Sunday 18 December 2016

Indonesia dalam Laporan Akhir Tahun Versi Koran

Saya terkesiap setelah membaca laporan akhir tahun Bre Redana yang dimuat Harian Kompas edisi 17 Desember. Bre mengulas setiap peristiwa menyedihkan yang terjadi  sepanjang tahun 2016. Berbagai peristiwa masuk dalam sorotannya, ada politik, agama, buku, film, dan musik. Dalam tulisan berjudul Kita dan Pasca “Kasunyatan” Bre juga menyinggung soal perbedaan cara menerima informasi, menurutnya masyarakat di era sekarang ini hidup di alam delusi. Ini disebabkan karena setiap informasi yang dikonsumsi kita tidak lagi hadir menerimanya dengan mata, telinga dan alat perasa lainnya. Sebaliknya, menurut Bre, otak kita sudah bisa dibanjiri informasi tanpa melihat, mendengar dan merasakan langsung setiap peristiwa yang terjadi. 
 
Terlepas dari apa yang disampaikan Bre Redana, tulisan itu telah memutar kembali memori kita pada apa yang terjadi setahun lalu. Di koran yang sama Bre menuangkan pesimismenya terhadap media cetak yang, menurutnya, sudah menemukan senjakalanya. Mungkin masih basah dalam ingatan bagaimana Bre mencoba membandingkan laku kerja wartawan cetak dan media online waktu itu. Wartawan media cetak (Bre menyebut wartawan konvensional) dalam pandangan Bre masih lebih baik ketimbang wartawan media online, sebab pewarta konvensional masih melakukan cara lama dalam wawancara seperti menulis tangan dan menranskripnya. Hal seperti itu tidak lagi dilakukan oleh wartawan media online. 

Apa yang baru-baru ini Bre tulis telah mengundang saya untuk mencerna kembali kalimat demi kalimat dalam tulisannya. Namun dalam tulisannya kali ini, Bre terkesan lebih hati-hati. Meski terdapat aura pesismisme atas cara menerima informasi, Bre juga memunculkan tidak sedikit optimisme. Bagaimana Bre memunculkan adanya oase baru dalam kancah perfilman, musik dan buku di Indonesia menurut saya adalah cara Bre menyadarkan pembacanya bahwa di tengah kehidupan yang serba meninggalkan kualitas seperti sekarang ini, masih ada segelintir orang yang peduli akan pentingnya kualitas karya dan tidak berpatokan pada besarnya income semata. 

Itu soal Bre. Lain Kompas lain pula Tempo. Di edisi yang sama Koran Tempo juga melaporkan catatan akhir tahun. Namun kali ini dalam lingkup yang lebih spesifik dan berani, yakni rapor merah yang diperoleh Yogyakarta dalam bidang HAM. Di rubrik Yogyakarta & Jawa Tengah, Koran Tempo mewartakan terdapat ratusan pelanggaran yang terjadi di sepanjang tahun 2016. Diantaranya yang paling terkenal adalah penutupan pesantren waria Al-Faatah, pembubaran acara Lady Fast, pembubaran diskusi di Aliansi Jurnalis Independen, pembubaran dan ancaman diskusi film Pulau Buru Tanah Air Beta di kampus, serta yang paling terbaru adalah penurunan paksa baliho di salah satu universitas dikarenakan gambar mahasiswi yang mengenakan jilbab. 

Tidak hanya itu,  masih banyak kejadian lain terjadi di Yogyakarta yang membuat hati kita terketuk. Lihat bagaimana penggusuran paksa pemukiman warga di area Gumuk Pasir di Parangtritis. Korban penggusuran yang dijanjikan akan mendapat dana ganti rugi sebanyak 1 juta sampai detik ini belum diberikan. Warga saat ini masih bertahan ditenda pengungsian yang dibuat ala kadarnya.

Kabupaten Kulon Progo lain lagi, petani yang sudah hampir sepuluh tahun berjuang mempertahankan sawahnya dari pembangunan bandara seakan tidak menemukan hasil. Warga, aktivis serta akademisi yang menolak pembangunan bandara ini terus melakukan bermacam cara namun kuatnya pengaruh Sultan membuat perlawanan terkesan tiada arti. 

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Hamzal Wahyudin mengatakan pelanggaran HAM masih banyak terjadi, bahkan di bidang penegakan HAM DI. Yogyakarta mendapat rapor merah. Namun dengan bangganya Gubernur Provinsi Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubowono X menetapkan Yogyakarta sebagai city of tolerance. Penetapan ini semakin menggelikan mengingat julukan tersebut diberikan beberapa hari setelah pengepungan asrama mahasiswa Papua. 

Catatan akhir tahun yang dimuat dua koran nasional di atas telah menunjukkan kepada kita bahwa apa yang terjadi sepanjang tahun ini hanyalah parade penindasan dan kesedihan. Tidak hanya di tingkat nasional, di tingkat daerah penindasan itu semakin nyata. Indonesia terkesan betah berkawan dengan konflik. Setiap konflik sengaja dipelihara supaya masyarakat mengalami mimpi buruk dan terjaga di malam hari. Lama-kelamaan penguasa semakin tidak rasional, lihat bagaimana gubernur Jawa Tengah (saya tidak mau sebut namanya dalam tulisan ini) memperbarui izin pendirian pabrik semen padahal izin pendiriannya telah dicabut oleh putusan pengadilan. Tengok juga bagaimana Setya Novanto kembali menduduki posisi ketua DPR yang sebelumnya diberhentikan karena kasus Papa Minta Saham.

Ya, begitulah kawanku, penguasa memang cenderung melecehkan akal sehat.  

No comments:

Post a Comment