Saturday 11 November 2017

Kumis


Saya adalah pria yang tumbuh dengan kumis bagian pinggirnya lebih panjang dari pada bagian tengah. Sekira lima tahun lalu, saat pertama kali menyadari hal ini, saya tidak merasa ganjil sedikitpun. Saya merasa fine-fine saja karena teman seperburjoan juga berkumis. 

Seiring bergulirnya waktu, kumis saya semakin panjang dan lebat. Tapi anehnya yang tumbuh subur hanyalah bagian pinggirnya saja, bagian tengahnya lambat sekali tumbuh, seperti tanaman yang kekurangan sinar matahari. Setelah akumulasi perasaan ganjil ini memuncak, saya putuskan untuk mencari tahu ke sang maha tahu, Google. Namun, saya tidak menemukan jawaban yang memuaskan libido.

Saking tidak betahnya berkawan dengan model kumis seperti ini, saya pernah melakukan eksperimen rekayasa genetik. Saya memotong kedua bagian pinggir kumis sampai gundul sehingga yang tersisa hanya bagian tengahnya saja. Harapannya supaya bagian pinggir bisa tumbuh bareng dan memiliki panjang yang sama dengan bagian tengah. Namun, upaya ini hanyalah kesia-siaan belaka. Meski kecolongan start, kumis pinggir tetap saja bisa menyalip, bahkan semakin jauh di depan. Asu. 

 Setelah rekayasa genetik itu gagal, saya putuskan membiarkan kumis tumbuh sesuai kodratnya. Hasilnya, saat ini seperti ada kepiting di atas bibir saya. Kedua sisi kumis menyerupai capit kepiting, dan seperti yang sudah-sudah, bagian tengahnya tumbuh sangat lamban. 

Melihat kondisi kumis saya yang seperti ini, seorang teman pernah bertanya dengan nada meledek, “Tang, itu kumis yang dipupuk cuma pinggir doang atau giamana? Kok jadi kayak lele, gitu?”

Sial. 

Teman yang lain pernah mencoba menerawang asal usul kumis saya yang begini. Berdasar hasil penerawangannya, dia berkesimpulan bahwa saya memiliki darah keturunan orang Mongolia. Jancuk.

Menurutnya, tipikal kumis seperti punya saya ini identik dengan kumis orang-orang dari daratan Jengis Khan. Teman tadi semakin yakin dengan temuannya setelah mengetahui bahwa dulu pasukan Jengis Khan pernah mampir di nusantara. 

Tentu saya tidak mau membenarkan pernyataan ngawur teman tadi, tapi saya juga tidak bisa menyangkalnya begitu saja. Setelah dipikir-pikir lagi, kayaknya temuannya itu benar, sebab mata saya juga sipit. Nah, lho!

Tapi ngomongin soal asal usul, saya pernah mencari tahu siapa saja anggota keluarga saya yang memiliki kumis panjang di pinggir. Setelah diselidik, ternyata tidak ada satupun anggota keluarga, baik dari garis ayah atau ibu yang kumisnya sejenis dengan saya. Saya sempat berkesimpulan, jangan-jangan saya ini..... Ah sudahlah.   

Berhubung saya adalah orang yang tidak mau ambil pusing dengan apapun, apalagi untuk urusan kumis, saya diamkan saja semua derai cibiran yang mengalir. Ya, meskipun kadang-kadang tidak terima juga, sih.

Meski sudah berusaha tegar menerima nasib kumis yang saya miliki, pendirian saya ini pernah hampir luluh. Sebabnya adalah saking banyaknya jumlah karib yang tidak tahan dengan bulu kumis saya yang menjuntai indah ini. Ditambah lagi dengan protes berkesinambungan yang dilakukan pacar saya untuk membumihanguskan kumis ini. Naudzubillah. 

Sebenarnya bukan perkara helai kumis panjang yang menjadi persoalan mereka, melainkan cara saya memperlakukan kumis bagian pinggir ini. Jika sedang ngopi-ngopi cantiks, saya biasannya memilin-milin bulu kumis menjadi lancip lalu menariknya ke pinggir, menyerupai kumis Billy Lau Nam Kwong, aktor film-film mandarin zaman saya kecil dulu.  

Itu mungkin masih belum seberapa. Jika sedang suntuk saya biasanya mengelus-elus kumis pinggir ini lalu dimasukkan ke mulut. Geli-geli gimana gitu. Hal ini mungkin menjadi alasan kedua mereka meminta saya potong kumis.

Saya sebenarnya tidak sedikitpun berkecil hati memiliki kumis model begini. Saya justru bangga karena sejauh yang saya tahu, di kampus saya yang punya kumis model begini hanya ada dua, saya dan Pak Rektor. Sampai di sini saya ingin menantang apakah teman saya tadi juga berani bilang bahwa Pak Rektor juga keturunan Mongolia? Saya tidak yakin. 

Jika mau dicari, sebenarnya masih ada juga publik figur yang memiliki kumis sama seperti saya, namun saya enggan berbangga diri karena memiliki kesamaan dengannya. Ya, siapa juga yang mau dimirip-miripin dengan Tukul Arwana? Ikan Arwana mungkin juga ogah.
Mengenai kumis, saya dulu sempat kepikiran untuk memakai obat penumbuh kumis supaya memiliki bentuk yang presisi di semua bagian, atau bila perlu sulam kumis biar tidak kalah hits dengan cewek-cewek pemuja sulam-sulaman. Namun, saya urungkan niat tersebut. 

Alasannya simpel saja, saya bukan pria telaten yang harus rapi dan bersih dalam segala hal, apalagi untuk urusan pergi ke salon. Sampai detik ini satu-satunya salon yang pernah saya kunjungi adalah Pangkas Rambut Madura. Itupun saya sebut salon karena punya kesamaan dengan salon-salon kecantikan lainnya, yakni bisa buat cukur rambut. Tapi untuk soal harga, jelas pangkas rambut milik Cak-Cak Madura itu lebih bersahabat.

Yoweslah, dari pada ribet-ribet mempermak kumis supaya lebat di semua sisi atau memakai jasa sulam-sulaman yang sudah tentu mahal itu, lebih baik saya melestarikan kumis panjang pinggir ini. Siapa tahu enam atau tujuh tahun ke depan kumis seperti ini jadi ikon keperkasaan dan kesuksesan lalu kaum-kaum latah berbondong-bondong membonsai kumisnya seperti punya saya ini. Siapa tahu?

No comments:

Post a Comment