kamar mandi, saya putuskan untuk tidak kembali ke lokasi lomba. Saya memilih untuk menuangkan perasaan saya malam ini ke dalam tulisan ini. Sejak berpulang pada 2006 silam, Ayah hanya selalu saya hadiahi Al-fatehah dan Surat Yasin. Namun, kali ini meskipun bukan di hari ulang tahunnya, saya ingin memberi kejutan kecil berupa tulisan. Semoga Ayah bisa membacanya dan singgah sebentar dalam mimpi.

Monday, 10 July 2017

RIP Alcatel


Kemarin saya terperangah. Gawai yang sudah empat tahun saya miliki tiba-tiba mati tanpa alasan yang jelas. Padahal terakhir saya cek batrai masih cukup untuk membuka Youtube selama dua jam. Saya coba hidupkan, no respon. Saya coba sambungkan dengan pengisi batrai, tidak ada tanggapan. Saya coba hubungkan dengan banyak casan, tidak bergeming juga. Oke, kalau sudah begini saya vonis gawai itu rusak.

Rusaknya gawai bermerak Alcatel (dibaca: Alkecel) itu jelas petaka bagi saya. Sebab satu-satunya alat yang saya andalkan untuk berkomunikasi jarak jauh hanyalah gawai itu. Padahal, di gawai itu ada banyak data-data pribadi yang belum sempat saya pindah ke laptop. Seiring dengan matinya gawai tersebut secara otomatis aktifitas browsing saya juga terhenti. Sedih.

Meski mati secara mendadak, saya meyakini bahwa gawai tersebut adalah tipe gawai yang tidak mau merepotkan pemiliknya. Sebelum nyawanya dicabut, ia sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda ajal, seperti beberapa fitur rusak atau sesuatu yang membuat saya mengeluarkan uang untuk memperbaikinya. Tidak ada. Semua lancar seperti biasa. Hal seperti ini, meskipun tidak merepotkan saya, membuat saya sedih. Padahal, kemarin gawai itu masih saya genggam, namun sekarang sudah tidak bisa lagi. Semua terasa cepat sekali.

Monday, 3 July 2017

Mabuk Liburan


Libur lebaran kali ini benar-benar menjadi liburan terpadat bagi saya. Bagaimana tidak, dalam satu minggu ini saya sudah mengunjungi pantai sebanyak lima kali. Padahal liburan, apapun bentuk dan destinasinya, tidak begitu saya sukai, bahkan cenderung saya hindari. Namun, karena liburan kali ini saya nikmati di kampung halaman, saya tidak punya banyak alasan untuk menolak setiap ajakan.

Ajakan berlibur datang hampir setiap hari dengan sumber ajakan yang berbeda-beda. Mulai dari teman angkatan SD, remaja kampung, keponakan, hingga keluarga besar. Saya selalu tidak punya pilihan selain menerima semua ajakan tersebut. Jika pun sempat menolak, akan mudah dipatahkan dengan bujukan, “Ayolah, ini sekali setahun, lho. Tahun depan kita belum tentu ketemu lagi.” Jika sudah begini, saya langsung mengiyakan, siapa tahu ini perjalanan terakhir saya bersama mereka. Buset, saya tidak pernah merasakan liburan rasa maut seperti ini.

Meski cara menerima ajakan hanya dengan ikut serta bersama mereka, tapi hal ini tidak selalu berjalan mulus. Pernah suatu hari saya galau memutuskan hendak ke pantai dengan siapa, sebab pada hari itu ada dua ajakan. Satu dari keponakan yang masih kecil-kecil dan satunya dari teman seangkatan SD yang rencananya akan dijadikan sebagai ajang reuni. Acara reuni ini sebenarnya sudah jauh-jauh hari direncanakan, bahkan sebelum saya mudik. Semua persiapan sudah dilakukan, mulai dari mendata teman-teman yang ikut, mencari tempat menginap, iuran per-orang, dan sebagainya.

Namun, persiapan yang sudah matang itu diinterupsi satu jam sebelum kami berangkat. Ketika saya sedang siap-siap untuk pergi ke lokasi yang sudah jauh-jauh hari ditentukan itu, delapan kurcaci berserta orang tuanya masing-masing datang ke rumah, dengan tujuan mengajak saya ikut serta bersamanya. Para keponakan yang sudah tidak sabar ingin segera mendarat di pantai itu dengan sekuat tenaga membujuk saya. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang memasang muka sedih. Orang tuanya, yang merupakan kakak-kakak saya, juga meminta saya ikut karena butuh tenaga tambahan untuk menemani dan mengawasi para kurcaci tersebut. Sebagai paman yang baik, perasaan saya tentu luluh dan tidak tega membiarkan mereka hanyut begitu saja ke tengah laut.

Keputusan ini tentu secara otomatis telah menggugurkan rencana reuni bersama teman sekelas di SD. Kabar ini pun segera saya kabari kepada mereka yang sedang menunggu. Ketika menyampaikan kabar yang tidak sedap ini, sebagian dari mereka memasang muka manyun dan sebagiannya lagi secara teranga-terangan memaksa saya tetap ikut. Namun, apa daya paksaan tersebut tidak bisa merubah keputusan. Sebab, taruhannya adalah membiarkan para keponakan menangis dan berada dalam ancaman ombak pantai.

Objek terbesar dari liburan saya adalah pantai. Hampir semua pantai di bagian selatan Lombok sudah saya kunjungi dalam rentang waktu satu minggu ini. Perjalanan ke pantai ini sebenarnya tidak susah-susah amat. Hanya memakan waktu 10 sampai 20 menit. Hal ini tentu berbeda dengan Yogyakarta, tempat saya kuliah. Di kota ini, jika ingin menikmati suasana pantai harus rela menempuh perjalanan selama tiga jam. Pantai yang dikunungi adalah pantai-pantai yang ada di Gunungkidul. Namun, jika ingin menikmati pantai dalam waktu singkat bisa mengunjungi Parangtritis atau Parangkusumo. Hanya perlu waktu satu jam, ganasnya ombak pantai selatan sudah bisa disaksikan.

Kini, saya sudah sepuluh hari berada di rumah, menyisakan empat hari lagi sebelum balik ke Jogja. Itu artinya, kemungkinan besar saya masih bisa pergi ke pantai beberapa hari kedepan, tergantung ada yang mengajak atau tidak. Namun, sebenarnya saya lebih berharap bisa menghabiskan banyak waktu di rumah. Menemani ibu di dapur dan membicarakan banyak hal. Sesuatu yang sudah jarang kami lakukan semenjak saya merantau.

Semoga banyaknya jumlah liburan ini tidak merubah saya menjadi pribadi yang gemar piknik dan melupakan kemaslahatan umat (lebay). Amin.