Wednesday 15 February 2017

Mami: Pahlawan Perut Mahasiswa

Kemarin pagi kabar lelayu itu datang. Mami, ibu kantin di samping gedung ITC itu berpulang pada Kamis dini hari. Penyebabnya karena serangan jantung. Saya, beserta mahasiswa langganan yang lain, tidak bisa menyembunyikan rasa sedih dan kaget. Padahal dua hari lalu, Mami masih tampak sehat seperti biasa dan masih berjualan meski sedang libur semester.
Dua hari terakhir, warung Mami memang tidak beroperasi. Tidak seperti biasa memang. Setahu saya warungnya hanya tutup di tanggal merah. Mahasiswa yang sedari pagi biasanya sudah nongkrong di sana juga terlihat sepi. Ternyata dua hari terakhir Mami sedang berjuang melawan sakit. Sakit yang selama ini tidak pernah ia tunjukkan kepada anak-anaknya (mahasiswa). Pembawaaanya yang ceria membuat saya berpikir Mami sedang baik-baik saja.
Selama tiga setengah tahun berada di ITC (lokasi beskem Poros) selama itu juga saya mengenal Mami. Mulanya saya tidak tahu nama aslinya, mahasiswa biasa memanggilanya Mami, saya ikut-ikutan panggil Mami. Baru kemarin, ketika melayat dan mengikuti proses pemakaman saya baru tahu nama asli Mami ternyata adalah Jumanah. Mahasiswa yang selama bertahun-tahun makan, minum dan ngutang di warungnya juga baru tahu.

Mami sudah seperti ibu saya sendiri. Saya bebas melakukan apapun di warungnya. Minum ambil sendiri, makan ambil sendiri, kalau lagi bokek tinggal ngutang. Dia tidak pernah mempermasalahkannya. Mami bukan tipe penjual yang menempel tulisan ‘No Bon’ di warungnya. Dia juga bukan penjual yang mencatat nama penghutang. Dia tidak acuh sama sekali akan hal itu. Prinsipnya barang kali, “Bayar Alhamdulillah, tidak bayar juga tidak apa-apa.”
Berkat sikap ikhlasnya ini membuat mahasiswa senang padanya. Mahasiswa yang ngutang jadi tidak tega untuk tidak melunasinya. Seperti ada rasa bersalah yang besar jika berniat tidak melunasi. Mami, secara tidak langsung telah melatih mahasiswa untuk bersikap jujur.
Mahasiswa yang berlangganan disana pasti memiliki kisah tersendiri bareng Mami. Seorang kawan di grup WA nyeletuk, satu hal yang tidak bisa dia lupakan adalah pesan Mami untuk fokus pada dua hal: kuliah dan organiasi. Saya, juga termasuk pelanggan yang banyak menyimpan memori tentang Mami.
Sebagai penjual, Mami di mata saya adalah penjual yang progresif. Dia tidak pernah absen dengan isu-isu terkini. Setiap pagi di warungnya selalu tergeletak Koran Harian Jogja, Tribun, Malioboro Blitz, Minggu Pagi dan Kedaulatan Rakyat. Sesekali Mami juga membeli majalah busana dan makanan. Kegemarannya membaca membuat kami cukup sering berdiskusi. Di antara penjaga kantin yang lain, hanya Mami yang saya temui protes ketika Setya Novanta naik lagi jadi ketua DPR, Bandara Kulon Progo hendak dibangun dan banjir yang baru-baru ini terjadi di beberapa titik di Jogja.
Alasannya berlangganan koran-koran itu sederhana dan menyentuh sekali. Ia ingin membagi sedikit rejeki yang didapatnya kepada pejaja koran yang menggunakan kursi roda di sepanjang Jalan Kapas. Terkadang Mami tidak hanya membeli koran dengan uang, tapi juga dengan gorengan dan nasi kucing untuk sarapan si penjaja Koran.
Selain itu, rutinitas yang sering saya lakukan bareng Mami adalah ngomong pake bahasa inggris. Biasanya di pagi hari ketika mampir ngopi saya menyapanya menggunakan bahasa bule. Percakapanya biasa begini:
“Morning, Mam.”
“Morning, Tang.”
“Where is the newspaper?”
“Here in the table.”
“Any good news?”
“No, news is always bad.”
Kalau sudah begitu, kami berdua tertawa.
Bahasa Inggris Mami memang lumayan. Pengalamanya menjadi TKI di Malaysia membuatnya sedikit banyak bisa ngomong Inggris. “Kita harus sering-sering ngomong Inggris ya biar Mami lancar,” ujarnya waktu itu. “Siap, Mam,” jawabku.
UKM Poros, mungkin salah satu UKM yang tidak akan lupa atas kebaikan Mami. Di sore hari, ketika hendak tutup dan masih ada sisa gorengan atau nasi kucing, ia akan membawanya ke Poros. “Ini ada makanan, di makan dong,” itu kata yang selalu Mami ucapkan ketika membawa makanan. Jika sudah begini, kami yang sering kelaparan selalu senang.
“Thank you, Mam.”
“You are welcome,” sahutnya.
Mami tak terlekang oleh waktu. Mahasiswa dari angkatan 2006 dan di atasnya terlihat kerap mampir di warung Mami jika mereka lagi senggang. Niat mereka hanya untuk rehat sejanak, menanyakan kabar Mami dan sedikit nostalgia tentang masa kuliah dulu. Indah sekali.
Mami mudah sekali mengingat orang. Hampir semua orang yang mampir di warungnya dia tahu namanya. Bahkan mahasiswa yang sudah bertahun-tahun lulus jika mampir, dia masih ingat namanya. Ingatannya kuat.
Kini, ibu dua orang anak itu telah pergi meninggalkan kami. Tidak ada lagi keramaian dari pagi hingga sore hari di samping gedung ITC. Tidak ada lagi penjual yang seakrab dan peduli itu pada mahasiswa.
Selamat jalan Mami. Terima kasih telah mewarnai masa kuliah saya dan teman-teman mahasiswa yang lain. Kami tidak akan lupa kebaikan dan kesabaran yang telah Mami ajarkan pada kami.
Alfatehah.

1 comment:

  1. kuliner yang enak banget, pengen banget jalan-jalan lagi ke tempat ini,bali bukan hanya indah tempat wisatanya,tapi kulinernya juga tdk kalah.
    Terimakasih Artikelnya

    ReplyDelete